Oleh: Amanda Hidayat
Jarang tak jarang meneliti, sama hampanya kalau belum publikasi.
Publikasi adalah tahap terakhir dalam menulis karya tulis ilmiah sebuah penelitian. Sebelum mempublikasikan karyanya, peneliti harus mampu menyuarakan pengetahuannya, memecahkan masalah dengan membaca keadaan sekitar, menggambarkan masalah dari pelbagai sudut pandang lantas menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Menyusun karya ilmiah yang berbobot tentu butuh waktu, tenaga, pikiran dan fisik yang ekstra. Misalnya, membaca sebanyak mungkin literatur terkait dengan penulisan karya tulis ilmiah. Ini dilakukan agar tulisan yang dihasilkan memiliki kupasan yang komperehensif dan mendalam. Hal lain yang harus diperhatikan penulis adalah aksesibilitas karya tulisnya. Hal ini dijelaskan Harmein Nasution, Kepala Lembaga Penelitian (LP) USU, Sabtu (4/4) lalu di Gedung LP USU.
***
Adalah Rahayu Lubis, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU bercerita saat ia kuliah strata tiga (S-3) di Kuala Lumpur, Malaysia 2012 lalu. Kala itu ia sedang bercengkerama dengan salah seorang teman. Rahayu mengingat-ingat percakapan dengan temannya itu. Kira-kira begini:
“Indonesia enggak pernah meneliti tentang kanker ya?” teman Rahayu bertanya padanya.
“Pernah,” jawab Rahayu.
“Lho, kok enggak ada publikasinya?” tanya temannya lagi.
“Oh, Indonesia itu sering meneliti, tentang kanker juga banyak, tapi jarang publikasi saja,” jawab Rahayu.
Itu cerita sebelum Rahayu berhasil publikasikan karya ilmiahnya dua kali di salah satu jurnal internasional milik Amerika Serikat; Preventive Medicine Journal Elsevier. Awalnya karena tuntutan studi, karya ilmiah Rahayu berhasil diterbitkan. Tak seperti perguruan tinggi di Indonesia yang minim publikasi, ia temui sebaliknya di sana.
Rahayu menuturkan betapa pentingnya publikasi karya ilmiah. Menurutnya, publikasi juga membantu eksistensi sebuah negara di dunia internasional. Menurutnya, penelitian yang dilakukan di Indonesia cukup banyak. Berkaca dari data yang dihimpun LP USU, staf pengajar USU melakukan 882 penelitian sepanjang 2014.
“Kalau tidak dipublikasi mana mungkin orang bisa tahu,” ujar Rahayu.
Karena itu juga, Rahayu mengatakan Malaysia unggul dalam publikasi dibanding Indonesia. “Malaysia itu diare saja dipublikasi.” kata Rahayu.
Rahayu ceritakan proses publikasi karya ilmiahnya pada jurnal internasional tersebut. Kala itu ada empat orang yang bertindak sebagai asesor tulisannya. Sempat beberapa kali dikembalikan untuk diperbaiki. Bahkan, sempat tulisannya ditolak di sebuah publikasi suatu negara. Namun, ia tak putus asa dan terus perbaiki kualitas tulisannya. Sampai akhirnya, tulisannya diterima. Setelah diterima, Rahayu tinggal selesaikan pembayarannya. “Bisa 2 hingga 3 juta rupiah,” terangnya.
Lanjut, ia mengkritisi publikasi di USU, khususnya di FKM. “Masih sangat minim,” katanya. Menurut Rahayu, ini sebab tidak adanya kemauan dari diri sendiri untuk menulis. Padahal penelitian oleh staf pengajar FKM dari data LP sebanyak 21 penelitian sepanjang 2014. Selain itu, kendala lain adalah pembiayaan. Ia tak pungkiri, tak jarang rekannya sesama dosen mengeluhkan masalah dana. “Kadang teman saya bilang, ngapain publikasi, sudah nulisnya capek bayar lagi,” ujar Rahayu menirukan.
Rahayu berharap, semangat menulis harus ditumbukan ke semua orang. Bukan hanya dosen, tapi mahasiswa juga. Kalau menulis jadi kewajiban, menurut Rahayu bisa menjadi solusi sehingga FKM atau USU bahkan Indonesia bisa banyak publikasinya. Karena ia pun tak pungkiri, awal ia publikasi adalah karena tuntutan saat menempuh pendidikan. Kalau biaya menurutnya tak jadi kendala bila seorang peneliti memang ingin karyanya dapat diakses dan dipercaya. Apalagi kalau publikasinya di jurnal terakreditasi.
Ditambahkan Rahayu, adanya surat edaran dari Direktorat Jendral (Ditjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) kepada rektor/ketua/direktur perguruan tinggi negeri/perguruan tinggi swasta (PTN/PTS) di seluruh Indonesia. Bahwa bagi lulusan setelah Agustus 2012, publikasi makalah jadi syarat kelulusan.
Di mana untuk program S-1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah. Untuk program S-2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah nasional terutama yang terakreditasi Dikti, dan untuk program S-3 harus ada makalah yang sudah diterima terbit di jurnal internasional. Ia berharap hal tersebut bisa menumbuhkan niat menulis hingga akhirnya menulis menjadi kebutuhan, bukan tuntutan studi saja meskipun awalnya begitu.
“Menulis itu harus dibiasakan, kalau tidak bisa ya harus diwajibkan,” katanya
Ia bercerita susahnya menulis sebuah karya, “Bisa sampai bertahun-tahun,” tambahnya. Rahayu katakan proses yang lama adalah saat tulisan ada pada asesor alias penguji. Bisa sampai berkali-kali tulisan dikembalikan ke si pengirim, kemudian diperbaiki, dikembalikan lagi dan diperbaiki lagi, berulang-ulang.
“Kalau sudah paham dan pernah menulis, sebenarnya untuk menulis lagi sudah mudah. Banyakin latihan dan baca referensi saja,” katanya.
Bila Rahayu terkendala biaya, maka Salmiah, Ketua Program Studi (Prodi) Agribisnis Fakultas Pertanian punya cerita berbeda. Baru-baru ini ia dapat tawaran mempublikasikan hasil penilitiannya di Jurnal Agribisnis Indonesia keluaran Departemen Agribisnis Fakultas Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia sendiri belum bisa sanggupi tawaran tersebut sebab terkendala waktu.
Menurutnya, waktu juga yang sebabkan civitas akademik USU jarang lakukan penelitian, apa lagi sampai publikasi yang tentu prosesnya cukup memakan waktu. “Terkendala waktu,” ulangnya.
Menyangkut publikasi jurnal, Salmiah jelaskan prodi Agribisnis miliki sebuah jurnal ilmiah, namun belum terakreditasi Dikti. “Cuma sebatas punya ISSN (International Standard Serial Number –red) saja,” terangnya. Jurnal ilmiah ini diberi nama Cerres. Gaungnya hanya sebatas prodi dan dosen Agribisnis, sesekali dibeli mahasiswa yang butuh referensi kala mengerjakan tugas akhir. Cerres pertama kali diterbitkan tahun 2011 dan konsisten terbit dua kali per tahun sampai saat ini. “Edisi terakhir Oktober 2014 dan akan kembali terbit April tahun ini,” paparnya.
Kontennya yakni tesis dan hasil penelitian mandiri atau hibah yang dilakukan dosen. Ia bilang Cerres tidak menampung hasil penelitian mahasiswa S-1 sebab jumlah mahasiswanya yang banyak. “Untuk mereka kita upload-kan ke e-journal Agribisnis USU.”
Salmiah tak terlalu masalahkan Cerres yang belum terakreditasi. Pun, ia tahu ini berpengaruh pada akreditasi prodi. Namun, dengan keberadaan Cerres sekarang ia rasa sudah cukup dulu. Paling tidak saat ini prodinya sudah punya wadah untuk publikasi, meskipun kualitasnya belum sampai ke tahap nasional. Karena menurutnya, bagaimanapun penelitian yang dilakukan tak akan berguna jika tak dipublikasikan.
***
Tak jauh beda dengan Agribisnis, di tingkat fakultas ada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yang memberikan kesempatan publikasi untuk tiap skripsi mahasiswanya.
Sarana publikasi ini dimiiki setiap departemen di FMIPA. Sudah lima tahun umurnya sejak dibuat 2010 lalu dengan nama Saintia. Tapi sarana publikasi ini juga belum terakreditasi. Mengapa? Sutarman, Dekan FMIPA menjawab tidak ada biaya. Fakultas perlu menggelontorkan banyak duit untuk mengelola jurnal yang terakreditasi. Tidak dalam waktu dekat ini. “Mungkin dekan selanjutnya,” ujar Sutarman diiringi tawa.
Berbeda dengan sarana publikasinya, FMIPA malah menunjukkan tajinya di kancah nasional. Jumlah penelitian dari tiap bidang keilmuan di FMIPA berasal dari penelitian staf pengajar FMIPA. Penelitian-penelitian yang selesai tersebut diterbitkan ke jurnal ilmiah milik asosiasi masing-masing bidang ilmu yang cakupannya nasional. Misalnya, penelitian-penelitian tentang Matematika diterbitkan ke Indonesian Mathematical Society (IndoMS) dan Kimia diterbitkan ke Himpunan Kimia Indonesia (HKI).
Sutarman bilang, Departemen Biologi jumlah penelitiannya merupakan terbanyak dari tahun ke tahun. Melebihi bidang lain seperti Matematika dan Kimia. Fisika yang paling sedikit. “Mungkin karena Fisika sulit, penelitiannya mahal.”
Dalam beberapa hal, Sutarman sepakat dengan Rahayu, bahwa bukan sedikitnya penelitian yang membuat publikasi minim. Bukan pula biaya. Ia juga benarkan pernyataan Salmiah bahwa terkadang waktu memang jadi kendala.
Hindun Pasaribu, Kepala Bagian Kemahasiswaan dan Kealumnian (BKK) ini menjawab cepat pertanyaan SUARA USU ihwal antusiasme mahasiswa melakukan penelitian. “Kamu lihat saja,” katanya sambil menunjukkan data yang dimiliki BKK tentang jumlah karya ilmiah mahasiswa.
Tercantum tahun 2013 ada 900 karya ilmiah mahasiswa lewat berbagai jalur, di antaranya jalur mahasiswa berprestasi (Mawapres), Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNas), atau jalur swasta seperti lomba karya ilmiah lain. Sementara tahun lalu ada peningkatan: 1014 karya ilmiah.
Khusus ke Dirjen Dikti, tercatat 268 karya ilmiah yang dimasukkan di tahun 2014. Untuk tahun ini, BKK menargetkan 500 karya ilmiah ke Dikti.
Namun meningkatnya kuantitas ini ternyata tak bisa dibanggakan. Menurut Hindun, harusnya bisa lebih banyak karena tahun lalu adalah tahun perdana diberlakukannya proposal karya ilmiah sebagai syarat mendapat beasiswa peningkatan prestasi akademik (PPA).
Untuk tahun ini, BKK menggenjot kuantitas penelitian mahasiswa dengan menaikkan target penerima beasiswa PPA sebanyak 1100 mahasiswa.
Sementara itu USU sendiri tidak punya sarana publikasi karya ilmiah mahasiswa. Hindun bilang belum terpikir untuk membuat sarana seperti itu. Alasannya praktis: peminat dari mahasiswa sangat sedikit. “Yang dapat dana (dana penelitian –red) saja enggak antusias,” katanya.
Haremein punya pandangan sendiri terkait penelitian berujung publikasi jurnal ilmia di USU. Ia tak pungkiri antusiasme civitas akademik publikasi penelitian di USU tak bisa dikatakan besar. Namun, memang meningkat dari tahun ketahun. “Jadi kalau dari 882 total penelitian dalam satu tahun itu tidak juga bisa dikatakan sedikit, meski bisa lebih dari itu,” katanya.
Banyak pun penelitian yang dilakukan, tetap saja publikasi yang dilakukan tak terdata oleh USU. Sebenarnya LP sudah mewajibkan peneliti agar melaporkan apabila melakukan publikasi karya ilmiah. Tak sampai hitungan lima persen dari keseluruhan yang melaporkan publikasinya.
Apalagi, Jurnal USU juga belum terakreditasi, banyak peneliti yang memilih publikasi di luar USU. “Susah nge-datanya,” sahutnya.
Koordinator Liputan: Amanda Hidayat
Reporter : Erista Marito Oktavia Siregar, Lazuardi Pratama, Shella Rafiqah Ully, dan Amanda Hidayat