Oleh: Aulia Adam
Banyak linguis asing tertarik menelitinya karena ia begitu unik. Bentuk, bunyi, bahkan asal mulanya ada menjadi daya tarik. Sayang, meski belum sekarat, eksistensinya mulai digerus peradaban.
Rambut saya sedang dicukur Beni Harefa, pemilik Mitra Pangkas, barber shop di Binjai yang baru beberapa kali saya langgani, kala sebuah perbincangan menarik melibatkan kami.
Meski malam itu kali ketiga saya berkunjung ke sana, tapi baru kali itu rambut saya ditangani langsung Beni. Awalnya, perbincangan kami hanyalah basa-basi tentang usia dan di mana saya kuliah. Tapi di tengah perbincangan, datang seorang pria tua. Kulitnya putih, matanya tidak lebar, bisa dibilang sipit. Ia menyapa Beni dengan bahasa yang familiar di telinga saya. Bukan bahasa Indonesia. Ia memakai Li Niha.
“Ya’ahowu!” kata si pria tua, mungkin usianya sekitar 50-an.
“Ya’ahowu, Bapa,” Beni membalas sambil senyum. Ternyata mereka kerabat.
Saya langsung menyadari sesuatu. Perawakan Beni memang tak asing bagi saya. Kulitnya putih, matanya sipit, tapi tak sesipit si pria tua. Perawakan yang mirip dengan masyarakat Asia Timur. Khas. Mirip pula dengan penduduk Nias Selatan.
“Orang Nias, ya, Bang? Asli Nias?” kata saya.
“Iya, dek.Tapi sudah lama merantau di sini,” katanya.
Lantas saya teringat sesuatu yang diucapkan Pastor Johannes. Katanya, yang menyebabkan Li Niha—bahasa Nias—jadi terancam punah adalah orang-orang Nias sendiri. Mereka yang merantau dan lupa pada bahasa ibunya.
***
Pribumi di Nias menyebutnya Li Niha. Li, berarti bahasa dan Niha berarti Nias. Li Niha digolongkan sebagai salah satu bahasa dari kawasan Austronesia, bagian Asia Tenggara, Asia Pasifik hingga Australia.
Ia satu-satunya di dunia, bahasa yang seluruh kata diakhiri dengan huruf vokal, a, i, u, e, o. Dan ö, karena dalam bahasa ini terdapat enam huruf vokal.
Ö di sini dibaca seperti e dalam kemarin, ketemu, atau senja. Dan e selalu dibaca seperti e dalam perak, sepak, atau metafora.
H Sundermann-lah yang pertama kali menuangkan Li Niha ke dalam literatur. Misinonaris Jerman ini membuat Alkitab Perjanjian Baru pertama dengan Li Niha pada 1911 di Amsterdam.
Alkitab ini dipakai massal oleh masyarakat Nias penganut Protestan kini. Dalam Alkitab tersebut, hal dasar tentang enam huruf vokal itu memang tertera jelas. Namun, ö masih ditulis dengan lambang õ di Alkitab aslinya. Sebab keterbatasan mesin tik yang dibawa misionaris Jerman seperti Sundermann.
Dahulu, untuk membuat õ begini, seseorang akan mengetik o terlebih dulu baru meletakkan tanda tilda (~) di atasnya.
Kehadiran huruf vokal keenam ini tidak sembarang. Ia diciptakan untuk permudah masyarakat aksarakan bahasa mereka. Jika ia abstain, maka dampaknya fatal. Sebab telah banyak kata yang harus dijelaskan oleh satu huruf ini. Dan ia tidak bisa disubstitusikan dengan huruf vokal lainnya.
Coba saja! Misalnya, tölö-tölö yang berarti kerongkongan dituliskan tolo-tolo saja. Maka artinya telah berubah. Sebab tolo-tolo berarti pertolongan.
Keunikan ini membawa banyak linguis asing melirik Li Niha sebagai objek penelitian. Sebut saja; Peter Suzuki, Prof James Fox, Lea Brown.
Namun ada satu linguis pribumi yang cukup fokus membahas Li Niha sebagai kajiannya. Wa’özisökhi Nazara namanya. Ia berskripsi tentang Li Niha di 1990-an, dan kembali mengangkat Li Niha lagi di tesisnya pada 2001.
Ia kupas fungsi gramatikal subjek dan objek dalam Li Niha. Penelitian lingustik yang sederhana. Namun, Wa’özisökhi tak punya banyak referensi tentang bahasa Nias. Ia kesulitan mencari sumber referensi. Wa’özisökhi sudah datangi berbagai instansi yang kemungkinan besar mencatat kehadiran bahasa Nias dalam koleksinya. Seperti perpustakaan daerah Sumatera Utara, tapi tetap saja tak menemukannya. Ia frustrasi. Sebab sudah banyak instansi yang ia datangi tapi bilang tidak tahu ataupun tidak punya laporan yang ia cari.
Namun, dasarnya nasib untung, pencarian Wa’özisökhi mengarah pada Pastor Johannes M Hämmerle. Misionaris Katolik asal Hausach, Jerman, yang sudah menetap di Nias sejak 1971.
Nama ini bukan nama asing. Banyak literatur tentang Nias menyebutkan nama Pastor Johannes. Kebanyakan orang Nias juga langsung mengenal pastor satu ini sebagai pendiri Museum Pusaka Nias di Gunungsitoli sana.
Wa’özisökhi langsung berkemas pulang kampung. Ia segera bertemu Pastor Johannes yang sehari-harinya berkantor di Museum Pusaka Nias. Niatnya untuk mencari laporan penelitian tentang bahasa Nias tak salah arah. Di museum ini, ada sebuah perpustakaan yang menghimpun begitu banyak catatan tentang Nias.Tentu saja semuanya hasil penghimpunan Pastor Johannes.
Pastor Johannes senang dengan kedatangan peneliti seperti Wa’özisökhi. Katanya, Wa’özisökhi bukan orang pertama yang datang ke sana untuk cari sumber referensi. Ada banyak peneliti lainnya.“Salah satunya Lea Brown,” ujar Pastor Johannes.
Sebelum Wa’özisökhi datang, seorang linguis wanita dari Australia juga singgah di Museum. Ia sengaja datang untuk menemui Pastor Johannes. Dialah si Lea Brown yang bekerja di Max Planck Institute di Leipzig, Jerman. Ia datang untuk disertasi doktoralnya. Lea mengupas tata bahasa Nias, namun lebih fokus di daerah Nias Selatan. Hasil disertasinya kelak ia bukukan dengan tajuk The Austronesian Languages of Asia and Madagasgar di 2004. Sebuah buku yang mengupas beberapa bahasa Austronesia.
Pastor Johannes menyarankan Wa’özisökhi untuk mengontak Lea. Langsung saja Wa’özisökhi mengirim surel pada Lea. Sekitar sebulan kemudian, surel itu mendapat balasan. Lea mengirimkan beberapa catatan misionaris Jerman tentang sejarah Nias.
Hubungannya dengan Lea jadi lebih akrab karena penelitian ini. Mereka berkomunikasi lewat surel, sesekali lewat telepon, dan beberapa kali akhirnya bertemu di Padang, tempat Wa’özisökhi menetap. Dari Lea, banyak informasi yang membantu penelitian Wa’özisökhi.
Meski asli lahir di Tanah Nias, pengetahuan Wa’özisökhi tentang tanah kelahirannya masih sedikit sekali. Makin lama meneliti, ia makin sadar akan hal itu. Sebabnya jelas. “Belajar bahasa suatu suku tentu saja tak bisa dilepas dari sejarahnya,” kata Wa’özisökhi.
Keunikan lain Li Niha ialah tiap katanya bermutasi hanya pada pangkal kata. Sehingga tidak akan mengubah ujung katanya. Misalnya, amagu—ayahku—yang berubah jadi namagu ketika bertemu dengan kata kerja atau verba.
Hal ini yang kemudian dikaji Wa’özisökhi. Ia berhasil menjelaskan proses morfofonemik—pengabungan morfem (bunyi)—dalam bahasa Nias. Sehingga dapat diketahui huruf mana saja yang berganti bunyi ketika terjadi mutasi.
“Saya sementara menyimpulkan wujud mutasi itu adalah perubahan (huruf—red) konsonan dari konsonan tidak bersuara menjadi konsonan bersuara,” katanya.
Misalnya, dari konsonan tak bersuara: talu yang berarti perut—menjadi konsonan bersuara dalu. Akan tetapi, konsonan bersuara menunjukkan dua wujud mutasi. Ada yang berwujud zero (tanpa perubahan). Misalnya, bunyi konsonan n pada kata niha yang berarti orang, tidak berubah. Ada bunyi konsonan bersuara menjadi bunyi konsonan bersuara lain. Misalnya, bunyi konsonan bersuara b pada kata bawi yang berarti babi menjadi bunyi konsonan bersuara β menjadi mbawi.
Wa’özisökhi juga bilang, urutan konstituen Li Niha berbeda dengan bahasa-bahasa lain di Sumatera dan sekitarnya. Jika umumnya berbentuk subjek+predikat+objek, maka Li Niha berbentuk predikat+objek+subjek.
“Misalnya, Ifazökhi nomo amagu,” kata Wa’özisökhi. Artinya ayahku membuat rumah.
Temuan Wa’özisökhi ini termasuk yang paling mutakhir, sebab tak ada linguis yang mengupas morfofonemik Li Niha sebelumnya.
“Semua ini berangkat dari rasa prihatin terhadap sedikitnya ono Niha (orang Nias—red) yang mau meneliti budaya mereka sendiri,” ungkap Wa’özisökhi. “Ironi sekali melihat yang meneliti Li Niha justru orang asing seperti Kaka Lea,” tambahnya.
Saat ini, hanya sekitar 700 ribu orang aktif yang menggunakan Li Niha. Angka ini termasuk penyebab Li Niha masuk bahasa yang terancam eksistensinya. “Sebab lainnya adalah kata-kata serapan yang mulai dicampur-campurkan dengan Li Niha asli,” kata Wa’özisökhi.
Tak hanya Wa’özisökhi yang melihat kondisi ini. Edward Halawa, seorang perantau berdarah Nias yang kini menetap di Australia juga berpandangan senada. Ia menyalurkan pikiran-pikirannya tersebut melalui tulisan di niasonline.net, situs budaya dan bahasa Nias. Ia pemimpin redaksi di sana.
Edward sangat menyadari kata-kata dalam Li Niha yang biasa berakhiran huruf vokal mulai diisi dengan kata-kata serapan dari bahasa Indonesia maupun bahasa asing lainnya, yang justru tak berakhiran vokal.
Hal ini yang saya alami langsung di Nias. Kata-kata seperti warnet, pesawat, touring, surfing masih sering terselip di percakapan-percakapan ono Niha, di dalam angkot, warung, pantai atau pelabuhan.
Menurut Edward, selain karena kemajuan teknologi, penyebab lain ialah tak banyak ahli bahasa yang dimiliki Nias. Sehingga tak banyak orang yang sadar kalau tak hanya keunikan Li Niha saja yang terancam, namun eksistensinya juga.
“Anak-anak muda Nias tidak punya pedoman, yang mana yang harus diikuti,” tulis Edward pada salah satu artikelnya yang berjudul Masalah Kebahasaan Nias.
Saya jadi teringat dengan Beni yang sudah lama merantau. Ia memang tak lupa bahasa ibunya. Tapi di malam itu, saat saya menguping perbincangannya dengan pria tua, kerabatnya, memang banyak kata serapan tak berakhiran vokal yang terselip.
Lantas saya termangu. Inikah mula pudarnya keunikan Li Niha?
Pastor Johannes, Penyambung Lidah Sejarah
Oleh: Ferdiansyah dan Aulia Adam
Keunikan Li Niha jadi daya tarik tersendiri bagi para linguis. Mereka butuh penyambung lidah antara sejarah dan kebudayaan leluhur orang Nias sendiri. Dan di sanalah sang Pastor hadir.
Sebelum akhirnya memutuskan ke Nias, kami bertemu dengan puluhan artikel yang menyebutkan namanya. Dalam artikel-artikel tersebut, ia hadir sebagai tokoh penting yang tampaknya paling tahu tentang sejarah budaya dan bahasa Nias. Banyak linguis menemuinya lebih dulu untuk menabung bahan penelitian, atau bahkan menjadikan ia sebagai sumber utama.
Penasaran sebabnya, kami memburu sosoknya hingga ke Gunungsitoli, Nias.
Tempat pertama yang kami tuju adalah Museum Pusaka Nias. Tempat ia berkantor sehari-harinya. Museum yang menyimpan benda-benda sejarah hingga pra-sejarah Nias: baju adat, bebatuan zaman megalitikum, beberapa model rumah adat, hingga pohon-pohon langka yang dulunya rimbun di Nias. Semuanya jeri payah Pastor Johannes dalam merekam jejak kebudayaan Nias.
Tak hanya peninggalan sejarah berwujud yang disimpan. Di sana, terdapat pula sebuah perpustakaan yang menyimpan banyak literatur tentang budaya dan bahasa Nias.
Melihat kerapian Museum itu diurus, penasaran kami sedikit terjawab. Tak heran jika para peneliti menyinggahi tempat ini demi berburu bahan penelitian.
Di tempat ini pula kami disambut sang Pastor. Ia pria baya, tinggi, putih. Menggunakan lensa persegi di atas hidung mancung. Matanya hijau hazel, khas mata orang Benua Eropa. Dengan aksen aneh—campuran dialek Nias dan Jerman—ia bercerita dalam bahasa Indonesia pada kami.
***
Ia tiba di Gunungsitoli 21 Juli 1971. Beberapa bulan sebelumnya tawaran datang dari Konsulat Jenderal Jerman di Medan untuk penempatan misionaris di Nias dan Tapanuli. Kebetulan Johannes dan temannya kala itu sedang di Medan. Ia pun mendaftar. Diterima untuk ditempatkan di Nias, menyebarkan agama Katolik di sana. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di sana.
Tiba di Nias, Johannes yang sudah lumayan bisa berbahasa Indonesia dikenalkan dengan Li Niha. Tugasnya berkeliling Nias membuat ia harus beradaptasi gunakan Li Niha. Tujuh tahun menetap di Gunungsitoli, ia kemudian bergerak dari satu kampung ke kampung yang lain. Kadang ia menetap di satu kampung selama empat bulan kadang dua bulan atau hanya tiga minggu saja. Total empat tahun keluar masuk kampung, ia akhirnya fasih ber-Li-Niha.
Dari pengalaman berkeliling Nias ini, ia jadi paham kalau Li Niha yang digunakan di Nias ternyata tak seratus persen seragam. Dialek dan tekanan nada pengucapan Li Niha antara masyarakat di Nias Utara dan Selatan berbeda. Johannes sendiri menganggap masyarakat di Nias Utara cenderung mengalami ketergerusan dengan banyaknya pengaruh bahasa Indonesia dalam penggunaan sehari-hari.
Bahkan, ada pemetaan penggunaan bahasa sendiri dari satu desa ke desa lainnya.Misalnya kata cawat. Dalam Li Niha di Gunungsitoli, cawat disebut saombö. Di daerah Gömö, cawat disebut fambusa.
Hal ini tercantum pula di penelitian Lea Brown, linguis dari Max Planck Institute di Leipzig, Jerman. Judulnya A Grammar of Nias. Namun, lebih spesifik, Lea membaginya jadi tiga bagian. Selain utara dan selatan, ia juga membagi bagian tengah Nias. Lea, ialah salah satu linguis yang bertemu Pastor Johannes sebelum memulai penelitiannya.
Ia tak heran, mengapa para linguis berdatangan mencarinya ke Museum. Ia sadar kalau di Nias sendiri tak banyak catatan ataupun jurnal yang merekam perkembangan budaya dan bahasa asli Nias. Hal ini pula yang membulatkan niatnya membangun Museum.
Ia sebenarnya punya beberapa teman yang juga paham perkembangan budaya Nias dan Li Niha. Namun, mereka tak mau mencatatnya untuk diabadikan. “Untuk apa ditulis, saya ingat semuanya di sini, kok,” Pastor Johannes menirukan ucapan kawan-kawannya sambil menunjuk kepalanya.
Hal ini pula yang menurutnya menjadi salah satu sebab tergerusnya Li Niha asli. “Kebanyakan ono niha (orang Nias—red) mengetahui kebudayaan mereka sendiri dari catatan-catatan orang asing. Bukan dari leluhur mereka sendiri,” katanya.
Oleh hasil jeri payahnya menjadi penyambung lidah sejarah budaya dan bahasa Nias, harian The Jakarta Post pernah menyebut Pastor Johannes sebagai The Keeper of Nias Forgotten Culture, dalam sebuah artikel berjudul sama di 2004.
Laporan ini pernah dimuat dalam Majalah SUARA USU Edisi V yang terbit tahun 2014.