BOPM Wacana

Mengubur Luka Lama di Kampung Kubur

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Tantry Ika Adriati

BUGAR | Warga Kampung Kubur sedang memainkan olah raga Takrau di Lapangan Badminton Kampung Kubur, Minggu (10/4). Aktivitas ini vakum dua tahun dan kembali dilakukan setelah penggerebekan Januari lalu. | Tantry Ika Adriati
BUGAR | Warga Kampung Kubur sedang memainkan olah raga Takrau di Lapangan Badminton Kampung Kubur, Minggu (10/4).
Aktivitas ini vakum dua tahun dan kembali dilakukan setelah penggerebekan Januari lalu. | Tantry Ika Adriati

Penggerebekan besar-besaran itu ditengarai sebagai momentum tutupnya Kampung Kubur. Lepas setelah itu warga mengawali hari baru sebagai warga Kampung Sejahtera. Orang lama, tempat lama, namun identitas baru.

Masih terbayang di benak Rahayu penggerebekan yang terjadi di tempat tinggalnya tiga bulan lalu. Malam itu malam minggu, Ayu sedang bercengkerama bersama para tetangga. Pembicaraan Ayu terhenti karena kedatangan petugas berseragam hitam. Gerombolan polisi. Tak bisa dihitung dengan jari. Ayu memperkirakan jumlahnya ratusan orang.

Kedatangan polisi dan tim gabungan tersebut menimbulkan kecurigaan bagi Ayu. Ia kaget. Sontak saja, bulu kuduknya merinding. Lantaran baru kali ini jumlah polisi yang memasuki kawasan Kampung Kubur mencapai ratusan orang.

“Seram, rasanya kayak mau perang,” ujar Ayu saat mengingat kembali kejadian itu.

Biasanya, Ayu hanya melihat sekitar dua puluhan polisi yang sering keluar masuk Kampung Kubur. Itu pun hanya sebentar, sekadar melihat-lihat keadaan kampungnya.

Kali ini polisi yang datang tak hanya dengan tangan kosong. Sebagian dari rombongan membawa senapan dan borgol. Menyusul aparat lainnya seperti Tentara Nasional Indonesia, Satuan Polisi Pamong Praja, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatra Utara (Sumut), dan masyarakat sekitar. Totalnya mencapai sembilan ratus orang.

Razia dari pagi hingga malam menangkap sekurangnya lima puluh lebih warga Kampung Kubur. Sebagian adalah wajah-wajah yang dikenal Ayu, sedang sebagian lagi pendatang-pendatang yang tampak asing bagi Ayu. Latar belakangnya beragam. Mulai dari pengusaha, pegawai negeri sipil, mahasiswa, pelajar, bahkan anak-anak.

Penangkapan ini sebenarnya sudah direncanakan kepolisian sejak lama. Sebab Kampung Kubur merupakan salah satu kawasan yang ditengarai menjadi gudang narkotika. Letaknya di jalan Zainul Abidin, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah.

Razia besar-besaran berlangsung pada Sabtu, 9 Januari. Seluruh aparat kepolisian sudah mendatangi Kampung Kubur sejak pukul 9 pagi. “Ini adalah massa paling besar,” ujar Irianto Wijaya, Kepala Unit Pembinaan dan Penyuluhan Satres Narkotika Polresta Medan.

Hari itu Irianto mendapat perintah dari Kepala Polisi Resor Kota (Polresta) Medan untuk mengumpulkan lima ratus personel kepolisian pagi itu. Pengumpulan mendadak inilah ihwal rencana penggerebekan ke Kampung Kubur.

Kepolisian mendirikan empat tenda di beberapa titik, letaknya di Jalan Airlangga, Jalan Kejaksaan, Jalan Taruma, dan Jalan Zainul Arifin. Keempat titik itu merupakan jalan yang sering dilalui warga yang hendak masuk atau keluar dari Kampung Kubur. Selain membuka posko, BNNP Sumut juga menyediakan wadah untuk tes urin.

Warga yang kedapatan sedang memakai narkotika ataupun dicurigai, langsung dibawa ke posko tes urin. Lalu akan langsung dibawa ke Polresta Medan. Sejak itu, Kampung Kubur dijaga 24 jam nonstop. Ayu jadi terbiasa jika melihat salah seorang warga yang dikenalnya tiba-tiba ditangkap oleh polisi. “Dari mamak-mamak, bapak-bapak, kakek-kakek, sampe anak-anak pun ada yang ditangkap,” cerita Ayu.

Ayu tak menampik bahwa Kampung Kubur merupakan pusat pengedaran narkotika di Sumut. Wanita yang memasuki usia 56 tahun itu menghabiskan masa kecil hingga tuanya di Kampung Kubur. Sejak kecil, Ayu memang sudah lumrah dengan ganja. Ia mengaku kakeknya dulu juga sering mengisap ganja di rumah. “Waktu itu mana tahu kalau daun itu (ganja-red) ternyata enggak baik,” katanya.

Seiring waktu Ayu mulai mengerti bahwa tempat tinggalnya memang jadi sarang peredaran ganja. Tapi, kala itu keadaan masyarakat Kampung Kubur masih sejahtera. Tak banyak kriminal maupun pengedar narkotika yang mengganggu kesehariannya.

Menurut Ayu, keadaan Kampung Kubur berubah drastis sejak tahun 2008. Saat itu mulai beredar jenis baru dari narkotika yaitu sabu-sabu. Harganya lebih mahal dibandingkan ganja. Satu gram sabu-sabu dipatok dengan harga Rp 900 ribu, jika mencapai satu kilogram bisa dijual dengan harga dua miliar.

Kenyataan ini membuat satu per satu masyarakat Kampung Kubur mulai memanfaatkannya sebagai bisnis dan sumber pendapatan. Ada warga yang beralih menjadi pengedar narkotika, ada warga yang menjadi pemakai dan pengedar, dan ada pula yang menyewakan rumahnya sebagai tempat tinggal pengedar narkotika. Orang-orang sering menyebutnya sebagai ‘Rumah Asap’.

 Kosong | Rumah Asap di Kampung Kubur tampak tak berpenghuni, Jumat (25/3). Rumah ini dulunya biasa dijadikan sebagai tempat protitusi dan gudang pengedaran narkotika. | Anggun Dwi Nursitha

Kosong | Rumah Asap di Kampung Kubur tampak tak berpenghuni, Jumat (25/3).
Rumah ini dulunya biasa dijadikan sebagai tempat protitusi dan gudang pengedaran narkotika. | Anggun Dwi Nursitha

Perekonomian warga sebagian besar makin membaik. Penyewa rumah untuk bandar narkotika saja bisa dapat penghasilan hingga sembilan juta per bulannya. Pun, warung Ayu semakin ramai dikunjungi orang-orang.

“Pada kaya mendadak orang sini jadinya,” tutur Ayu sambil tergelak. Kampung Kubur jadi ramai 24 jam, apalagi kalau sudah malam minggu.

Tak hanya tempat bandar narkotika, Kampung Kubur juga jadi tempat perjudian dan prostitusi. Ayu tak lagi merasa nyaman tinggal di rumahnya sendiri. “Bising,” keluhnya saat menceritakan kendaraan bermotor yang sering keluar masuk Kampung Kubur. Paling terlihat perubahannya adalah pada perilaku warga yang semakin memprihatinkan.

“Kita bisa bilang apalah, kalau lapor polisi nanti dimusuhi,” kata Ayu. Hal ini karena pengedar dan pemakai narkotika kebanyakan adalah warga Kampung Kubur sendiri.

Semenjak penggerebekan Januari lalu, Ayu bersyukur pemakai dan pengedar narkotika yang bersembunyi di Kampung Kubur sudah mulai hilang seiring berjalannya waktu. Ia lega. Rasa nyaman dan tenteram adalah hal pertama yang ia dapatkan setelah penggerebekan itu.

Kini kepolisian masih melakukan penjagaan setiap malam, namun tak sesering dua bulan lalu. “Tiap malam pukul sebelas pasti ada polisi yang datang,” cerita Ayu.

Hal ini dibenarkan Irianto. Sejak melakukan razia, polisi langsung membuat enam pos jaga. Namun, pos ini tidak bersifat permanen. Hanya berdiri sebuah tenda saja di tiap pos. Penjaganya dua orang dari pihak polisi dan beberapa warga. Pos ini berdiri sejak awal penggerebakan Agustus tahun lalu.

Pihak Kepolisian Resor Kota (Kapolres) Medan sudah mengosongkan bekas ‘rumah asap’ yang digunakan warga sebagai tempat prostitusi dan gudang narkotika. Kapolres juga berencana mengeluarkan ultimatum untuk merobohkan rumah tersebut apabila disewakan pada pengedar dan bandar narkotika. Meski begitu, pemilik rumah masih bisa menyewakan tempat ini untuk indekos. Rencana ini juga didukung oleh warga setempat.

Terakhir, Irianto mengimbau masyarakat agar menjadi pengontrol. Jika ada tindakan yang mencurigakan, warga dapat melapor. “Kami menargetkan paling lama akhir April sudah selesai tugas kami, sekarang Kampung Kubur sudah bersih,” ujarnya.

Ayu pun turut berjanji akan melapor pada polisi jika masih ada warga Kampung Kubur yang terlibat pengedaran narkotika. Ia berharap stigma masyarakat yang buruk tentang Kampung Kubur juga segera berubah.

Prolog Baru dari Kampung Sejahtera

Seminggu setelah penggerebakan besar-besaran di Kampung Kubur, Ernawati, salah satu warga Kampung Kubur mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh BNNP. Pelatihan ini diadakan selama empat hari sejak 3 Februari silam. Warga diajari cara membuat tempe, mulai dari pemilihan bahan hingga pengolahan tempe.

Selain membuat tempe, Ernawati juga mengikuti kelas tata boga yang difasilitasi oleh kelurahan Petisah Tengah bekerja sama dengan Dinas Ketahanan Pangan Kota Medan. Pelatihan ini diadakan selama tujuh hari di aula kelurahan.

Meski hanya mengikuti selama satu hari, Ernawati dibekali cara membuat kue basah dan kue kering. Setiap harinya, kelas ini diikuti oleh warga yang berbeda. Ada juga pelatihan membuat telur asin dan prakarya dari koran bekas yang bernilai jual.

Ia merasakan manfaatnya. “Cukup membantu dan memuaskan masyarakat,” ujarnya. Banyak materi yang diberikan oleh Pemko Medan. Apalagi bisa jadi solusi untuk menyejahterakan masyarakat Kampung Kubur agar tak lagi berjualan narkotika.

Magdalena Sirait, Kepala Bidang Pencegahan dan Masyarkat BNNP Sumut mengatakan pelatihan tersebut merupakan tahap awal untuk mengubah kebiasaan warga. Warga Kampung Kubur yang mengikuti pelatihan juga diberikan peralatan membuat kue seperti kompor, timbangan, dan uang sebesar Rp200.000. Usaha ini tak hanya dilakukan oleh BNNP saja, tetapi juga dari Pemerintah Kota Medan dan kepolisian.

Selain membantu masyarakat dengan membekali modal kewirausahaan, kepolisian juga turut serta membantu warga Kampung Kubur. Selepas penggerebekan Januari lalu, Kepala Polresta Medan, BNNP, dan Pemerintah Kota Medan sepakat mengubah nama Kampung Kubur menjadi Kampung Sejahtera. Nama baru ini juga disetujui oleh seluruh warga Kampung Kubur.

Tujuannya agar stigma buruk dari masyarakat luar tentang Kampung Kubur sebagai kampung narkotika berubah.

Konon, nama kampung kubur diberikan karena terdapat area pekuburan milik India muslim. Perkuburan itu letaknya di belakang Masjid Gaudiyah. Sebagian besar warga Kampung Kubur merupakan masyarakat Jawa Deli. Ada juga masyarakat Cina, India Tamil, India Jawa, dan Padang.

okk
“Kita mau semua masyarakat jadi sejahtera, seperti namanya; Kampung Sejahtera,“ Ujar Rahayu wakga kampung kubur.

Berdasarkan cerita dari Ade Kurniawan, Sekretaris Lurah Medan Petisah, terkadang jika ada warga yang ingin membuka rekening baru di bank akan diragukan. “Sebab mereka warga kampung Kubur jadi agak ragulah. Mungkin karena citranya jelek,” ucapnya.

Hal ini karena stereotip buruk yang melekat pada warga Kampung Kubur. Padahal, menurut Ade stereotip itu bukan dari warga asli, tapi pendatang. Kampung yang dinaungi sekitar 270 kepala keluarga ini dulunya warga biasa yang berdagang makanan.

Perubahan nama kampung ini tentunya berdampak pada perubahan pada KTP seluruh warga. Pemerintah juga akan membangun portal di pintu masuk kampung untuk membatasi warga yang masuk.

Emmy Tarigan, Kepala Lingkungan Kampung Sejahtera tak melihat langsung perubahan perekonomian warga setelah BNNP dan pemerintah melakukan pelatihan tersebut. Meskipun sudah ada beberapa warga yang merasakan dampak baiknya. Sebelum dikenal sebagai kampung narkotika, Kampung Kubur memang sudah dikenal sebagai kampung kuliner.

Menurut Emmy, warga tak hanya membutuhkan pelatihan, sebab sebagian besar warga sudah ahli dalam membuat kuliner. Emmy berharap bantuan dari pemerintah dan BNNP tak sekadar pelatihan, warga sebenarnya lebih mau bantuan konkrit seperti uang untuk modal berdagang warga.

Meski begitu, Magdalena mengatakan bantuan dari BNNP hanya bisa sekadar itu. “Anggaran kita enggak cuma untuk Kampung Sejahtera saja,” katanya. Untuk mengembalikan ketenteraman warga Kampung Sejahtera, diperlukan kerja sama antar sektor. Baik dari BNNP, Pemerintah Kota Medan, maupun Polresta.

Baik Emmy, Ayu, dan Ernawati berharap dengan diubahnya nama Kampung Kubur menjadi Kampung Sejahtera akan membawa dampak baik bagi masyarakat ke depannya. “Kita mau semua masyarakat jadi sejahtera, seperti namanya; Kampung Sejahtera,“ tutup Ayu.

Koordinator Liputan       : Tantry Ika Adriati

Reporter                       : Anggun Dwi Nursitha, Ika Putri Agustini Saragih, Nurhanifah, dan Tantry Ika Adriati

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4