BOPM Wacana

Luput

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Widya Hastuti

Zaman dahulu nenek moyang kita percaya mitos akan keberuntungan yang kemudian berkembang menjadi sistem kepercayaan. Mulai dari bangsa Romawi hingga Cina percaya mitologi. Lalu aku? Mungkin sejak hari itu aku juga percaya. Percaya pada kekuatan supranatural kata-kata.

***

Deru mesin bus diesel tua menambah kebisingan. Udara panas menyesakkan. Bus yang membawaku masuk ke terminal pasar bengkel. Supir bus turun tanpa mematikan mesin.

Seketika suasana semakin panas. Tanpa udara. Getaran dari mesin bus menambah rasa panas. Aku kesal pada ibuku. Mengapa aku harus menjenguk pamanku di Pekan Baru menggunakan bus?

Dalam rasa kesal kucoba membaca suasana. Sejak bus berhenti, para pedagang berebutan masuk bagai lalat yang tak diundang menawarkan berbagai makanan dan minuman. Mereka menyodorkan makanan ke wajahku, setengah memaksa.

Pemuda di sampingku yang sepertinya juga mahasiswa, duduk tenang menghadap ke luar jendela sambil merokok. Asap rokoknya mengepul ke arahku terhembus angin, memberikan rasa sesak.

Di luar, supir bus tertawa terbahak-bahak tanpa peduli pada kami yang terpanggang bagai ikan asin. Banyak pedagang kaki lima di pinggiran terminal. Aku alihkan pandangan ke seberang kursiku.  Seorang ibu tertidur, anak berumur sekitar dua tahun yang sedang menyusu padanya tiba-tiba menangis. Mungkin kepanasan.

“Telur puyuh, telur puyuh, kacang, tahu rendang. Telur puyuhnya, Dik,” tawar seorang pedagang padaku.

Aku acuh saja. Di tengah hiruk-pikuk ini aku melihat seorang kakek tua berbaju hijau, dengan tongkat dan kaleng di tangannya naik ke bus dengan susah payah. Pecinya yang telah usang sedikit miring. Janggut dan kumisnya telah memutih sempurna. Namun rambutnya masih diselingi warna hitam.

Setelah berhasil berdiri di bus dengan suara lantang mengalahkan deru mesin, suara pedagang, dan tangis bayi, ia menyerukan selawat nabi. Tak ada yang memedulikannya namun, ia tetap berselawat. Kemudian dengan tertatih-tatih ia menyodorkan kaleng susu usang di tangannya pada penumpang. Mereka mengangkat tangan sebagai tanda maaf.

Aku tak habis pikir, bagaimana seseorang dapat ‘menjual’ selawat nabi. Terlebih kakek ini sempurna, tak cacat fisik maupun mental. Hanya kakinya sedikit timpang. Apakah tak ada jalan lain selain menggunakan selawat sebagai sumber rezeki?

Kakek itu telah sampai di hadapanku saat aku sibuk dengan pertanyaan di otakku. Ia menyodorkan kalengnya ke hadapanku. Aku memandang wajahnya, datar saja ia. Tak ada ekspresi sedih, senang, atau apapun. Hanya tatapannya sendu bagai burung hantu yang bijak. Mulutnya tetap berkomat-kamit menyerukan selawat nabi yang dihafalnya entah dari mana. Mungkin dari pengajian-pengajian majelis taklim atau perkumpulan ibu-ibu.

“Allahumma sholli wa sallim ‘ala nabiyyinaa muhammad…” gumamnya.

Ia menggoyangkan kalengnya. Aku memandangnya jengkel. Namun, entah mengapa aku merogoh sakuku. Memberikan uang ribuan pada kalengnya.

“Semoga selamat sampai tujuan ya Allah, murah rezeki, mudah jodoh, cepat selesai kuliahnya, menjadi anak saleh, membangun negara. Amin ya Rahman, ya Rahiim, ya Robbal alamin.

Serentetan doanya, aku hanya menggumamkan amin perlahan. Walau sedikit ragu doa itu akan terkabul.

Supir bus kembali naik, ia membanting pintu kemudian berteriak marah pada keneknya. Wajahnya merah, entah karena panas atau karena marahnya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi.

Asi napedo—kenapa kamu belum dalam Bahasa Sidempuan—turun?”

Suara bentakan dari arah belakang, aku menoleh. Kakek tua yang berselawat tadi duduk di tangga bus memeluk tongkatnya dengan cemas. Kenek bus menatapnya garang. Mulut kakek tua bergumam entah apa, mungkin selawat. Kenapa kakek itu masih di bus? Mungkin ia tidak sempat turun dengan kaki yang sedikit pincang saat supir bus marah.

“Nanti kau harus bayar ongkos!” ujar kenek pada kakek tua itu. Kakek itu hanya menatap dengan datar. Kenek pun menyerah, dengan kesal ia pergi ke depan. Kakek tua itu tersenyum penuh kemenangan, merapikan duduknya menghadap pintu kemudian kembali berselawat.

Aku kembali pada posisiku. Pemuda di sebelahku terus memandang keluar jendela, tak dapat diajak bicara. Aku jenuh. Angin sepoi-sepoi berhembus dari jendela membuatku mengantuk. Selawat yang merdu mengantarkanku pada tidur. Perlahan aku tak ingat apa-apa lagi.

***

Aku di dalam mimpi. Banyak manusia berbaju putih. Wajah mereka mirip kakek tua itu. Mereka semua berselawat, dan mengacuhkanku. Namun tidak lama kemudian, suasana kacau. Manusia-manusia itu beterbangan, suara mereka berubah menjadi lengkingan dan benturan.

Aku mengerjap, perlahan kubuka mataku. Samar kulihat rumput kuning. Apa aku masih mimpi? Aku mengarahkan pandanganku. Bus di depanku terguling, itu bus yang kunaiki tadi. Aku panik dan mecoba bangkit namun sakit. Hidungku berdarah.

Aku mencoba berteriak minta tolong. Namun tenggorokanku kering jadi aku memilih untuk diam. Perlahan dengan bersusah payah aku duduk. Aku ada di sawah. Banyak orang bergelimpangan tidak jauh dariku. Mereka merintih minta tolong. Banyak juga yang diam, tenang seperti tidur.

Dari bus aku melihat sesuatu bergerak, kakek tua itu. Ia keluar melalui pintu supir. Dengan perlahan dan wajah datar ia berjalan menjauh dari bus. Mulutnya terus bergumam, “Sholiallah saidina Muhammad, yanabi Saliallaihiwasalim”.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4