Oleh: Widiya Hastuti
“Tak keberpihakan media dalam pro-kontra Omnibus Law menjadikannya sebagai gelanggang perang narasi”
Di tengah ramainya demonstrasi penolakan UU Omnibus Law yang banyak menyita perhatian, mungkin hal lainya yang harus kita perhatikan adalah media massa. Media massa menduduki posisi penting dalam carut marut penolakan omnibus law. Tiap pro kontra memberikan narasi masing-masing terhadap Omnibus Law. Membenarkan argumen pribadi untuk mengambil simpati publik. lalu bagaimana media kita menyuarakan berbagai narasi tersebut?
Sejak disahkannya UU Omnibus Law oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 5 Oktober lalu, demonstrasi penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Omnibus Law terus berlanjut. Penolakan berdatangan dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari buruh, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan lainnya. Titik demonstrasi pun tersebar di berbagai daerah di tanah air. Tiap daerah menyuarakan aspirasinya ke DPRD masing-masing kota untuk membatalkan Omnibus Law.
Tak tinggal diam, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Supratman Andi Agtas menggelar konferensi pers dan mengatakan demonstrasi terjadi karena massa aksi terhasut hoax yang beredar di media sosial. Pada Selasa, 6 oktober melalui Instagram @dpr_ri, meluruskan pasal-pasal yang dianggap hoax. Hal ini disusul oleh Presiden Jokowi pada Jumat, 9 Oktober yang menegaskan kembali demonstrasi didasari pada disinformasi mengenai substansi dari UU Omnibus Law dan hoax yang beredar di media sosial.
Tak hanya sampai disitu, banyak tokoh-tokoh politik yang mengatakan terdapat aktor intelektual dibalik demonstrasi UU Omnibus Law. Seperti Menteri Politik, Hukum, dan Ham, Mahfud MD yang berjanji akan menangkap “penunggang” gerakan massa ini, tapi hingga sekarang tak satu orang pun jadi tersangka dan tak sebuah nama pun disebut.
Media kemudian beramai-ramai memberitakan tudingan yang disampaikan oleh Ketua Baleg, Presiden, dan tokoh politik lain. Bahkan media tidak mempertanyakan apa landasan presiden dan ketua baleg menuding demonstran adalah orang-orang yang tersulut hoax. Bahkan hanya sedikit media yang meminta tanggapan dari demonstran —dalam pemberitaan ini tentu paling dirugikan.
Lalu bagaimana media menampilkan Omnibus Law dalam pemberitaannya? Mari kita lihat hasil riset remotivi.or.id; dari 6 media massa online yang diamati sebanyak 51,99% media massa memberitakan omnibus law secara positif, 31,58% netral, dan 16,43% negatif. Ini menunjukkan bahwa media massa menggambarkan omnibus law bukanlah hal yang patut ditolak. Di sisi lain media massa juga mengambil posisi sekadar pusat informasi tanpa mau mengkritik narasi apa yang disampaikan tentang omnibus law.
Dalam pemilihan narasumber pun media massa lebih sering memberikan tempat pada pemerintah, terutama dalam pemberitaan omnibus Law positif. Sebanyak 66,3% pemberitaan menggunakan narasumber pemerintah.
Dalam kasus ini demonstran tentu dirugikan karena mereka lebih sedikit mendapatkan panggung. Masyarakat dapat memandang demonstran sebagai orang yang mudah ditunggangi dan tak dapat menyaring hoax. Imbasnya demonstrasi yang telah dibangun akan kehilangan simpati masyarakat bahkan mungkin akan meredup.
Bagaimana media seharusnya memberitakan?
Dalam postingannya di Facebook, Andreas Harsono, Peneliti Human Right Watch menulis bagaimana media di Amerika menambahkan pernyataan Presiden Donald Trump –yang kerap kali menuduh— dengan kata “without providing evidence” (tanpa bukti). Ini menjadi penegasan kepada masyarakat bahwa yang dikatakan pemerintah tidak memiliki landasan yang kuat. Mengapa media Amerika menambahkan frasa tersebut?
Media massa tidak hanya hadir sebagai penyalur informasi tanpa memilah dan memilih informasi siapa yang akan dihembuskan ke masyarakat luas. Dalam dunia jurnalistik, media seharusnya menggunakan framing dan agenda setting sehingga media massa tidak ikut hanyut dalam arus perang narasi.
Framing berperan sebagai bingkai dari realitas yang tengah terjadi di masyarakat. Maksudnya, media memiliki peran untuk merangkum sebuah realitas agar pesan yang diterima oleh audiens sesuai dengan apa yang ingin disampaikan.
Bukan berarti jurnalis ingin berbohong, namun karena sebuah realitas umumnya sangat kompleks hingga media dibutuhkan untuk merangkum dan memberikan hal yang dianggap penting untuk disampaikan.
Agenda setting merupakan teori yang diperkenalkan oleh Maxwell Mccomb dan Donald Shaw dalam bukunya “Public Opinion quarterly”. Teori ini menjelaskan tentang dampak sebuah media massa terhadap pengetahuan dan pendapat khalayak terhadap suatu isu.
Sejatinya publik tidak merespon pada kejadian yang sebenarnya terjadi, tetapi merespon pada ”gambaran” yang ada dalam pikirannya. Seorang jurnalis peraih Putlizer Walter Lippman menyebutnya sebagai pseudo environment, yaitu “Gambaran” yang didapat publik dari konstruksi media massa.
Dalam pemberitaan Omnibus Law harusnya media terlebih dahulu memilih framing tentang apakah benar Omnibus Law merugikan masyarakat kecil? Pemilihan framing ini kemudian menjadi panduan jurnalis yang turun ke lapangan untuk mengumpulkan data dan mengolahnya. framing ini kemudian akan dibarengi agenda setting dengan memberikan porsi lebih pada realitas yang akan “digambarkan”.
Kemudian apa yang harus dipilih sebagai framing dan agenda setting? Menurut Tom rosentiel dan Bill Kovach dalam bukunya 9 elemen Jurnalisme media harus menyajikan berita yang berisi kebenaran –akurat, jujur dan untuk kepentingan masyarakat banyak. Ini menuntut media terbebas dari kepentingan sekelompok kecil orang, seperti tokoh politik, pemodal, pembaca bahkan identitasnya sendiri —agama, suku, kelas sosial dan lainnya.
Pemberitaan media massa yang terlihat memihak pemerintah bukan karena media massa banyak yang mendukung Omnibus Law. Namun karena media massa tidak memiliki pendirian bagaimana seharusnya mereka menampilkan isu. Imbasnya, tiap pihak saling meniupkan narasinya ke dalam pemberitaan media dan media massa terus memberikan panggung pada mereka yang paling aktif menyampaikan narasi. Sayangnya, pemerintahlah pihak yang paling aktif tersebut.
Jika media massa terus tak menggunakan pedoman dalam pemberitaannya, sebagai gelanggang perang narasi, media mungkin saja akan mengeluarkan pemerintah sebagai pemenang perang ini.