Oleh Shella Rafiqah Ully
BOPM WACANA — Konsep jurnalisme damai dapat digunakan pegiat pers sebagai salah satu alternatif peredam konflik terutama pada kasus konflik politik. “Karena pada jurnalisme damai, orientasi tulisan pada resolusi konflik bukan memperluas konflik,” ungkap J Anto, Direktur Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera pada Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Almamater oleh Lembaga Pers Mahasiswa Teropong Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara di Auditorium Mess Pertanian Sumatera Utara, Selasa (27/5).
J Anto juga katakan jurnalisme damai bertujuan menyadarkan pelaku konflik siapa yang paling menderita dan terkena dampak karena pertikaian. Ia contohkan konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Aceh. Menurutnya sikap saling menyalahkan antara GAM-TNI saat memberikan keterangan yangmenimbulkan kebingungan di masyarakat dapat diatasi dengan jurnalisme damai. “Wartawan harus ambil narasumber dari mereka yang bukan pelaku konflik,” terangnya.
Lebih lanjut ia jelaskan yang menjadi fokus pada jurnalisme damai adalah bukan pihak yang menang atau pun kalah, tetapi dua pihak yang jadi korban konflik. Pers juga harus menyadari dampak lanjutan dari tulisannya. “Pikirkan kalau ditulis: konflik makin parah atau enggak di masyarakat?” ujarnya.
Sulastri, peserta pelatihan dari Lembaga Penerbitan dan Penyiaran Mahasiswa Profesi Universitas Negeri Makassar sepakat jurnalisme damai cocok diterapkan sebagai alternatif peredam konflik. Sebab untuk meliput di daerah konflik yang paling penting adalah mencari solusi bukan sensitivitasnya. “Wartawan kan harus cerdas tahu apa dampak tulisannya. Jangan malah menghancurkan mereka,” ujarnya.