BOPM Wacana

Kesetaraan Gender, Implementasi Sebatas Narasi?

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Adinda Khairani

 

Berkoar-koar sudah akui kesetaraan gender, lantas benarkah implementasi yang terjadi tidak hanya sebatas narasi semata?

Kesenjangan gender adalah kondisi dari ketidaksamaan terhadap akses kesempatan, ruang, posisi, antara pria dan wanita di berbagai hal. Contohnya pekerjaan, pendidikan, politik dan sebagainya. Definisi tersebut sejalan dengan Convention Of The Elimination Of All Forms Discrimination Against Woman yang disahkan di Resolusi PBB tanggal 18 Desember 1979 mengatur tentang langkah-langkah penting membatasi dan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. 

Dewasa ini, isu gap gender ternyata masih terjadi di lingkungan masyarakat, khususnya wilayah pedesaan yang masih kental akan kungkungan norma sosial dan adat. Dibandingkan perkotaan yang kehidupannya lebih maju dengan paradigma-paradigma hidup yang fleksibel, wilayah pedesaan nyatanya masih tidak terlalu memerdulikan kesetaraan gender antara kaum pria dan wanita.

Berkaca pada pengalaman penulis, sebagian perempuan pedesaan hanya bersekolah sampai jenjang SMA. Setelah itu memutuskan menikah sebab multifaktor: ekonomi, sosial, dan adat. Dengan adat Batak yang menjadi dominasi etnis domisili penulis, realita yang terjadi adalah perempuan bekerja di sawah sedangkan suami minum tuak di lopo (kedai minuman yang menjual tuak)

Adanya kesenjangan gender yang dialami perempuan pedesaan ketika ia dibebankan tanggungan mencari nafkah. Di sisi lain pria sebagai suami yang merasa berkuasa dan mendominasi keluarga membuat perempuan tidak mendapat hak kebebasan dan kesetaraan dalam konteks menjalani urusan rumah tangga. 

Sebaliknya, suami bersantai ria di lopo. Mirisnya, pekerjaan yang bisa dilakukan perempuan di pedesaaan tidak lah jauh dari persawahan dan pekerbunan. Untuk itu, ruang perempuan berkarir terbatasi oleh tradisi yang berjalan kaku. Hal itu termasuk gap gender yang merugikan perempuan di era perkembangan teknologi canggih sekarang.

Gap Gender dalam Program KB

Tidak hanya urusan pekerjaan, sepertinya gap gender juga dekat realitanya ketika partisipasi perempuan memiliki peran lebih besar tentang perencanaan kelahiran anak, namun usaha seimbang tidak ditemukan pada dengan laki-laki. 

Data Badan Kependudukan dan keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2020 mencatat 3,12% laki-laki Indonesia menggunakan kondom dan 0,5% yang melakukan vasektomi untuk program keluarga berencana. Data ini terbilang naik meski tidak cukup signifkan jika ditinjau dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2017), yakni jumlah laki-laki menggunakan alat kontrasepsi berupa kondom adalah 2,5% dan vasektomi sebesar 0,2%. Sisanya, persentase perempuan dalam partisipasi program KB mendominasi. 

Berdasarkan Susenas tahun 2020, proporsi perempuan menikah tidak ber-KB sebanyak 31,2% dari 49,25 juta perempuan menikah yang artinya sekitar 15,37 juta perempuan menikah tidak ber-KB dan lebih dari 30 juta perempuan melakukan KB.



Dilansir dari situs VOA Indonesia, Kepala BKKN Hasto Wardoyo mengatakan penyebab sedikitnya partisipasi laki-laki dalam program KB disebabkan pemikiran di masyarakat jika KB adalah tugas perempuan selain dari pilihan kontrasepsi pria yang sedikit. 

Stigma yang mengatakan bahwa urusan KB adalah tanggung jawab perempuan sehingga laki-laki tidak perlu melakukan KB tentu kurang benar. Sebab, pilihan untuk mengikuti KB adalah pilihan bersama. Etisnya harusnya pria tidak membebankan urusan kesehatan reproduksi hanya pada wanita, tetapi turut andil juga. 

Dari Global Gender Report 2020 World Economic Forum, Indonesia menempati posisi ke 85 dari 153 negara dalam hal kesetaraan gender. Artinya perlu upaya yang lebih diperhatikan dalam menangani kesetaraan antara pria dan wanita di pelbagai bidang.

Diskriminasi jenis kelamin dalam beberapa kategori lowongan pekerjaan, jurusan pendidikan yang mengkotak-kotakkan gender dan budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat adalah contoh ketimpangan gender yang masih terjadi saat ini.

Dilansir dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan, jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, turun signifikan dari kasus di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Meskipun turun cukup signifikan dari tahun sebelumnya, tidak menjadikan masalah ketimpangan gender ini total tuntas. Di tahun 2020, sebanyak 2.389 kasus yang ditangani Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan merupakan kasus berbasis gender.

Hal ini menunjukkan jika stakeholders terkait kedepannya bisa mengambil peran lebih banyak dalam upaya melindungi perempuan untuk mencapai derajat yang sama dengan pria. 

Lantas, apakah urgensi kita memerhatikan masalah ini?

Permasalahan gender ini menjadi masalah serius jika tidak dipahami sejak dini. Bayangkan saja, jika kedepannya partisipasi wanita dalam pendidikan, pekerjaan, dan pengambilan keputusan dibatasi secara berkelanjutan, maka dampak jangka panjangnya akan memengaruhi pembangunan negeri. 

Wanita yang tidak memberdayakan dirinya karena kungkungan norma dan adat, khususnya wilayah pedesaan sebagaimana yang penulis sebutkan di paragraf awal-awal, bisa saja termarjinalkan. 

Tidak bisa proaktif terhadap kemajuan bangsa karena beberapa faktor yang menjadikannya terperangkap batasan. Antara lain sudah menikah, menghidupi keluarganya dengan mencari nafkah, atau tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi. 

Kalau pun gap gender ini sudah diupayakan dari pemerintah, penulis sarankan untuk meratakan sampai ke seluruh wilayah Indonesia. Menjangkau ke pedesaan yang seharusnya lebih diperhatikan sebab wilayah pedesaaan terkungkung adat yang kerap menomorduakan wanita dalam banyak hal.

Di wilayah perkotaan, sekiranya ketimpangan gender lebih bervariatif. Sebagian kasus pelecehan terhadap perempuan di tempat umum oleh kaum pria, justru sesekali menimbulkan perilaku atau pandangan yang salah terhadap korban. Kalimat seperti, “Ya kamu sih, pakaiannya kok terbuka?” adalah anggapan yang mengesankan memihak dan mewajarkan tindakan pelecehan pria dibandingkan berempati pada perempuan. 



Untuk di wilayah pedesaan, penulis juga menyampaikan perlu dibuat ruang diskusi khusus perempuan. Kegiatan yang nantinya akan memberdayakan perempuan sekaligus melibatkan perempuan dalam partisipasinya di forum masyarakat pedesaan yang membahas kemajuan pembangunan pedesaan. Kebijakan pengarusutamaan gender (PUG) harus lebih diawasi pelaksanaannya agar pria dan wanita bisa benar-benar berkembang optimal.

Sekali lagi penulis tekankan, opini dibuat untuk menjadi referensi meluasnya pemikiran pembaca. Wanita bukan lah sebatas mengurusi sumur, dapur, dan kasur. Mari kita realisasikan kesetaraan gender ini, terutama dalam kehidupan kita sehari-hari. Jangan memarjinalkan wanita ketika ia berada di luar streotype yang sudah mengakar di tatanan sosial. Zaman berkembang dinamis, kesadaran atas kemerdekaan gender jangan sampai menipis!

Komentar Facebook Anda

Primarani MP

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU Stambuk 2020. Saat ini Primarani menjabat sebagai Koordinator Kepustakaan dan Riset BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4