Oleh: Rachel Caroline L.Toruan
Daulu, wacana.org- Erpangir Ku Lau, salah satu ritual adat umat agama lokal, Pemena, kembali digelar di Mata Lau Debuk-debuk, Desa Daulu, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, pada Kamis (17/10/2024). Tradisi yang diadakan oleh Persatuan Hindu Pemena Sumatra Utara ini dikenal sebagai bentuk pembersihan diri secara spiritual dan fisik menggunakan air yang dibubuhkan berbagai jenis tumbuhan.
Ritual ini melibatkan pemanggilan roh atau arwah leluhur yang dipercaya telah menjaga kampung dan diberikan persembahan, yang disebut sebagai “ercibal”, semacam sesajen yang ditujukan untuk roh leluhur yang dipanggil.
Selain itu, adanya penyiraman diri menggunakan air yang dihiasi dengan jeruk purut sebagai bahan utama, daun sirih, dan beragam bunga di dalamnya. Setiap sesi ritual selalu diiringi alunan musik tradisional Karo, yang melibatkan gong, kulcapi, sarune, mangkok Karo, dan gendang singanaki.
Ada banyak hal diadakannya Erpangir, seperti menyembuhkan penyakit, menolak bala, memohon sesuatu ataupun mengucapkan terima kasih kepada Tuhan (Dibata) untuk rahmat tertentu, seperti hasil panen yang melimpah atau hal-hal baik yang datang.
Pemandu ritual, Sopan Purba menjelaskan bahwa ritual Erpangir ini ditujukan untuk tolak bala, dengan meminta restu dan izin dari leluhur atau roh nenek moyang. “Jadi awal yang kita lakukan itu memanggil setiap ‘penghuni’ dari wilayah Debuk-debuk ini, sebagai bentuk penghormatan,” tuturnya.
Sebagai informasi, Pemena merupakan salah satu agama lokal dari Suku Karo, lebih akrab dikenal sebutan Parbegu. Masih banyak kini masyarakat yang beranggapan bahwa paham agama ini adalah pemuja setan. Sebab, kata ‘begu’ masa kini kerap dimaknai dengan ‘setan atau roh jahat’. Nyatanya, sebutan ini mengacu pada kepercayaan penduduk Karo terhadap arwah dan roh leluhur.
Salah satu jemaat Pemena, Komang Agus Aryawan mengungkap bahwa adapun roh leluhur itu dipanggil untuk menghormati para leluhur yang dipercaya senantiasa menjaga kampung itu. “Bukan kita memujanya, tapi menghargai para leluhur terdahulu yang telah menjaga alam semesta dan kampung,” tuturnya.
Saat ini, Komang resmi memeluk agama Hindu. Kendati demikian, ia teguh menjadi seorang Pemena sebagai hal yang tak terpisahkan di kehidupannya dan mengaku bahwa ajaran Pemena dan Hindu saling berkaitan. “Saat ini, kalau di Hindu itu zaman Kali, di mana manusia tidak dapat berkomunikasi dengan Tuhan yang tak dapat dilihat. Nah begu atau roh inilah perantaranya,” terang Komang.