Oleh: Vanisof Kristin Manalu
Layaknya air yang mengalir, pohon mengeluarkan oksigen, rumput liar semakin berkembang di dalam hutan, seharusnya manusia dapat belajar dari keteguhan alam itu sendiri. Karena ia hidup.
***
Dinding tua berwarna putih kecokelatan itu menghalangi pandanganku. Hanya suara yang terdengar dari balik dinding. Aku tertegun. Kerasnya suara dari dalam menembus dinding tua yang sudah usang itu.
“Berapa lama lagi dia tinggal di sini?” ujar seseorang bersuara wanita sambil terisak.
“Sabar, Bu. Seminggu lagi dia akan kita antarkan ke panti asuhan.”
“Dia buat keluarga kita malu, tak layak ia tinggal serumah dengan kita.”
Aku paham inti dari percakapan mereka. Aku berjalan meninggalkan dinding itu menuju ruang tengah lalu dapur.
Seperti biasa di atas meja penuh dengan makanan. Kuambil semangkuk penuh nasi di atasnya kutaruh sepotong ayam bakar kesukaanku. Bukan. Semua masakan ibu aku suka, bahkan lauk yang kata orang rasanya tawar tetap aku sukai. Karena masakan ibu.
Aku berjalan menuju kamar tidur yang dipersiapkan khusus untukku. Kamar bermotif Doraemon bermain dengan puluhan bintang-bintang malam. Sangat indah.
Oh iya, namaku Bintang. Nama yang terlalu bagus untukku. Harapannya saat aku dilahirkan aku bisa bersinar di mana pun aku berada layaknya bintang. Itu kata ibuku dulu. Namun semua berubah. Harapanku tak lagi bersinar namun semakin redup di tengah keluarga ini.
Katanya aku bukan seperti kebanyakan orang di sekitarku. Autisme. Kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas, itu kata dokter yang sering aku datangi bersama Ibu.
Gejala pertama terlihat saat aku berusia tiga puluh bulan. Di saat teman sebayaku telah lancar berjalan aku masih saja merangkak dengan lututku. Susah diajak berkomunikasi walaupun kadang kala keluargaku sering mengajakku bicara.
Saat ini aku berusia dua belas tahun. Tak ada seorang pun teman yang mengajakku bermain. Hanya Kakak yang bersedia menemaniku bermain sampai aku lelah dan tak sengaja terlelap dalam ayunan.
Hingga akhirnya tetanggaku mulai mempermasalahkan keadaanku, keadaan rumah semakin berantakan. Sering Ayah mengajakku ke dokter kenalannya, namun sia-sia. Pun, saat ibuku mulai tak diterima di antara teman. Lingkungan sosial Ibu tak menerima keadaanku. “Pembawa sial,” kata mereka.
Aku sering menggelengkan kepalaku. Walaupun sering kucoba untuk tidak melakukannya, tampaknya otakku susah diajak kerja sama. Sebal rasanya saat kemauanku pun tak diacuhkan oleh diriku sendiri. Aaaaah..aah, hanya kata itu yang sering keluar dari mulutku. Aku semakin membenci diriku sendiri.
Hari ini tepat tanggal 20 Maret, seperi yang kudengar beberapa waktu lalu lewat dinding, Ayah membawaku secara diam-diam dari kamar. Walaupun aku sadar aku digendong saat tidur aku hanya mengikut saja.
Dalam hatiku aku tak mau pergi jauh dari rumah ini. Jauh dari saudaraku. Jauh dari ibu dan ayahku. Semua keluargaku di sini. “Ayah!” hatiku menjerit kesakitan. Sesak di dadaku sungguh tak tertahankan. Seperti bilah pisau menyayat-nyayat ulu hatiku. Sakit sekali.
Mobil sedan berwarna coklat tua meluncur dengan kencangnya. Dari dalam mobil aku lihat jalan masih sangat sepi. Hanya sesekali motor melewati gang rumah kami. Embun pagi bercampur wanginya semerbak bunga tercium dengan harumnya.
“Ayah, hehehe,” kataku sambil meremas jari-jari tanganku. Ayah hanya diam fokus menyetir mobil. Tak sedikit pun ia menoleh kepadaku.
Kuraih pundaknya. Menurutku itu biasa saja, namun yang dirasakan Ayah berbeda. Ia kehilangan kendali. Mobil itu menabrak sebuah pembatas jalan. Setelah itu tak ada lagi yang kuingat. Hanya banyak darah yang bercucuran di kening ayah.
Matanya mengeluarkan darah segar berwarna merah kehitam-hitaman. “Ayah, aya..aah,” air mataku mulai berjatuhan. Walaupun aku seperti ini aku masih punya hati dan ingatan yang tersimpan rapi menyatu dalan tubuh gila ini.
Aku keluar dari mobil. Semakin lama, banyak orang yang berdatangan. Aku tak suka keramaian. Sangat susah melihat Ayah saat itu.
Aku kehilangan sosok Ayah. Hari semakin siang orang-orang mulai meninggalkan tempat di mana Ayah berada. Namun saat aku mulai leluasa melihat, Ayah sudah tak lagi di sana. Ayah menghilang.
Kudengar Ayah dibawa oleh dua pria berbusana serba putih. Kudengar lagi dia dibawa oleh pria berbusana hitam. Aku tak mengerti. Darah segar masih berserakan di jalan. Namun, Ayah tak lagi ada di sana.
Aku berjalan meninggalkan tempat itu. Mencari Ayah yang katanya dibawa orang. “Ayah itu millikku, beraninya mereka membawa Ayah pergi,” kataku dalam hati sambil merengut.
Semakin lama kakiku melangkah, semakin kuat kurasakan otot kakiku. Aku mulai berlari perlahan. Sesaat aku berhenti. Di depanku ada dua pria aneh berjubah putih menghadangku sambil tersenyum. Tak ada seorang pun dari mareka yang mengeluarkan kata-kata. Cahaya dari tubuh mereka ke luar. Tanganku diraihnya. Aku pasrah dibawa. Entah kemana.
Aku ingin bertemu Ayah. Siapa tahu aku bisa jumpa lewat dua pria ini. Benakku kegirangan. Tapi yang kulihat bukan Ayah. Hanya awan putih bergerak beriringan menuju barat. Semakin lama awannya semakin tebal berkumpul membentuk awan hitam nan gelap.
Rintik hujan mulai turun perlahan hingga akhirnya langit menumpahkan semuanya. Aneh, aku tak kebasahan karena kami semakin tinggi. Tinggi sekali. Semoga bisa jumpa ayah.
***
Daun-daun mulai berguguran, pertanda musim kemarau telah datang. Sudah dua minggu hujan terus turun. Gundukan tanah itu semakin datar saja. Daun yang berguguran itu mulai mempercantik tempat itu, sedikit tampak gundukannya.
Aku nyaman di sini. Aroma bunga berwana-warni menghiasi tempat yang sekarang sudah seperti kamarku. Di sini banyak bintang namun Doraemon tak ada lagi.