BOPM Wacana

UU Cipta Kerja, Neoliberalisme, dan Mimpi Negara Kesejahteraan Kita

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Surya Dua Artha Simanjuntak

Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak

UU Cipta Kerja sudah sah, mimpi negara kesejahteraan kita kapan?

Saat itu Sabtu malam, banyak masyarakat Indonesia yang sedang asik menonton tim bola kesayangannya bertandingan, banyak juga pemuda-pemudi yang sedang menebar kasih, yang lainnya mungkin sedang asik bersantai menikmati akhir pekan yang tenang. Namun, kesibukan malah tampak di Kompleks Parlemen, yang saat itu sedang berlangsung Rapat Kerja Badan Legislasi pada 3 Oktober 2020 lalu.

“Tok!”

Begitu kiranya bunyi ketukan palu ketika para Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia bersama pemerintah resmi meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR. Tak lama setelahnya, berita pun langsung menyebar. Banyak masyarakat yang tadinya sedang asik dengan urusan masing-masing, kaget bukan main.

Hebatnya, kejutan tak sampai situ: Rapat Paripurna yang direncanakan digelar 8 Oktober 2020, tiba-tiba dipercepat ke 5 Oktober 2020. Hasilnya? Kekagetan masyarakat berubah jadi amarah. Namun, itu belum puncaknya, kesabaran masyarakat habis ketika RUU Cipta Kerja sah menjadi UU dalam Rapat Paripurna. Akhirnya, aksi unjuk rasa pecah di berbagai daerah.

Amarah rakyat itu bukan tanpa alasan. Sebelumnya, berbagai lapisan masyarakat  dan lembaga-lembaga kredibel sudah menyatakan sikap menolak RUU Cipta Kerja: mulai dari serikat-serikat buruh, mahasiswa, akademisi, bahkan sampai organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. Singkatnya, mereka menilai banyak pasal dalam RUU Cipta Kerja yang berpotensi besar merugikan rakyat banyak, khususnya buruh.

Istilah ‘rakyat banyak’ di sini perlu ditekankan karena sangat berkaitan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state). Saat ini, istilah negara kesejahteraan mungkin asing di telinga banyak orang. Namun, pada awal abad ke-20 sampai 1970-an, konsep negara kesejahteraan mendominasi banyak pemerintahan di dunia—sebelum akhirnya neoliberalisme mengambil alih pada 1980-an sampai sekarang.

Budi Setiyono dalam bukunya Model & Desain Negara Kesejahteraan (2018) mendefinisikan negara kesejahteraan sebagai “konsep pemerintahan di mana negara memainkan peran penting dalam perlindungan ekonomi dan sosial warganya secara menyeluruh”. Caranya dengan menyediakan jaminan dan asuransi sosial untuk warganya. Konsep ini lahir sebagai tanggapan atas gerakan sosialis kelas pekerja yang semakin masif pada akhir abad ke-19. Sehingga, dalam negara kesejahteraan hak-hak buruh pasti dijamin.

Indonesia sendiri dapat dikatakan tumbuh dari dasar konsep negara kesejahteraan. Sila ke-5 Pancasila dan alinea ke-4 pembukaan UUD sangat mencerminkan cita-cita negara kesejahteraan. Namun, saat ini, pemerintah seakan lupa dengan mimpi negara kesejahteraan kita. Pemerintah coba beralih ke neoliberalisme dengan menerapkan deregulasi di berbagai sektor ekonomi yang berujung pada pemangkasan hak-hak buruh. UU Cipta Kerja merupakan contoh nyatanya. Dalilnya? Mantra klasik kaum neolib pun keluar: untuk menarik investor asing.

Padahal, Ekonom Cambridge Ha-Joon Chang dalam bukunya Bad Samaritans (2007) berpendapat bahwa investasi asing lebih banyak membawa bahaya ketimbang manfaat bagi negara berkembang. Ini karena investasi asing menciptakan kesempatan bagi korporasi transnasional masuk ke negara-negara berkembang. Padahal, korporasi transnasional dapat menghancurkan perusahaan-perusahaan nasional yang seharusnya bisa ‘tumbuh dewasa’. Menurut Chang, negara berkembang seharusnya coba membangun industri secara mandiri dan memproteksinya dahulu dari persaingan luar negeri, sampai akhirnya mampu bersaing secara global.

Samsung, contohnya, yang pada 1938 memulai bisnis hanya dengan mengekspor ikan, sayuran, dan buah-buahan. Baru pada 1974 Samsung beralih ke industri semi-konduktor. Akhirnya—sekarang  ini, Samsung menjelma menjadi salah satu eksportir terbesar dunia untuk ponsel pintar. Kesuksesan Samsung tak lepas dari peran pemerintah Korea Selatan yang mau memberikan subsidi kepada perusahaan itu dan menerapkan tarif pajak yang besar kepada produk pesaing dari luar negeri. Hasilnya, kini Samsung menyumbang setidaknya 20% aktivitas perekonomian Korea Selatan.

Hal serupa juga terjadi pada perusahaan mobil Jepang, Toyota, yang baru  berhasil menciptakan mobil berkualitas setelah 25 tahun mencoba. Serta, perusahaan ponsel Finlandia, Nokia, yang membutuhkan waktu 17 tahun untuk menghasilkan keuntungan.

Ketiga perusahaan itu berhasil mendunia dan mampu membangun perekonomian negaranya—yang saat itu masih berkembang—menjadi maju, berkat tekat kuat pemerintah negara mereka yang bersedia memproteksi perusahaan-perusahaan tersebut sampai ‘tumbuh dewasa’ dan mampu bersaing secara global—bukan melalui ‘jalan pintas’ investasi asing.

Seandainya saat itu pemerintah Korea Selatan menyerah di tengah jalan dan menerima investor asing untuk membeli perusahaan Samsung, mungkin ponsel-ponsel pintar merk Samsung yang bertebaran saat ini tidak pernah, atau—lebih mungkin, Samsung hanya jadi cabang sebuah perusahaan pembuat ponsel pintar asal Amerika.

Singkatnya: neoliberalisme yang coba diterapkan pemerintah saat ini hanya sejenak menguntungkan Indonesia, namun pada akhirnya akan lebih menguntungkan negara-negara maju, yang kemudian menjebak Indonesia dalam perangkap pendapatan menengah (middle income trap). Sepertinya, target pemerintah hanya ‘pertumbuhan ekonomi’ jangka pendek bukan ‘pembangunan ekonomi’ masa depan Indonesia. Lagi pula, untuk apa politisi memikirkan masa depan Indonesia? Toh, angka ‘pertumbuhan ekonomi’ sudah cukup bagus untuk bahan kampanye mereka.

Sampai sini, rasanya Indonesia tak akan pernah menggapai mimpi negara kesejahteraannya. Apalagi nasib buruh yang makin tergilas. Bahayanya, tingkat keikutsertaan buruh Indonesia dalam serikat buruh juga sangat rendah. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per-Maret 2020, jumlah buruh yang tergabung dalam serikat buruh berjumlah 3.378.808 orang, sedangkan data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah pekerja formal pada 2019 berjumlah  55.272.968 orang. Artinya, hanya sekitar 2% buruh Indonesia yang tergabung dalam serikat buruh!

Sebagai perbandingan, mari kita lihat nasib buruh di negara-negara Nordik, yang sudah dikenal sebagai negara kesejahteraan paling sukses. Budi Setiyono mencatat pada 2017 jumlah keikutsertaan buruh dalam serikat buruh mencapai 86% di Islandia, 69% di Finlandia, 68% di Swedia, 67% di Denmark, dan 52% di Norwegia.

Tak heran jika akhirnya semua negara Nordik menduduki klaster tertinggi dalam laporan Global Rights Index 2020 yang dikeluarkan Konfederasi Serikat Buruh Internasional. Dalam laporan tersebut, Indonesia sendiri duduk di klaster ke-5 (terendah ke-2), dengan label ‘tak ada jaminan hak-hak buruh’.

Melihat data-data di atas, sudah seharusnya buruh Indonesia lebih terorganisir. Sayangnya, absennya ideologi kiri dalam pertempuran politik Indonesia selama ini membuat buruh Indonesia tak punya kesadaran berserikat.

Sia-sia rasanya jika buruh hanya mengandalkan politisi yang sekarang penuh dengan para oligark. Jelas, perpolitikan Indonesia sedang rusak. Saat ini, semua partai politik di Indonesia berhaluan nasionalis—bahkan partai Islam sekalipun. Akibatnya—tanpa pertarungan ideologis, dinamika perpolitikan saat ini hanya menghasilkan politisi populis yang pragmatis—baik dari koalisi maupun oposisi pemerintah. Contohnya? Sikap penolakan RUU Cipta Kerja dari Partai Demokrat dan PKS yang terkesan setengah hati.

Wajar rasanya jika saya mengira manuver Partai Demokrat dan PKS itu sebagai contoh pragmatisme politisi populis yang hanya bertujuan menarik simpati massa. Toh, tak ada usaha yang benar-benar nyata dari kedua partai itu dalam menolak RUU Cipta Kerja.

Oleh karena itu—jauh lebih mendesak dari masa-masa sebelumnya, saat ini Indonesia benar-benar memerlukan partai alternatif berhaluan kiri, sebagai pengorganisir kelas pekerja dan penentang status quo dunia perpolitikan Indonesia yang saat ini sudah kehilangan arah dalam meraih mimpi negara kesejahteraan kita.

Komentar Facebook Anda

Surya Dua Artha Simanjuntak

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4