Oleh: Yael Stefany Sinaga
“Polisi yang baik itu cuma tiga. Pak Hugeng almarhum bekas Kapolri, patung polisi, dan polisi tidur,” – Abdurrahman Wahid alias Gus Dur –
Sejak disahkannya Undang-Undang (UU) Omnibus Law oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak 5 Oktober lalu, demonstrasi penolakan terhadap undang-undang ini mengundang aksi demonstrasi serentak dari seluruh daerah di Indonesia. Tidak hanya mahasiswa, beberapa elemen masyarakat seperti buruh, lembaga swadaya masyarakat, dan pelajar pun turut serta turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap UU Omnibus Law.
Tak hanya sehari, aksi ini terjadi terus menerus dengan harapan UU Omnibus Law dapat dibatalkan. Namun nyatanya pemerintah semakin membuat narasi yang menguatkan agar undang-undang ini segera terealisasikan. Narasi politik pun semakin berkembang apalagi adanya perang narasi tentang hoaks dari pasal-pasal yang ada di UU Omnibus Law. Ini membuat rakyat semakin marah dan resah serta tak pernah lelah untuk berunjuk rasa.
Tetapi dari semua hal yang menyoal aksi demonstrasi menolak UU Omnibus Law, ada hal yang lebih menarik dari aksi unjuk rasa yang dilakukan serentak ini. Yakni represifitas aparat kepolisian yang semakin membabi buta dan brutal terhadap massa aksi. Dimana hampir di seluruh wilayah di Indonesia yang tak pernah absen akan kekerasan serta tindakan brutal dari aparat kepolisian terhadap massa aksi.
Tindakan-tindakan tersebut mulai dari menangkap paksa mahasiswa dan pelajar yang mengikuti aksi demonstrasi, hingga melakukan penyiksaan terhadap maereka yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Kemudian, melakukan pemanggilan dan perburuan terhadap pimpinan organisasi atau individu yang aktif dan frontal menolak segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh negara dan tak luput juga Pimpinan aksi. Juga mengintimidasi pers mahasiswa, jurnalis dan tim medis yang ikut ambil bagian.
Salah satunya adalah yang dialami oleh massa aksi yang ada di Makassar. Melalui akun website resmi cakrawalaide.com sebanyak dua belas orang demonstran ditangkap dan langsung dijadikan tersangka dengan mengenakan pasal 187 ayat 1 tentang kejahatan yang membahayakan keadaan umum, KUHP pasal 170 ayat 1 tentang kejahatan terhadap ketertiban umum dan pasal 55 dan 56 KUHP tentang melakukan tindakan pidana secara bersama.
Tak hanya itu represif juga dilakukan bersamaan dengan organisasi masyarakat (ormas) yang menimbulkan korban banyak berjatuhan. Ada yang dilempar batu, petasan hingga benda tajam berupa panah besi. Bahkan sampai masuk ke dalam wilayah kampus sehingga menimbulkan kerusakan gedung kampus.
Di Medan sendiri, polisi dengan sengaja menabrakan sepeda motor trail kepada massa aksi yang ingin membubarkan diri pasca melakukan aksi pekan rakyat hingga menembakkan gas air mata sehingga membuat massa aksi terpecah. Bahkan keesokan harinya polisi kembali sewenang-wenang menangkap tiga mahasiswa tanpa adanya surat penangkapan yang jelas. Bahkan dua diantaranya mendapatkan kekerasan saat diinterogasi, dan satu ditahan hingga saat ini.
Dari catatan Komisi Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KontraS) juga setidaknya ada beberapa daerah yang mengalami tindakan brutal dari aparat kepolisian selama aksi penolakan UU Omnibus Law. Yakni dimulai dari Jakarta, Malang, Jambi, Surabaya, Yogyakarta dan Lampung.
Dari semua tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap massa aksi yang melakukan unjuk rasa, dapat disimpulkan bahwa banyak sekali maladministrasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Dimana dalam Peraturan Kepala Kepolisian (Perkapolri) No 8 tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penyelenggaraan tugas kepolisian Pasal 5,6,10 dan 11 dikatakan bahwa ada instrumen HAM serta standar perilaku secara umum yang perlu diperhatikan aparat kepolisian saat menjalankan tugasnya.
Sebagaimana itu juga diatur dalam pasal 27, 28, 29 Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi hak seseorang untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani. Juga hak untuk diakui, dijamin, dilindungi, dan kepastian hukum yang adil. Hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani, serta hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat juga hak untuk tidak disiksa.
Tak hanya itu, aparat kepolisianpun tidak diperbolehkan melakukan kekerasan saat menjalankan tugasnya serta dilarang untuk melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang serta melakukan penyiksaan tahanan terhadap orang yang disangka melakukan kejahatan.
Namun nyatanya, aparat kepolisian sering sekali membubarkan paksa massa aksi walau dilakukan dengan kondusif. Parahnya sering melakukan kekerasan kepada massa aksi sehingga menimbulkan korban serta penangkapan tanpa ada yang jelas bahkan melakukan intimidasi dan ancaman saat proses penyidikan.
Padahal sudah jelas bahwa demonstrasi adalah salah bentuk menyampaikan pendapat di muka umum yang dilindungi oleh undang-undang dan itu tidak boleh diganggu gugat. Aparat kepolisian seharusnya paham bahwa demonstrasi adalah juga salah satu bentuk hak individu dalam menentukan sikap dan keyakinannya.
Hal diatas juga diperkuat dalam Peraturan Kepala Kepolisian (Perkapolri) No 14 tahun 2011 tentang kode etik profesi kepolisian. Pada pasal 10, 13, 14, dan 15 dijelaskan bahwa aparat kepolisian harus menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar HAM. Bahwa anggota kepolisian tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tidak boleh menyalahgunakan kewenangan dalam menjalankan tugas dan tidak boleh melakukan kekerasan dalam penyidikan maupun penangkapan.
Hal ini juga tercatat dalam Pasal 5 Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian bahwa polisi dalam penggunaan kekuatan dalam tindakan adalah untuk mencegah, menghambat, dan menghentikan tindakan yang diduga melakukan perbuatan melanggar hukum.
Tetapi dari fakta-fakta di atas, yang terjadi justru sebaliknya anggota kepolisian menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mencederai atau bahkan melukai massa aksi. Pun penggunaan kekuatan harus seimbang dengan situasi dan sedapat mungkin tidak menggunakan kekerasan.
Belum lagi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 18 ayat 1 dan 2 yang memaparkan dalam proses penangkapan pihak kepolisian harus memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan. Juga menunjukkan barang bukti dan menyerahkan kepada tersangka. Tapi lagi-lagi fakta di lapangan sering kali pihak kepolisian menangkap dengan sewenang-wenang dan baru memberikan surat penangkapan beberapa hari setelah tersangka ditangkap.
Dari semua maladministrasi yang dilakukan aparat kepolisian, dapat disimpulkan bahwa tugas pokok aparat kepolisian yakni memberikan perlindungan, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat hanya lah omong kosong belaka. Bahwa hingga saat ini dapat dilihat tidak ada satupun tindakan polisi yang sesuai dengan aturan yang sudah berlaku.
Bukannya bekerja untuk kepentingan rakyat, tapi malah bekerja untuk kepentingan pemerintah serta menjadi alat kekuasaan yang semakin menindas dan merugikan rakyat. Padahal kalau kita bisa meninjau segala kebutuhan serta alat perlengkapan yang digunakan oleh aparat kepolisian selama ini itu berasal dari pajak rakyat yang dibayar setiap tahunnya.
Kalau pun ingin membubarkan massa aksi tidak seharusnya menggunakan kekerasan. Tidak perlu menembakkan gas air mata atau peluru kepada massa aksi. Tidak perlu menggunakan benda tajam sehingga banyak yang terluka bahkan hampir kehilangan nyawa. Pun ketika melakukan penangkapan polisi harus mengikuti prosedur yang sudah ditentukan. Bukan dengan penangkapan paksa bahkan melakukan penculikkan tanpa adanya surat penangkapan serta surat tugas yang jelas.
Agaknya mungkin aparat kepolisian harus kembali belajar, membaca dan memahami aturan serta undang-undang yang sudah dibuat. Atau bila perlu kembali diingatkan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Apa yang seharusnya boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
Ini yang membuat saya semakin yakin untuk tidak akan pernah percaya kepada aparat kepolisian. Ibarat jatuh tertimpa tangga pula, sudah lah rakyat tertindas dan menderita dengan kebijakan pemerintah yang semakin menjadi-jadi apalagi ditambah dengan tindakan kepolisian yang sesuka hatinya melakukan kekerasan, ancaman dan intimidasi terhadap rakyat.
Bahwa benar seperti kalimat pembuka tulisan saya yang diambil dari guyonan presiden keempat Indonesia, Gus Dur, bahwa polisi yang baik hanyalah patung polisi dan polisi tidur. Mungkin tidak ada salahnya juga saya mengakhiri tulisan saya dengan menyematkan kalimat yang sering kali digaungkan oleh orang-orang yang setia berjuang di garis perlawanan yakni All Cops Are Bastards (A.C.A.B).