BOPM Wacana

KBGO: Modus Kian Beragam, Perlindungan Masih Buram

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Surya Dua Artha Simanjuntak

Kala teknologi justru memfasilitasi tindak kejahatan. Tiada pula aturan yang menjamin perlindungan. Pelaku bebas hukuman, korban dirudung penghakiman. Mari mengenali KBGO, yang pengentasannya masih seburam itu.

Barangkali kamu masih ingat kasus yang dialami Baiq Nuril, seorang mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram beberapa tahun lalu. Ia merekam percakapannya dengan kepala sekolah tempatnya bekerja yang bermuatan pelecehan seksual oleh pelaku. Rekaman itu lalu disebar oleh rekan kerjanya sehingga Baiq Nuril pun diproses kepolisian.

Alih-alih mendapat perlindungan dan penanganan sebagai korban, Baiq justru dilaporkan hingga dihukum enam bulan penjara serta denda Rp500 juta oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi.

Kasus lainnya belakangan dialami GA. Video intim pribadi miliknya disebarluaskan ke publik tanpa konsensual. Seolah salah arah, publik ramai merepons tersebarnya video itu dengan menyerang GA secara personal, dan lantas mengabaikan tindakan pelaku yang menyebarkan video tersebut.

Dan lagi, GA yang merupakan korban justru ditetapkan sebagai tersangka dengan delik pasal Undang-Undang (UU) tentang Pornografi. Selain itu, GA pun mendapat perundungan dari warganet.

Dua kasus di atas harusnya cukup untuk menyadarkan kita bahwa KBGO termasuk permasalahan yang wajib mendapat perhatian. Paling tidak setiap orang paham apa itu KBGO dan bagaimana dampaknya jika dibiarkan.

Mari tarik dahulu secara definisi, dari Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), menyebut kekerasan bebasis gender (KBG) merupakan kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Bahayanya bukan hanya penderitaan fisik, tetapi juga mental atau seksual, ancaman, paksaan, dan penghapusan kemerdekaan.

Komnas Perempuan mengidentifikasi bentuk-bentuk KBGO diantaranya pendekatan untuk memperdaya, pelecehan online, peretasan, konten ilegal, pelanggaran privasi, ancaman distribusi foto/video pribadi, pencemaran nama baik, hingga rekrutmen online.

Rilis pers SAFEnet (South East Asia Freedom of Expression Network) bersama Komnas Perempuan mendapatkan 281 kasus KBGO dari tahun 2018-2020. Terutama bulan Maret-Juni 2020 selama pandemi KBGO melonjak 169 kasus dibanding tahun 2019 di angka 91 kasus.

Berdasarkan data yang diunggah oleh Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2020, adanya peningkatan yang drastis Selama 3 tahun terakhir. Bahkan, ditahun 2019 terjadi peningkatan sebanyak 300%, dimana pada tahun 2018 telah tercatat laporan yang diterima sebanyak 97 kasus dan pada tahun 2019 melonjak hingga berjumlah 281 kasus. Jumlah laporan KBGO kepada Komnas Perempuan pun kian meningkat setiap tahunnya.

Poppy Dihardjo Founder Perempuan Tanpa Stigma PenTaS Indonesia berpandangan bahwa belum adanya payung hukum yang jelas mengatur tentang KBGO menjadi permasalahan utama. Bahkan undang-undang yang mengatur perlindungan dari kekerasan seksual secara umum pun belum juga memadai.

Poppy bercerita tentang pengalamannya sebagai pendamping korban KBGO yang harus lebih jeli untuk menetukan delik dan pasal apa yang bisa dijatuhkan pada pelaku. Sebab belum ada peraturan spesifik tentang KBGO, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) akhirnya kerap jadi pilihan untuk menjerat pelaku. Walaupun sejatinya UU ITE secara substansi bukan diperuntukkan secara spesifik menangani KBGO.

Banyaknya jumlah kasus KBGO dengan bentuk dan modus yang beragam ini terus membutuhkan perhatian. Keseriusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menyusun regulasi pun dinantikan. Mangkraknya Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual cukup menunjukkan ketidakseriusan negara untuk melindungi warga negaranya.

Namun, beberapa hal dapat kita upayakan sendiri sejauh ini untuk mencegah ataupun menghadapi kasus KBGO, seperti menyetel pengaturan kemananan semua akun. Kemudian ketika menjadi korban, dokumentasikan segala hal yang terjadi, hubungi bantuan dari individu, lembaga atau instansi yang terpercaya, serta menentukan pilihan untuk melaporkan pelaku atau memblokir akun pelaku.

Jika merasa butuh bantuan hukum,  bisa menghubungi lembaga bantuan hukum (LBH) terdekat dari tempat tinggal, atau menghubungi LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) melalui lbhapik.or.id. Sementara itu, jika  merasa lebih membutuhkan bantuan konseling untuk kondisi psikologis, kita bisa menghubungi psikolog profesional terdekat atau melakukan konseling ke Yayasan Pulih (yayasanpulih.org).

Komnas Perempuan Indonesia juga menyediakan saluran khusus pengaduan dan rujukan untuk korban kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender baik online atau offline melalui telepon di 021–3903963 dan 021–80305399 atau melalui surel ke mail@komnasperempuan.go.id.

Komentar Facebook Anda

Annisa Octavi Sheren

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4