BOPM Wacana

Uang Elektronik: Dilema Halal dan Haram

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Nadiah Azri Br Simbolon

 

Pengusaha di pasar menyiapkan strategi jitu untuk menarik konsumen membeli produknya. Berbagai promo dan diskon ditawarkannya. Pembeli tergiur, akhirnya membeli. Konsepnya dalam Islam jelas halal asal tak curang. Lalu bagaimana dengan para pengusaha uang elektronik ini, kok promo dari mereka buat dilema antara halal dan haram, sih?

Perkembangan teknologi yang terjadi membawa berbagai perubahan dalam segala lini kehidupan. Tak terkecuali sistem pembayaran yang digunakan saat bertransaksi. Uang kertas sekarang perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Dianggap terlalu merepotkan jika dibawa kemana-mana. Terlebih jika jumlahnya sangat besar.

Menyikapi perubahan dari selera konsumen tersebut, perusahaan berlomba-lomba membuat inovasi sistem pembayaran yang efektif tentu juga efisien. Mudah, cepat, dan murah menjadi poin utama dalam memenuhi apa maunya pasar. Didukung pula dengan program yang dicanangkan pemerintah Indonesia melalui Peratuan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI 2009 untuk mengurangi sistem pembayaran tunai dalam bertransaksi.

Berdasarkan artikel Penggunaan E-Money Dalam E-Commerce Sebagai Pendukung Less Cash Society oleh Kadek dan Gusti (2008) bahwa peran uang tunai dalam bertransaksi membutuhkan biaya yang mahal. Proses pembuatan, peredaran, maupun penghancuran uang tentu mebutuhkan anggran yang besar. Pun dunia sekarang menilai kondisi perekonomian yang baik dari semakin berkurangnya jumlah uang tunai yang digunakan dalam negara.

Dari berbagai alasan itulah, sistem pembayaran beranjak berubah dalam bentuk non tunai. Cek, bilyet, giro, Anjungan Tunai Mandiri (ATM) menjadi alat yang dikenal dalam jenis pembayaran non tunai. Kadek dan Gusti (2008) berpendapat alat tersebut memiliki keterbatasan terkait minimal saldo yang harus dikeluarkan dalam penggunaannya. Padahal konsumen kerap kali bertransaksi dengan jumlah saldo yang relatif kecil. Guna mengatasi permasalahan yang ada, diterbitkanlah uang elektronik.

Farida (2018) dalam artikelnya Perkembangan Uang Elektronik pada Perdagangan di Indonesia menjelaskan bahwa uang elektronik diterbitkan untuk mempermudah manusia melakukan segala transaksi ekonomi terutama untuk transaksi bersakala mikro. Uang elektronik sendiri sudah mulai dikenal sejak April 2017 dan terus berkembang dan berinovasi hingga detik ini.

Uang elektronik diperkirakan akan banyak menggeser peran uang tunai dalam berbagai transaksi ekonomi. Berdasarkan data Bank Indonesia, pada Agustus 2020 ada lebih dari 386 juta pengguna uang elektronik. Transaksi dari tahun ke tahun terus meningkat megindikasikan menguatnya kepercayaan masyarakat.

Bukan hanya mengatur kemudahan dan kecepatan bertransaksi. Perusahaan penerbit uang elektronik juga banyak mempromosikan berbagai bonus yang akan diterima masyarakat bila mempercayakan uang elektroniknya untuk dikelola di perusahaan tersebut.

Pemberian bonus ini menimbulkan kebingungan bagi para pemeluk agama islam. Riba menjadi topik hangat bila kita membicarakan seputar uang elektronik ini.

Dalam Kitāb al-Fiqh alā Madzāhib al-Arba’ah yang ditulis Abdurrahman al-Jaziri, menjelaskan riba merupakan tambahan pada salah satu diantara dua barang yang sejenis yang ditukar tanpa adanya imbalan terhadap tambahan tersebut. Misal saat proses peminjaman uang, pemberi dana memberikan syarat agar si peminjam melebihkan pengembalian uang pinjaman. Tambahan uang dari si peminjam inilah yang dimaksud dengan riba. Riba sekarang ini lebih populer dengan istilah bunga.

Pada dasarnya semua transaksi yang menggunakan uang elektronik adalah sah dan halal. Sama halnya dengan jual-beli yang kerap kali dilakukan secara tunai. Yang membedakan hanyalah jenis uangnya.

Namun, sekarang uang digital kerap disimpan dalam dompet elektronik. Perusahaan dompet eletronik yang menawarkan jasa penyimpanan uang banyak memberikan berbagai promo seperti mendapatkan diskon, cashback, maupun potongan jasa pengiriman untuk menggaet masyarakat menjadi pengguna dompet digitalnya. Muncul pertanyaan dibenak para penggunanya, apa promo yang diberikan perusahaan dompet digital ini jatuhnya riba karena ibaratnya pengguna mendapatkan tambahan uang atas dana yang diberikan?

Ustad Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal dengan Ustad Buya Yahya dalam ceramahnya di platform youtube Al-Bahjah TV yang diunggah 26 Februari 2019 menuturkan bahwa transaksi uang elektronik melalui dompet elektronik antara pengguna ke perusahaan bisa mengandung dua akad.

Pertama, akad wadi’ah yang berarti titipan. Wadi’ah sendiri terbagi dua, Wadi’ah Yad al-Amanah yaitu pihak yang dititipi tidak dibolehkan untuk mengelola barang titipan dan Wadi’ah Yad adh-Damanah yaitu pihak yang dititipi bebas mengelola barang titipan yang mana keuntungan dari pengelolaan itu murni milik pihak yang dititipi. Pun kalau pihak yang dititipi ingin memberikan bonus ke pemilik barang, ya boleh saja.

Berangkat dari akad inilah transaksi uang elektronik melalui dompet elektronik terbilang halal. Karena promo yang digunakan pengguna dompet elektronik merupakan bonus yang diberikan perusahaan atas titipan dana yang akan atau telah dikelolanya.

Akad kedua, Qardh atau pinjam meminjam. Seperti yang dijelaskan di atas, tambahan atas transaksi dengan akad pinjam meminjam termasuk riba. Bila perusahaan melakukan promosi dengan menghadiahkan promo dan promo ini digunakan pengguna dompet elektronik maka ini termasuk praktik riba yang jelas haram.

Hal demikian dikarenakan potongan yang diberikan perusahaan merupakan bunga atau imbalan karena pengguna dompet elektronik telah meminjamkan uangnya ke perusahaannya. Konsepnya sama seperti bunga tabungan dari bank, bukan?

Padahal dalam konsep simpan pinjam sesuai dengan ketentuan syariah, peminjam dilarang mengambil keuntungan apapun dari yang meminjam, termasuk hadiah sekalipun. Oleh karenanya, masyarakat pengguna dompet elektronik dalam hal ini berperan sebagai peminjam tidak boleh sedikitpun mengambil keuntungan dari pihak perusahaan yang berperan sebagai pihak yang meminjam uang.
Kita sebagai pengguna dompet digital malah dilema antara halal dan haram.

Tapi Buya Yahya, menekankan sebelum bertransaksi, pengguna dompet elektronik jangan memiliki niat dana yang diserahkan ke perusahaan sebagai akad pinjam meminjam. Melainkan akad titipan yang dananya bisa dikelola perusahaan sehingga promo nanti yang kita gunakan tak ada kata haram di dalamnya.

Era digital sekarang tentu telah banyak mengaburkan batas-batas syariah. Hal yang menurut kita halal tapi jika dikaji lebih dalam barulah terlihat haramnya. Kita tidak bisa menafikan jika semua transaksi ekonomi kebanyakan akan bermuara pada riba. Hanya saja ya niat dari awalnya apa, untuk kebaikan apa kebatilan.

Komentar Facebook Anda

Nadiah Azri Br Simbolon

Penulis adalah Mahasiswa Manajemen FEB USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4