BOPM Wacana

Frase Absurd Bernama Kebudayaan Nasional

Dark Mode | Moda Gelap

Tulisan ini berangkat dari ketidakpahaman saya soal frase berbunyi “Kebudayaan Nasional Indonesia”.

2013 - Wan UlfaSebelum memulai tulisan ini, saya bikin jajak pendapat kecil-kecilan soal kebudayaan nasional di dindingfacebook saya. “Menurut kalian, kebudayaan nasional Indonesia apa ya?” begitu saya tuliskan. Empat puluh menit kemudian tak banyak yang merespon, hanya empat orang teman yang memberi komentar.

Seorang teman bernama Febrian menjawab ‘konsumerisme’. Febrian adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara asal Sumatera Barat yang juga aktif di pers mahasiswa. Komentar kedua datang dari Fahri Salam, wartawan yang aktif di Yayasan Pantau. Ia menjawab “Yang menasionalkan budaya dan membudayakan nasional,” dengan tambahan hastag#srimulatism di akhir komentarnya. Aktivis Human Right Watch yang juga seorang wartawan, Andreas Harsono ikut beri komentar. Ia hanya menuliskan satu kata, “Korupsi”. Komentar terakhir datang dari Sunario Aritonang, alumni Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Sumatera Utara. Sunario yang sekarang menjadi aktivis di Rumah Singgah Caritas PSE menuliskan dua kata, “Tidak ada.”

Keempat kawan saya tentu punya alasan dan pandangan masing-masing soal kebudayaan nasional dan soal apa yang menurut mereka adalah kebudayaan nasional. Jika merujuk pada definisi kebudayaan nasional menurut Ki Hajar Dewantara yang menyatakan kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah, apa yang dijawab keempat kawan saya, tentu tak tepat. Konsumerisme, menasionalkan budaya dan membudayakan nasional, dan korupsi tak sesuai dengan apa yang dimaksudkan Ki Hajar Dewantara.

Pendapat Poerbatjaraka, yang menjadi dasar gagasan Dewantara mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia harus dibangun dan berakar pada sejarah dan kebudayaan masa lampau Indonesia sendiri. Artinya, harus berakar pada kebudayaan suku-suku bangsa yang ada di Nusantara ini. 

Ada kebingungan yang amat sangat di pikiran saya. Dengan definisi yang seperti mereka katakan, jika kemudian ditanyakan pada saya, apa kebudayaan nasional Indonesia? Saya masih belum paham harus menjawab apa.

Taruhlah saya jawab, Batik. Karena batik seolah menjadi pakaiannya orang Indonesia. Malah ada hari Batik Nasional yang kita peringati tiap 2Oktober. Pun logika saya masih belum bisa terima jika batik disebut sebagai kebudayaan nasional. Setahu saya, batik itu kebudayaan Jawa. Di tanah kelahiran ibu saya, Batubara, saya tak lihat Pegawai Negeri Sipil (PNS) pakai batik, mereka pakai tenunan khas Batubara. Begitu juga di Riau, mereka pakai baju kurung untuk perempuan dan teluk belanga untuk laki-laki. Saya masih tak paham mengapa sekonyong-konyong batik dijadikan budaya nasional Indonesia. Saya yang tak begitu pintar saja paham kalau itu budaya Jawa.

Kebingungan juga hinggap di pikiran saya ketika November 2012 lalu menerima undangan wisuda dari Universitas Sumatera Utara, kampus saya dahulu. Di undangan dituliskan wisudawan wajib memakai pakaian nasional. “Aih, apalagi ini?” batin saya waktu itu. Ditambah tak ada penjelasan tentang seperti apa pakaian nasional yang dimaksud universitas. Teman-teman saya bilang, “Ya kebaya lah.”

Saya yang dangkal ilmunya ini bertanya lagi, kebaya kan pakaian Jawa? Mengapa pula disebut pakaian nasional? Dan jika memang kebaya lah yang dimaksud oleh pihak universitas, mengapa tak ditulis saja ‘kebaya’ di undangan wisuda itu? Jujur, saya tak nyaman pakai kebaya. Jadilah saya pakai gaun seperti terusan. “Toh tidak kelihatan, tertutup toga,” pikir saya kala itu.

Saya tak paham, apa yang sebenarnya diharapkah dari sebuah frase ‘Kebudayaan Nasional Indonesia?’ Kebudayaan seperti apa yang bisa dikatakan sebagai kebudayaan nasional Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya coba baca sana-sini. Di buku Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis salah seorang profesor antropologi dari Universitas Indonesia, Koentjaraningrat, dituliskan ada dua fungsi utama kebudayaan nasional Indonesia. Pertama, ia sebagai sistem gagasan dan pralambang yang memberikan identitas kepada warga masyarakat atau warga Indonesia. Kedua, sebagai sistem gagasan dan pralambang yang dapat digunakan oleh semua warga masyarakat atau Bangsa Indonesia yang majemuk atau Bhineka itu, sehingga dapat saling berkomunikasi untuk memperkuat solidaritas.

Lalu Koentjaraningrat menuliskan paling sedikit ada tiga persyaratan yang harus dimiliki unsur-unsur kebudayaan yang berfungsi pemberi identitas. Pertama, karya warga masyarakat Indonesia, atau orang-orang di zaman lampau yang berasal dari seluruh wilayah Nusantara. Kedua, tema pikiran dan wujud unsur-unsur kebudayaan itu harus bercirikan khas nuansa Indonesia. Ke tiga, ketinggian nilai unsur-unsur kebudayaan itu harus diakui, dibanggakan dan diidentifikasi oleh sebanyak mungkin warga masyarakat Indonesia.

Yang saya pahami dari apa yang dituliskan Koentjaraningrat adalah, sebuah kebudayaan nasional adalah suatu kebudayaan dari daerah mana pun di teritori Indonesia, yang diakui sebanyak mungkin masyarakat Indonesia.

Ini malah bikin kebingungan saya makin keterlaluan. Misalkan begini, saya yang orang Melayu tak bangga dan mengakui batik, ada lagi orang Papua yang lebih bangga pada koteka, pun orang Batak yang cinta mati pada ulos, taruhlah kami tak bangga pada batik. Tapi orang Jawa di teritori manapun mereka berada, mereka bangga pada batik yang menjadi kebudayaan mereka. Karena jumlah mereka banyak dan tersebar di mana-mana maka jadilah batik sebagai kebudayan nasional Indonesia. Kemudian seluruh bangsa di Indonesia dipaksa untuk pakai batik karena batik adalah pakaian dan kebudayaan nasional. Begitukah?

Dalam konsep budaya nasional menurut apa yang saya pahami dari Koentjaraningrat, ada budaya dari berbagai wilayah di Indonesia yang kemudian dijadikan suatu budaya bagi seluruh masyarakat teritori Indonesia. Tujuannya adalah untuk memperkuat solidaritas. Ia bahkan pernah menulis begini, “…penggunaan antropologi sebagai ilmu praktis untuk mengumpulkan data tentang kebudayaan-kebudayaan daerah dan masyarakat pedesaan sehingga dengan demikian dapat ditemukan dasar-dasar bagi suatu kebudayaan nasional yang mempunyai suatu kepribadian yang khusus.”

Apa yang sebenarnya diharapkan Koentjaraningrat dari adanya kebudayaan nasional? Solidaritas? Perlukah ada yang namanya kebudayaan nasional? Atau, mungkinkah ada sebuah kebudayaan yang bisa menjadi identitas setiap kelompok masyarakat di negeri ini? Saya pikir ya tidak. Apa yang dijawab teman-teman saya di status faebooksaya juga tak menunjukkan mereka sepakat kalau budaya nasional yang dimaksud di buku-buku itu ada. Atau jangan-jangan ada yang salah dengan gagasan soal kebudayaan nasional itu sendiri. Tapi mengapa orang-orang pintar negeri ini, repot-repot berdebat soal kebudayaan nasional?

Ada banyak orang yang merumuskan tentang pengertian Kebudayaan Nasional Indonesia. Sultan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa Kebudayaan Nasional Indonesia adalah suatu kebudayaan yang dikreasikan dengan mengambil banyak unsur kebudayaan yang dianggap universal, yaitu kebudayaan barat. Unsur-unsur kebudayaan barat yang penting dikreasikan itu menurut Sultan Takdir Alisjahbana, terutama unsur-unsur teknologi, ekonomi, keterampilan berorganisasi, dan ilmu pengetahuan.

Sanusi Pane kurang setuju pada rumusan itu karena menilainya sangat berorientasi pada aspek material, intelektuak dan individual. Sanusi Pane menyatakan bahwa Kebudayaan Nasional Indonesia adalah kebudayaan Timur, oleh karena itu harus mementingkan unsur-unsurkerohanian, perasaan dan kegotongroyongan.

Saya berpikir, berdasar pada sejarah pembentukan Indonesia sebagai sebuah negara, Indonesia ini kan terbentuk dari bangsa-bangsa (yang kemudian disebut suku) yang sangat beragam. Bangsa-bangsa itu sudah punya kebudayaan pun bahasanya masing-masing. Ada bangsa Melayu, Jawa, Minang, Aceh, Bali, Papua, Nias, Sumbawa, Dayak dan banyak lagi, ada ratusan bangsa di Indonesia ini. Kebudayaan yang ada ya kebudayaan masing-masing bangsa ini, jadi tak mungkin ada kebudayaan nasional. Bukankah sesederhana itu saja?

Jika pemerintah Indonesia ingin adanya solidaritas antar bangsa-bangsa ini, bukan dengan cara memaksa kami satu dan seragam. Tapi dengan cara mengajarkan kami konsep multikulturalisme dan pluralisme yang tertuang dalam Bhineka Tunggal Ika.

Berangkat dari apa yang saya pikirkan ini, jika kelak ada yang tanya pada saya, “Apa budaya nasional Indonesia?” maka saya akan jawab, “Tidak ada”.

*Penulis adalah alumnus Ilmu Komunikasi USU dan aktif sebagai jurnalis di Medan.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4