Oleh: Lazuardi Pratama
Judul | : Kingsman: The Secret Service |
Sutradara | : Matthew Vaughn |
Penulis skenario | : Jane Goldman dan Matthew Vaughn |
Pemain | : Colin Firth, Samuel L Jackson, Taron Egerton |
Tahun | : 2015 |
Durasi | : 129 menit |
Menyenangkan sekali melihat polah tingkah para gentleman—pria berjas yang berlaku sebagai agen. Meski mulai tak masuk akal dan penuh kekerasan, jangan terlalu diseriusin.
Alkisah, di suatu tempat di London, hiduplah seorang lelaki remaja. Gary ‘Eggsy’ (Taron Egerton) namanya. Ia remaja tanggung yang berbakat, tapi kenakalannya tak tanggung-tanggung. Eggsy—nama panggilannya, entah kenapa disebut begitu, kita tidak tahu—mencuri mobil temannya, mengebut di jalan raya, dan dikejar mobil polisi seraya mengendarai mobil curiannya mundur. Berbakat sekali.
Saya serius tentang berbakatnya ia. Disebutkan bahwa Eggsy lulus seleksi infanteri amfibi Inggris dan meninggalkannya untuk hidup tanpa tujuan. Kenapa? Tidak tahu. Eggsy ini cerdas dan licik. Kunci mobil temannya itu ia curi langsung dari dalam saku tanpa disadari siapa pun.
Rupa-rupanya, bakat Eggsy itu merupakan turunan ayahnya. Ayahnya tewas dalam suatu operasi di Timur Tengah. Operasi atas nama Kingsman, organisasi intelijen yang tidak tunduk pada kekuasaan mana pun. Kingsman ini punya ciri khas gentleman, pria yang sopan, ramah, dan terhormat. Mereka memiliki jas dan peralatan canggih. Mirip-mirip James Bond saat versi keren. Ayah Eggsy tewas karena kesalahan yang dibuat Harry Hart (Colin Firth) (Hart punya nama sandi Galahad, diambil dari nama tokoh dalam legenda Raja Arthur).
Hart merasa bersalah. Hingga lewat medali yang diberikannya kepada ibu Eggsy sebagai ucapan maaf—kemudian menjadi milik Eggsy—, Hart menebus kesalahannya dengan membebaskan Eggsy dari penjara. Penjara akibat kelakuannya mencuri dan kabur dari kejaran polisi sambil berkendara mundur.
Bagaimana cara Hart membebaskan Eggsy dari penjara? Pastinya lewat jaringan organisasinya. Atau mengapa Eggsy yang ‘cantik’ ini ternyata mantan calon pasukan khusus? Tapi, sudahlah, kita tak perlu itu untuk mencerna kisah ini.
Syahdan, seorang Kingsman dengan nama sandi Lancelot tewas ketika bertugas. Tradisi organisasi adalah, bila seorang Kingsman tewas, harus segera dicarikan penggantinya. Caranya, lewat mekanisme rekomendasi. Masing-masing Kingsman yang tersisa mengajukan calonnya masing-masing. Hart mencalonkan Eggsy.
Lewat tradisi ini pula, ayah Eggsy tewas. Lancelot yang tewas tadi, adalah rekan ayah Eggsy ketika ia tewas dulu. Kini Eggsy menapaki jalan yang sama dengan ayahnya, jalan pedang seorang gentleman.
Sebenarnya kisah film ini tidak seserius sinopsis itu. Malah kelihatan sangat fiktif sekali. Berkebalikan dengan seri James Bond yang setelah Casino Royale (2006), dibikin sangat realistis. Misal Bond, yang diperankan Daniel Craig lebih rapuh dan tidak bersenjatakan peralatan canggih lagi. Agar kelihatan lebih manusiawi.
Matthew Vaughn, si sutradara berpandangan sama. Namun ia ingin setiap orang melihat bagaimana agen yang keren dan sangat Gary Stu itu. Gary Stu adalah istilah untuk tokoh fiksi lelaki yang sangat sempurna, saking sempurnanya sampai membuat kita kesal.
Para Kingsman memang tidak sesempurna apa yang kita bayangkan, memang. Seperti Lancelot yang bisa saja tewas dalam sekali babat. Tapi Vaughn mengarahkannya pada sesuatu yang menarik. Sesuatu seperti pria-pria tampan. Tidak cukup hanya tampan, tapi dewasa dan sopan. Ini seperti celah di antara banyak tokoh pria-pria tampan sekarang yang lebih muda dan cenderung bad boy. “Manners maketh man (tata krama membuatmu menjadi lelaki/manusia),” kata Hart. Kutipan masyhur oleh William of Wykeham untuk motto Winchester College dan New College, Oxford di Inggris.
Menariknya, Vaughn tidak membuat tokoh-tokoh gentleman ini sangat serius dan membosankan. Vaughn sebelumnya terkenal lewat Kick Ass (2010) dan dua seri X-Men (2011 dan 2014). Muatan-muatan kekerasan yang secara eksplisit ditampilkan seperti dalam Kick Ass, muncul kembali dalam Kingsman. Ditambah sedikit improvisasi berupa slow-motion dan gerakan kamera.
Bila tidak disensor Lembaga Sensor Film (LSF), kita dapat menyaksikan adegan Hart bunuh-bunuhan dengan puluhan jemaat dalam gereja. Adegan kunci dan adegan paling menarik dalam film ini. Alasannya karena adegan itu terlalu sensitif—karena dalam rumah ibadah, dan muatan kekerasan eksplisit. Beri tepuk tangan untuk LSF kita.
Walaupun eksplisit, muatan-muatan kekerasan itu berusaha ditampilkan sangat tidak serius. Misal, puluhan ledakan kepala manusia bukan ditampilkan dengan darah dan ceceran otak, melainkan kembang api ubur-ubur warna-warni. Penggunaan musik juga dilakukan, seperti ketika manusia di seluruh dunia kehilangan kesadaran dan mulai membunuhi sesama, kita mendengarkan Give It Up oleh KC & The Sunshine Band. “Na na na na na na na na na na, baby give it up, give it up, baby give it up.”
Saya pikir, Kingsman tidak mengajak kita untuk menyindir James Bond atau lelaki bad boy atau penjahat super keji (lihat saja, Valentine (Samuel L Jackson), sang penjahat, takut darah dan suka makan kentang goreng McDonald’s), walaupun kelihatan seperti itu. Sebuah film, yang menurut saya lebih baik untuk tidak terlalu diseriusin.