Oleh: Widiya Hastuti
“Seperti segala yang ada di dunia ini, semua berawal dari ketiadaan. Kemudian waktu mengubahnya menjadi wajib. Manusia kerap menghamba pada kewajiban-kewajiban aneh itu meski harus menyembahkan nyawa manusia lain.”
Aku terdiam di depan cermin di kamar Alfa, memandang pantulan wajahku. Memperhatikan sorot mataku sendiri. Alfa meletakkan baskom berisi air panas di sampingku. Ia mulai membasuh betisku yang berdarah. Rasa hangat di betisku menyadarkan aku pada luka lainnya. Aku meraba tanganku yang dipenuhi lebam. Di dekat pergelangan tangan kulitku sedikit mengelupas terkena pecahan jam tangan. Pergelangan itu mulai membengkak.
Aku menghela nafas dalam-dalam, berkelebat dalam ingatanku ketika besi penyangga bunga itu melayang di atas kepalaku. Jika saja tanganku tidak sigap naik ke atas untuk melindungi tengkorak ini tentu aku sudah hilang ingatan saat itu juga. Sebagai gantinya jam tangan hadiah ulang tahunku harus pecah dan kepingannya masuk ke dalam kulitku. Anehnya aku tidak merasa sakit. Mungkin rasa sakit sudah terhapus dari otakku dan hanya kebingungan dan heran yang tersisa di sana.
“kok kau senekat itu sih, Ran?” Tanya Alfa sambil terus menyeka kakiku.
“aku enggak nekat loh, memang harusnya kekgitu,” ujarku. Mataku tetap menatap lekat pada kaca. Aku kembali menatap bola mataku sendiri. Mencari sesuatu.
“Harus apanya? Kau enggak boleh masuk ke dalam kerumunan massa yang lagi ngamuk gitu. Buat apa kau di sana? Kau cari mati!”
“aku bantuin dia.”
“kenapa harus kau yang bantuin?”
“kenapa enggak boleh aku yang bantuin?”
“ya bukan kayak gitu cara bantuinnya, kau bisa mati dibakar massa.”
“kan, aku enggak mati.”
“memang! Tapi kau lihat badanmu ini. Kau hampir cacat permanen.” Alfa meninggikan suaranya. mungkin dia benar atau mungkin juga salah. Otakku tidak dapat memprosesnya. Aku terlalu bingung. Aku hanya menatap bola mataku yang bergerak-gerak mungkin karena otakku di dalam sana sibuk membongkar penyimpanannya untuk memahami semua kebodohan ini.
“Aku bingung, Fa,” ujarku tanpa mengalihkan pandangan.
“Kau gila! Bukan bingung,” ujar Alfa, ketus. Sepertinya dia masih kesal.
“kenapa orangtu harus hajar orang cuma karena alasan sepele? nyawa semurah itu, ya.”
“Itu enggak sepele Rin, mereka sedang mengamuk dan kau masuk melindungi orang yang sedang di amuk massa. Itu enggak sepele!”
“ya mereka mengamuk ke orang itu karena alasan sepele.” Ujarku “Apa salahnya enggak pakai masker?” lanjutku. Aku merasakan kalau Alfa menatapku tapi itu tidak cukup untuk mengalihkan pandanganku dari bola mataku.
Aku ingin mengusir kebingungan yang menyelimuti otakku, yang datang seperti kabut beberapa jam lalu. Saat aku melihat gadis malang itu diseret-seret ke tengah jalan. Massa menjambak rambutnya, memukulnya, dan meludahi tubuhnya. Tak tahu lagi berapa banyak kata-kata kasar dan sumpah serapah yang melayang ke udara mengutuknya. Perempuan itu tak berkutik. Jika aku tak datang menerobos kerumunan memeluknya mungkin nyawanya sudah pergi dari dunia ini.
Perempuan itu Idi, sudah lama ia membuka rumah ajar untuk anak-anak jalanan. Hanya rumah kecil berukuran 6×8. Dindingnya diwarnai hijau. di halamannya banyak bunga dan tumbuhan lainnya, ada pohon mangga juga. kursi-kursi kayu melingkari tiap tempat yang teduh. Beberapa rak buku diletakkan di luar. Di dalam ruangan juga penuh dengan buku dan kerajinan tangan hasil karya anak-anak itu.
Aku datang ke pondok belajar Idi karena tugas kuliah. Kami disuruh mencari tempat yang melakukan kegiatan sosial kemudian menganalisis kegiatan mereka. Temanku mengusulkan rumah itu alasanya karena dekat dengan kosanku.
Idi mengajarkan banyak hal di sana. Kelas utamanya adalah menjadi manusia, di kelas ini diajarkan tentang bagaimana siswanya harus berperilaku mengutamakan kemanusiaan dari pada identitas. Mereka juga belajar sastra, sejarah, filsafat, dan politik disamping pelajaran kerajinan tangan yang paling banyak memakan waktu. Sejak saat itu aku kerap melihat perkembangan pondok Idi dari media sosial atau clingak-clinguk di depan pondoknya tanpa berani masuk.
Tak lama dari kunjungan tugas kuliahku itu, Entah bagaimana Idi dan muridnya kemudian melepas masker setelah pemerintah mengeluarkan rancangan peraturan hukum pidana bagi mereka yang membuka masker di depan umum. Setelahnya Idi di usir dari rumahnya. Warga menganggap dia melanggar norma –meresahkan, begitu katanya– karena dia berani terang-terangan membuka masker dan mengajarkannya kepada anak-anak.
pondok belajarnya dihancurkan anak-anak didiknya cuma bisa menangis melihat tempat itu diobrak-abrik. Aku di sana ketika dia diusir, hanya mengamati. Saat pembakaran buku aku menyembunyikan buku tebal berisi perjalanan masker yang pernah dia tunjukan “Masker dulu bukanlah hal yang wajib kita gunakan,” ujarnya waktu itu mempromosikan buku itu. Aku tertarik untuk membacanya lebih banyak, waktu itu aku malu meminjamnya.
Dari buku itu aku tau dulu tak seorangpun menggunakan masker selain tenaga medis dan orang-orang sakit, tujuannya untuk menghambat penyebaran virus. Hingga pada abad 21 Virus Covid-19 membunuh orang-orang karena penyebarannya yang cepat. Virus ini membuat setengah dari hidup manusia ada dalam dunia digital karena harus membatasi pertemuan. Masker kemudian menjadi hal wajib. Saat vaksin ditemukan dan virus mulai hilang masker menjadi model. Industri masker terus mempromosikan model-model terbaru dari masker. Orang-orang kemudian mulai terbiasa menutup setengah dari wajahnya. Bibir kemudian menjadi hal yang tabu untuk dilihat selain oleh anggota keluarga.
“Tidak hanya masker, seluruh pakaian semua punya sejarah yang sama. Awalnya digunakan untuk tujuan fisik kemudian berubah menjadi budaya. Manusia suka menciptakan ketabuan,” ujar Idi waktu itu. Dia juga bercerita jika dulu banyak wilayah yang tidak menggunakan pakaian. Tak menutup buah dada merupakan hal wajar terutama di wilayah tropis. Hanya orang dari daerah gurun yang menutupi seluruh tubuhnya. Tapi, waktu merubahnya. Orang-orang menutupi sebagian besar tubuhnya kemudian budaya menjadikan bagian-bagian tertentu dari tubuh menjadi tabu.
Idi banyak mengkritik soal masker di media sosialnya. Menurutnya tak seharusnya masker menjadi alasan masyarakat dan negara untuk menyiksa seseorang, baik dengan penjara atau hukum cambuk. Tak ada yang istimewa dari bibir, kenapa orang harus meregang nyawa hanya karena memperlihatkan bibirnya. Selama ini protesnya hanya berbentuk tulisan. Namun, sejak peraturan resmi mengenai masker Idi memulai gerakannya melepas masker.
Hari itu entah kenapa Idi kembali ke rumahnya itu. Warga mendapatinya mengendap-endap masuk ke rumahnya sendiri. Ia pun menjadi amukan massa karena warga tak ingin desanya dimasuki perempuan pembuat keresahan seperti Idi.
Aku tak pernah tahu Idi benar atau salah. Otakku terlalu bingung tentang masalah masker ini hingga sekarang aku masih mencari-cari apakah Idi benar. Saat aku berlari menyelamatkannya dari massa aku hanya yakin Idi tak harusnya dipukul dan diseret-seret tak layak seperti itu. Ia memberikan kehidupan bagi anak-anak jalanan. Tak seorang pun yang memukulnya tadi peduli akan itu. Bagi mereka, bibir yang ditutup lebih penting.
Kumpulan mahasiswa menyelamatkan aku dan Idi dari amuk massa itu. Aku tak sempat bertanya kenapa pada Idi, Alfa telah buru-buru menjauhkan aku dari sana. Sedangkan Idi entah di mana sekarang.
“tok-tok-tok” suara pintu kamar Alfa.
“Siapa tuh, Rin,” bisik Alfa. ia mengendap-endap ke arah pintu dan mengintip dari lubang kunci. “Rin, polisi, pasti nyari kamu” bisiknya.
“Tok-tok-tok, hei buka!” suara dari luar. Sepertinya ramai. Aku tak menggubris hanya memandang mataku di dalam cermin. Apakah Idi benar? Kami harusnya tak perlu memakai masker?
“Hei buka-buka! atau kami dobrak,” teriak orang di luar sana makin ramai.
Alfa mulai memutar kunci pintu dan membuka pintu. Dua orang polisi di depan pintu diikuti massa di belakangnya. Aku memejamkan mataku, perlahan melepakan maskerku, aku yakin Idi benar.