Oleh: Tantry Ika Adriati
Ketukan pintu memecahkan rekaan kisah pendek dalam mimpiku. Saat mataku terbuka, potongan visual tadi belum sempat dimulai. Hanya epilog yang bahkan tak sedikitpun kuingat. Aku hanya tidur sekejap dan sudah dibangunkan oleh suara gertakan kayu yang tak mau berhenti itu. Aku menyerah dan memutar arah engselnya.
“Kukira Ibu kos yang menagih utang,” ujarku sedikit menguap. Aku mempersilakan tamuku masuk.
“Kau benar-benar tidur, kukira hanya bualanmu saja,” ia memulai pembicaraan.
Matanya membesar dan otot-otot pipinya kini menarik bibirnya ke atas. Aku yakin dia sedang
bahagia dan ingin berbagi cerita denganku.
“Kau tahu masalah KPU fakultas kita yang kemarin,” katanya spontan.
Ya aku tahu. KPU yang bekerja tak sesuai dengan aturan. Seenaknya membuka jalannya pencoblosan tanpa adanya saksi tiap kelompok aspirasi mahasiswa (KAM). Dan membuka jalannya penghitungan suara tanpa disetujui oleh seluruh saksi. Benar-benar memilukan.
Ia melanjutkan lagi gumamannya. “Salah satu calon gubernur menolak hasil penghitungan suara karena dianggap tidak sah.”
“Lalu?”
“Mereka akan memberikan surat petisi tentang kinerja KPU.”
Gadis yang terpaut beberapa bulan denganku itu kini mengambil tempat kosong di depanku. Ia duduk dan memberikan sehelai kertas. Di kertas itu dituliskan Hasanuddin dan kelompoknya yang menyusun poin demi poin tersebut diminta keterangannya oleh KPU. Tentu saja, mereka adalah pihak yang kalah dalam pemilihan umum kemarin.
Wajar saja kinerja KPU dianggap tidak baik, toh masalahnya di internal mereka. Hanya setengah dari anggota KPU yang benar-benar aktif menjalankan proses pemilu. Beban yang seharusnya ditanggung oleh lima belas orang dipikul oleh delapan orang. Memang tidak beres sejak awal.
“Sebenarnya apa titik permasalahannya?” tanyaku menyidik.
“Mereka tak membuat juklak dan juknis setelah terbentuk, seperti berlayar tanpa kapal,” ujar Silvi, nama gadis itu.
Juklak atau petunjuk pelaksana dan juknis atau petunjuk teknis sebenarnya aturan yang dibuat oleh KPU sebagai penyempurnaan dari Tata Laksana Ormawa (TLO) USU. Fungsinya mengatur kerja Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU, pema fakultas, KPU dan MPMU. Tapi sayang aturan untuk MPMU tak begitu mengikat sehingga kinerja pema jarang dikritisi dan dibetulkan oleh badan pengawas di USU ini.
Ah, lupakan masalah Pema USU, masalah pema di fakultasku saja belum selesai.
“Tapi memang kalau dari atasnya tidak baik maka ke bawahnya pun tinggal mengikut buruknya juga,” komentar Silvi sewaktu-waktu ketika kami membahas MPMF.
Memang benar kata Silvi, logikanya jika MPMU tak mengawasi kinerja pema universitas dan dibiarkan bertindak seenaknya maka pema fakultas pun juga akan bertindak sama tanpa dikomandoi dengan benar oleh Pema USU. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sama saja dengan kinerja MPR di Indonesia.
“Patutlah dia menuntut, dikiranya main-main pemilihan umum kita ini,” aku membuka suara.
Tampak Silvi mengangguk mengiyakan.
Permasalahan awalnya muncul karena adanya pihak independen yang mengintervensi jalannya penghitungan suara Kamis kemarin. Mereka menanyakan kesahan keputusan KPU
dengan memberikan suara sama banyak kepada dua KAM.
Sebab terjadi kesalahan dengan surat suara yang dibuat. “Kekhilafan dari kami,” ujar ketua KPU memberi keterangan. Sontak saja beberapa saksi yang hadir tidak terima. Mahasiswa butuh alasan yang logis dan pertanggungjawaban atas apa yang diperbuat. Itulah gunanya kita dididik di kampus.
“Jadi hasilnya siapa yang menang? Tetap Mitra?” tanyaku penasaran.
“Iya,” jawabnya mantap.
Tetapi terdengar jika tuntutan pihak independen dan Hasanuddin tidak diindahkan maka akan ada demo di fakultas kami beberapa hari lagi. Mereka menuntut diadakannya pemilu ulang sebagai akibat dari kinerja KPU yang buruk.
“Bisa saja kami mengira bahwa KPU membiarkan beberapa mahasiswa mencoblos dua kali atau lebih. Toh tidak ada tanda tinta biru di kelingkingnya,” begitu yang diucapkan Silvi meniru gaya bicara Hasanuddin.
Beberapa minggu ini memang Hasanuddin dan Mitra menjadi trending topic baik di fakultas maupun di universitas. Sudah seperti Prabowo dan Jokowi saja.
“Aku setuju jika dilakukan pemilu ulang,” tanggapnya.
“Karena Hasanuddin?” ujarku menggodanya.
Dia hanya tersenyum. “Dan juga pemikirannya,” ia menambahkan.
“Kalau aku tak setuju, buang-buang tenaga saja, toh hasilnya tetap sama.”
Mengadakan pemilu ulang sama halnya dengan menghabiskan uang mahasiswa dan menguras tenaga yang sudah habis karena pemilu sebelumnya. Pun nanti prosesnya tidak
semaksimal sebelumnya—walaupun belum bisa dikatakan maksimal—dengan waktu dua minggu sebelum ujian berakhir.
Lagipula fokus mahasiswa pasti akan terbelah karena beriiringan dengan ujian semester. Makin menurun jadinya jumlah pemilih di fakultas. Hasilnya tentu saja Mitra yang menang, karena di pemilu sebelumnya suara Hasanuddin kalah setengah dari suara Mitra. Tinggal menukar angka- angka saja nanti dengan kemenangan di tangan Mitra.
“Bukan hasilnya yang dilihat, tapi prosesnya, biar bisa jadi pembelajaran bagi penerusnya,” bantah Silvi.
“Itu juga kata kakanda Hasanuddin?” godaku lagi.
“Alasan kau juga sama dengan yang dikatakan kakanda Mitra,” aku terdiam. Kini ia mulai membalas gurauanku. Tidak sama seratus persen, tapi memang benar aku lebih setuju
dengan pendapat Mitra dan juga pendapatku sendiri. Yang terjadi sudah bisa dijadikan pembelajaran agar tidak diulang oleh penerus selanjutnya. Tak perlu menebus dosa dengan
melakukan hal yang sama dua kali dan dengan hasil yang sama pula.
“Tapi sama saja dengan membenarkan yang tidak benar. Kita yang harus jadi agen pengubahnya.”
Perkataan Silvi memang benar, tapi tidak bisa menjadi pilihan dengan kondisi seperti tadi. Toh lebih banyak buruknya daripada baiknya yang akan terjadi.
Silvi membantah lagi, “Kita memang harus menerima segala risiko untuk menjunjung kebenaran itu.”
Tapi tetap saja banyak yang harus dipertimbangkan mengenai pemilihan ulang ini. Aku hanya bergidik di dalam hati. Tak mau lagi berdebat dengan teman yang baru kukenal hampir setahun ini. Bisa-bisa tak tidur aku dibuatnya.
“Yang jelas presiden tetap Jokowi dan gubernur Fakuktas Hukum USU tetap Mitra,” ujarku menutup topik.
“Pilih presiden hanya satu, hanya Prabowo nomor satu, Ti, kalau gubernur ya seharusnya Hasanuddin,” ia menarik selimut di kasurku, pembicaraan kami berakhir dengan mempertahankan pendapat gubernur pilihan masing-masing.
Tetapi pada akhirnya semua berawal dari ketidakbecusan KPU dalam menjalankan tugasnya. Kalau tak ingin diintervensi, apalagi diintimidasi, kerjakanlah dulu tugas dengan benar, menurut aturan dan proses yang sebenarnya.
“Ngomong-ngomong, kau tidur di sini, Vi?” tanyaku sambil bergeser dari tempatku semula.
“Tentu saja, kau tak lihat tubuhku sudah dibalut wol begini.” Ia tersenyum menggodaku. Oke, kali ini aku yang kalah.
Setelah itu hanya terdengar suara napasnya. Kami tenggelam dengan lamunan masing-masing, dan aku ingin menyambung lagi visual yang sempat hadir dalam mimpiku tadi.