Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak
Saat remaja, ia sering membayangkan alangkah kerennya jika dirinya lahir di salah satu kota-kota megapolitan. Sungguh asyik jika sehari-hari bisa bersantai di mall–mall besar, pergi ke bioskop setelah pulang sekolah, atau berjalan-jalan di antara gedung pencakar langit. Namun ia harus puas lahir di Siborongborong, suatu daerah di pinggiran Kabupaten Tapanuli Utara yang terkenal berkat lagu Sayur Kol.
Ternyata, impian remaja Dosmar dapat terwujud setelah dirinya diterima di Universitas Sumatera Utara. Kini, sudah hampir satu dekade ia menetap di Medan. Hobinya menulis membuatnya bekerja di salah satu surat kabar lokal, tak lama setelah ia wisuda. Namun, kehidupan kota tak seperti yang Dosmar harapkan. Hiruk-pikuk kendaraan, deadline kerja yang datang silih-berganti, dan banjir setelah hujan buat Dosmar jerah.
Perspektifnya berubah: Dosmar membayangkan alangkah beruntungnya jika dirinya lahir di daerah terpencil, di antara suku asli yang masih menjaga tradisi dan gaya hidup egaliter. Saat sedang asyik membayangkan hal itu, notifikasi WhatsApp muncul di layar ponsel Dosmar:
“Papua Memanggil Para Pewarta Muda Indonesia!”
Begitu kiranya judul pesan yang diterima Dorman. Rupa-rupanya, Kementerian Pariwisata sedang mencari jurnalis yang tertarik meliput kehidupan Suku Korowai di Papua. Korowai adalah suku asli yang sudah mendiami pedalam hutan-hutan Papua selama 10 ribu tahun terakhir.
“Terima kasih, Tuhan,” ungkap Dosmar sambil tersenyum melihat langit. Ia yakin ini adalah kesempatan untuk mewujudkan harapan barunya: merasakan hidup dalam masyarakat yang masih egaliter. Dosmar segera mendaftar.
***
Pesawat lepas landas. Terdengar suara menggumam dari mulut Dorman. Ia memohon keselamatan kepada Tuhannya. Ini bukan kali pertama ia naik pesawat, namun ia mendengar kondisi landasan udara di pedalaman Papua sangat ekstrem.Ia jadi gugup.
Namun, itu hanya satu alasan: penyebab kegugupan terbesarnya karena di depannya duduk manis seorang jurnalis wanita asal Bandung yang akan jadi sejawatnya dua minggu ke depan. Maya namanya.
Dorman dan Maya merupakan dua jurnalis yang dipilih Kementerian Pariwisata untuk meliput kehidupan Suku Korowai.
Sejak pertama bertemu, Maya langsung menarik perhatian Dorman. Wajahnya khas wanita Sunda, rambutnya hitam lurus, matanya dihiasi bulu dan alis tebal alami. Saat senyum, pipinya jadi makin menggemaskan.
Namun, Dorman ingin jaga image. Ia tak ingin terlihat cari perhatian. Selama perjalanan, Dorman tak berani menatap Maya. Ia juga tak berani mengajaknya bicara. Takut salah ngomong, pikirnya. Di sisi lain, Maya merasa terintimidasi dengan kebisuan Dorman. Ia jadi tak berani bicara juga.
Berjam-jam dalam kebisuan, mereka akhirnya sampai. Di atas landasan tanah, pesawat mendarat dengan mulus.
“Tidak ada jalan kembali sekarang,” ungkap Dorman yang akhirnya membuka pembicaraan. Namun, Maya hanya membalas dengan senyuman kecut. Tak seperti harapan Dorman.
Mereka sudah disambut pemandu. Dari bandara, mereka harus berjalan kaki memasuki hutan untuk dapat sampai ke desa Suku Korowai. Selama lima jam mereka bergumul dengan lumpur, rawa, dan nyamuk. Saat sampai, mereka disambut dengan suka cita. Dorman kaget. Walau masih menjaga tradisi leluhurnya, nyatanya Suku Korowai sangat terbuka dengan orang luar.
Tak butuh waktu lama, Dorman dan Maya sudah bisa akrab dengan penduduk Korowai. Bahkan, Maya sebisa mungkin coba melebur dengan mereka. Ia ingin berpakaian seperti perempuan Korowai.
Dengan cekatan Maya menanggalkan semua pakaiannya dan diganti pakaian khas perempuan Korowai. Kini, tubuh Maya hanya diselumuti rok rumbai sederhana, tanpa penutup tubuh bagian atas.
Dorman menelan ludah. Ia kaget sekaligus kagum dengan inisiatfif Maya. Namun, ia jadi salah tingkah setiap kali mengarahkan pandangan kepada Maya. Ia takut dianggap mesum jika salah lihat.
Dorman tak mau kalah. Ia juga ingin berpakaian seperti pria Korowai. Ditanggalkan seluruh pakaiannya. Ia hanya perlu memakai koteka, semacam sarang untuk alat vitalnya. Dorman terkekeh melihat penampilan barunya. Sekilas, ia juga melihat Maya menatapnya malu-malu.
Perlu beberapa hari sampai akhirnya Dorman nyaman dengan penampilan barunya. Saat itu tiba, ia memutuskan ikut berburu madu dengan Nasai, teman Korowainya.
Nasai melacak sarang lebah dengan mengikuti arah angin berhembus. Mereka jauh masuki pedalaman hutan. Insting Nasai terbukti benar. Setelah dua jam, mereka berhasil menemukan sarang lebah. Namun letaknya jauh tinggi di atas pohon. Mungkin lebih dari 20 meter.
Untunglah ketinggian bukan penghalang bagi Nasai. Panjat-memanjat memang keahliannya. Hanya saja, setelah berhasil memanen madu. Tubuhnya penuh dengan sengatan lebah. Dorman khawatir dengan keadaan teman barunya ini. Nasai hanya tersenyum, yang ada dalam benaknya hanya bayangan ekspresi suka cita warga kampung saat dirinya pulang membawa madu.
Madu memang jadi sumber nutrisi terbaik Suku Korowai. Makanan pokok Suku Korowai biasanya hanya sagu dan ulat sagu. Dan, itulah yang jadi santapan Dorman dan Maya selama ini.
Oleh karena itu, esoknya Dorman berniat berburu ayam hutan bersama Nasai. Kebetulan, saat sedang berbincang santai, Maya tak sengaja memberitahu bahwa besok merupakan hari ulang tahunnya. Dorman ingin menyajikan sumber protein yang lezat untuk Maya di hari spesial itu.
Namun, ayam hutan sudah langka. Dari pagi, Dorman dan Nasai harus menelusuri hutan. Untunglah Nasai pandai mengenali mana dedaunan dan buah-buahan yang bisa dimakan. Mereka tak mati kelaparan di tengah-tengah hutan.
Saat petang menjelang, Dorman menyerah. Ia mengajak Nasai kembali ke kampung. Namun, dalam keputusasaan di perjalanan pulang, mereka bertemu sepasang ayam hutan yang sedang asik bersenggama.
Sial bagi mereka, kenikmatan itu harus berakhir dengan cara paling kejam: bidikan panah Nasai mengenai mereka. Setidaknya, cara mereka mati jauh lebih romantis dari caranya Romeo dan Juliet, pikir Dorman.
Dorman dan Nasai bisa pulang berlapang dada. Dorman girang bukan main. Dalam kegirangannya, ia ingin tetap terlihat berwibawa di depan Maya.
“Maya, ini ayam.” ujar Dorman
“Kenapa coba aku kasih kamu ayam di hari ulang tahunmu?” lanjutnya
“Gak tahu.”
“Karena AYAM kalo dibaca dari belakang jadi MAYA! Hehe.”
Maya tak terkesan. Lagi, ia hanya membalas dengan senyum kecut. Dorman yang sadar akan hal itu jadi malu sendiri. Namun, setidaknya berkat dirinya dan Nasai, penduduk kampung bisa menikmati ayam bakar untuk makan malam.
Hari-hari berikutnya dijalani Dorman dan Maya dengan membantu penduduk kampung membangun rumah bersama di atas pohon. Ini bukan pekerjaan mudah. Namun semua penduduk bekerja.
Dorman tak pernah merasakan rasa kepemilikan bersama yang begitu besar sebelumnya. Semua bekerja karena dorongan-diri sendiri. Tak ada rasa tereksploitasi. Mereka menikmati pekerjaannya.
Dalam seminggu, rumah sudah berdiri megah di puncak pohon setinggi 30 meter, lengkap dengan tangganya. Semua bahagia atas hasil jerih payahnya. Penduduk kampung sadar, mereka lah yang akan menikmati hasil kerjanya, bukan orang lain. Dorman pun sadar, sistem seperti inilah yang sudah hilang dalam ketenagakerjaan modern.
Sayangnya, waktu Dorman dan Maya bersama Suku Korowai akan berakhir. Mereka akan kembali esok hari. Dari Suku Korowai, Dorman sadar bahwa ada alternatif cara menjalani hidup. Hidup yang jauh lebih memuaskan.
“Jadi, kamu bakal nulis apa mengenai mereka?” tanya Maya saat perjalanan pulang.
“Jelas dong, tentang sistem kehidupan mereka: liberté, égalité, fraternité! Aku rasa Suku Korowai salah satu contoh nyata perwujudan cita-cita Revolusi Perancis. Kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, aku sangat ngerasain itu selama dua minggu ini.
Okelah mungkin gaya hidup mereka penuh dengan kesederhanaan dan punya tingkat kematian yang lebih tinggi dari masyarakat modern. Tapi rasanya lebih seru menjalani hidup singkat tapi memuaskan daripada hidup lama tapi gak puas-puas. Betul enggak?”
Maya hanya menjawab dengan senyum. Namun bukan senyum kecut, kali ini senyumnya tulus.