BOPM Wacana

Disabilitas Tidak Perlu Dikasihani

Dark Mode | Moda Gelap
Illustrasi | Angga Pratama
Illustrasi | Angga Pratama

 

Mereka tidak butuh dipuji apalagi diagungkan pencapaiannya.

Pernahkah kalian melihat seseorang berkursi roda dituntun untuk berkeliling kota menikmati kacaunya negeri ini? Atau pernahkah kalian melihat seseorang berkacamata hitam berjalan dan meraba beton trotoar yang sudah “remuk” dengan tongkatnya? Itu adalah sedikit dari sekian banyak golongan orang-orang berkebutuhan khusus yang biasa kita sebut “Penyandang disabilitas”.

Menjadi disabilitas adalah keniscayaan yang semua orang tanpa kita rencanakan bisa menjadi disabilitas. Namun, kehidupan penyandang disabilitas sepertinya dipersulit oleh masyarakat atau media yang membuat stigma dan diskriminasi terhadap mereka. Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tentang hak penyandang disabilitas melalui UU No. 19 Tahun 2011. Seiring dengan itu, akses dan fasilitas umum yang ramah penyandang disabilitas dibangun di beberapa kota di tanah air, misalnya di trotoar area publik. Namun, hak merasakan fasilitas yang sama dengan warga lain tidak mulus diterima penyandang disabilitas.

Berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2019, jumlah disabilitas di Indonesia mencapai 9,7% dari total penduduk Indonesia. Artinya,  sekitar 26 juta penduduk Indonesia merupakan penyandang disabilitas. Mungkin kita jarang melihat mereka ada di tempat-tempat umum. Mereka tidak difasilitasi untuk mengakses apa saja yang awam bagi kita. Sehingga mereka memilih untuk mengurung diri di rumah dan jauh dari pandangan umum. Akhirnya, banyak dari kita mengalami keterbatasan untuk berkenalan dengan mereka. Mungkin salah satu cara kita mengetahui mereka adalah lewat media.

Meskipun penyandang disabilitas hampir mencapai 10% dari populasi masyarakat Indonesia, isu tentang disabilitas jarang sekali terlihat di media. Penyandang disabilitas seolah terasingkan dan dianggap tidak begitu penting. Media tidak memberikan representasi yang layak bagi disabilitas. Kurangnya pemahaman terhadap disabilitas kerap menimbulkan diskriminasi yang mereka alami. Perhatian media terhadap isu disabilitas penting karena media bisa menggambarkan secara realistis tentang disabilitas sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Media dapat menghilangkan stereotip negatif dan mempromosikan hak dan martabat penyandang disabilitas sebagaimana mestinya.

Meski memiliki peran penting, isu penyandang disabilitas jarang diliput di media. Sebaliknya ketika media memublikasikan penyandang disabilitas sering kali distereotipkan secara negatif dan tidak direpresentasikan dengan tepat. Stereotip media terhadap penyandang disabilitas berpengaruh pada ekspektasi masyarakat. Mereka dianggap aneh jika tidak memenuhi ekspektasi itu. Misalnya, media menampilkan seorang disabilitas sebagai bahan lelucon. Jika mereka tidak terima untuk ditertawakan, orang-orang akan menganggap mereka terlalu serius atau tidak bisa diajak bercanda.

Penyandang disabilitas kerap ditampilkan sebagai narasi inspiratif di media. Biasanya, narasi ini mengagungkan tentang pencapaian-pencapaian yang didapat oleh penyandang disabilitas. Meski terkesan positif, stereotip seperti ini bisa menjadi keliru jika digunakan secara terus-menerus. Narasi sering dikaitkan dengan rintangan-rintangan yang dihadapi dalam pencapaian tersebut. Padahal, rintangan-rintangan ini dari awal seharusnya tidak ada. Lingkungan dan sosial yang mempersulit mereka. Logikanya, bukanlah sesuatu yang istimewa bagi penyandang disabilitas bisa sekolah, mengarungi kota, bahkan menggapai prestasi. Tapi karena kita tidak memperjuangkan hak atau akses-akses untuk mereka, sehingga prestasi itu kita anggap spesial untuk mereka.

Pada akhirnya, media tetap merepresentasikan penyandang disabilitas itu berbeda dan tidak seperti manusia yang setara. Hasilnya, narasi seperti ini bukan ditujukan untuk penyandang disabilitas, melainkan untuk hiburan semata. Representasi seperti ini membuat kita gagal untuk memahami isu disabilitas secara adil dan menyeluruh. Media kerap sekali memandang penyandang disabilitas sebagai objek. Misalnya objek kasihan, lelucon, penelitian, dan inspirasi. Media tidak memandang mereka setara dengan manusia pada umumnya.

Selama media belum menampilkan mereka sebagai “Manusia yang utuh” perspektif seperti ini akan terus bermunculan. Penyandang disabilitas tidak perlu untuk dikasihani atau diagung-agungkan. Yang mereka butuh hanyalah hak-hak mereka agar terpenuhi, termasuk akses-akses pendidikan dan fasilitas pendukung lainnya yang juga harus terlengkapi.

Seperti layaknya yang tertera pada UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas tepatnya pasal 19 poin (a) dan (b) berisi tentang mereka berhak memperoleh akomodasi yang layak dalam pelayanan publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa diskriminasi dan pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya. Pemenuhan hak atas akses menikmati fasilitas umum bagi penyandang disabilitas masih belum bisa sepenuhnya terwujud.

Tak hanya itu, persoalan kesempatan kerja yang sulit masih membayangi penyandang disabilitas. Jika hak-hak tersebut lekas didapat, tidak menutup kemungkinan kesempatan mereka untuk hadir dan dikenal di masyarakat umum akan terealisasikan. Karena sesungguhnya disabilitas adalah masalah persepsi. Jika mereka bisa melakukan suatu hal dengan baik, mereka akan dibutuhkan oleh dunia.

Komentar Facebook Anda

Angga Pratama

Penulis adalah Mahasiswa Ekonomi Pembangunan FEB USU Stambuk 2020. Saat ini Angga menjabat sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4