Oleh: Mengki S Sihaloho
Memasuki era globalisasi, dampak yang timbul dalam media publikasi tak hanya mengantar kita ke pemikiran yang lebih luas untuk mempersiapkan mental manghadang era baru. Tak dapat di sangkal, saat ini masyarakat indonesia menikmati benar situasi kebebasan pers, setelah selama 32 tahun lebih seakan hanya menerima informasi yang kadar keakuratan dan kebenarannya masih banyak di warnai versi penguasa. Namun, dengan kebebasan pers yang ada sekarang, tidak sedikit pula yang merasa cemas. Bebarpa publik pembaca sempat meragukan dan bahkan jadi bingung dengan informasi dan berita yang telah mereka baca. Terkadang berita tersebut terkesan menakutkan. Berbagai komentar pakar, praktisi, apalagi dengan banyaknya partai sekarang ini, maka ada yang jadi apriori dengan informasi di media masa tersebut. Ternyata keresahan masyarakat bukan hanya di tanah air. Bahkan di negara lain yang sudah mengeyam kebebasan pers cukup lama, masalah kebebasan pers ini juga jadi masalah sendiri.
Contohnya saja pidato politik pada 17 Agustus 1966. Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno dalam tulisan di salah satu edisi Japan Timesyang berjudul Are journalist taking liberties with the public interest, dipaparkan betapa publik di negara barat pun sekarang juga agak terganggu dengan tayangan tulisan di berbagai media. Apalagi dengan tayangan dan liputan masalah skandal Monica Lewinsky, yang dinilai publik internasioanl kelewat vulgar dan tidak lagi mengindahkan etika dan moral pers. Maka saya pun jadi ingat pada momentum saat-saat bermunculannya tabloid setelah Deppen memberikan kemudahan dalam perolehan SIUPP. Saat itu, dan tak mungkin sampai sekarang, sebagian tabloid tersebut, mengedepankan tulisan yang panas dan kadang terkesan vulgar. Namun, ternyata justru itulah yang banyak diminati.
Pertanyaanya adalah, sejauh mana kepedulian pers dalam kondisi kebebasa pers sekarang ini, terhadap audience atau publik pembacanya? Akankah media masa mengikuti secara benar dan akurat keinginan atau minat dari publik pembacanya? Kalau lah demikian, publik mana yang jadi acuan dan pegangan? Di sini lah sebenarnya pers mencari pasar nya sendiri. Dan kemudian bermunculan lah opini spontan dari kalangan pelaku pariwisata, apa pun isi berita, sepanas apa pun isinya, diharap kan jangan sampai mengganggu, apalagi menghalau wisatawan. Inilah hal yang tak bisa di kombinasikan sampai saat ini.
Aspek kenyamanan dan keamanan adalah faktor utama kehadiran wisatawan mancanegara (wisman) ke suatu negara tentunya. Sekalipun daerah tujuan wisata terbilang indah, kalau ada informasi tidak aman, siapakah yang mau datang? Sementara tidak aman masih dijadikan komoditas isian medis masa, sebagai suatu hal yang memang ‘layak jual’. Aspek sex, war, crime, dan situasi politik masih merupakan hal yang di andalkan oleh media masa baik diluar maupun di dalam negri. Sebalikny hal tersebut justru memunculkan kondiis yang menakutkan bagi para wisatawan.
Tak sedikit wisman yang enggan atau bahkan takut datang ke indonesia karena informasi yang mereka peroleh dari media asing menggambar kan kondisi di indonesia. Bahkan banyak orang asing yang datang ke indonesia menemukan faktanya sendiri di lapangan dimana ada konvoi atau pawai partai yang mwmbawa senjata tajam secara terang-terangan. Secara tidak langsung mereka akan menjadi mata-mata bagi negaranya dan melaporkan situasi ini ke negara masing-masing.
Jika indonesia masih sepakat untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai andalan untuk memulihkan kondisi krisis di negeri ini, seharusnya visi pariwiswata harus dimiliki oleh semua pihak tanpa terkecuali. Kalangan media masa tentunya juga perlu memahami visi pariwisata ini. Bukan mengandalkan unsur tekanan, namun memberi nuansa khusus dalam kebijakan penampilan tulisan dan berita. Contohnya saja Thailand. Ketika sering terjadi perseteruan dan pergantian kepemimpinan perdana menteri, media masa pun mempublikasikan dengan nuansa penuh visi kepariwisataan. Sekalipun kondisi politik memanas, turis tetap saja berkunjung dan pers sangat akomodatif dan tidak menakutkan publik pembacanya. Penampilan militer dan masyarakat pun harus turut serta ‘mengamankan’ pariwisata.
Visi pariwisata perlu dimasyarakatkan
Visi pariwisata dalam hal pemberitaan di media masa memang perlu dimasyarakatkan. Dengan catatan tetap menghargai dan menjaga nama kebebasan pers yang ada. Apakah memang berita dan informasi yang di sajikan selama ini benar-benar menjadi harapan yang digemari oleh publik pembacanya? Hal inilah yang perlu dikaji lebih dalam lagi. Pemahaman keterkaitan antara dunia pariwisata terhadap aspek-aspek yang melingkupinya, misalnya sektor perhotelan, perjalanan wisata(travel), kerajinan, objek wisata, serta berbagai rantai lainya yang notabene mendukung dan banyak menguntungkan kehidupan di sektor pariwisata, adalah tugas yang cukup berat dalam mengedepankan publik dan pers.
Saya percaya, masih banyak nuansa kearifan dikalangan pers untuk tidak menonjolkan berita atau tulisan yang membuat wisatawan merasa enggan dan takut. Apabila ada sifat pengertian antara perilaku masyarakat dan penyajian di media masa, alangkah indahnya situasi kebebasan pers ini yang bisa teraplikasikan dalam mendorong kebangkitan kembali sektor pariwisata yang sekarang sudah terbilang ‘koma’ ini.
Sektor pariwisata adalah sektor andalan yang bisa berpacu dengan cepat. Misalkan saja banyak pengusaha, khususnya sektor riil mengalami keterpurukan. Bahkan, banyak investasi asing masih menunggu sesudah pemilu untuk masuk ke indonesia. Hal apakah yang dapat di lakukan? Untuk tetap menjaga perputaran roda perekonomian di negeri ini, hanya sektor pariwisata yang bisa diandalkandan dengan cepat dapat bergolak. Karena modal dan basis nya sudah ada. Ibaratnya kereta ,kuda dan andongnya sudah ada. Tinggal menunggu kusirnya. Namun kalau kusirnya tidak punya tenaga untuk menjalankan kereta ini, ya tidak akan berjalan. Sekalipun jalan, akan tidak sesuai harapan.
Tulisan sejuk ini bernuansa visi pariwisata sekaligus berfungsi sebagai penangkal atau perisai dari pemberitahuan yang vulgar, galak, dan bernuansa provokasi dari media masa asing. Tak dapat di sangkal lagi, kendati berat, kita harus mencoba memikirkan dan mengaplikasikan perpaduan antara kebebasan pers dengan visi pariwisata demi kepentingan secara nasional dan internasional.
Penulis adalah Staf Perusahaan SUARA USU 2011