BOPM Wacana

Drama Komikal Hotel Grand Budapest

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Lazuardi Pratama

Judul : The Grand Budapest Hotel
Sutradara : Wes Anderson
Skenario : Wes Anderson dan Hugo Guinness
Pemain : Ralph Fiennes, F Murray Abraham, Adrien Brody, dan Tony Revolori
Tahun Rilis : 2014

Ini drama manajer hotel dan lobby boy-nya yang kena jebakan konspirasi.  Punya latar seram. Tapi, sangat komikal dengan visualisasi khas Wes Anderson.

Zero Moustafa dan Monsieur Gustave H mengobrol di kereta api menuju rumah duka Madame D. | Sumber Istimewa.
Zero Moustafa dan Monsieur Gustave H mengobrol di kereta api menuju rumah duka Madame D. | Sumber Istimewa.

Pada suatu hari di Republik Zubrowka, negara fiksi berlokasi di Pegunungan Alpen—mungkin seperti Austria, tinggallah Monsieur Gustave H (Ralph Fiennes). Di sana, ia mengelola sebuah hotel bernama The Grand Budapest. Ia bersedih, lebih tepatnya pura-pura bersedih sebab salah seorang tamunya Madame Céline Villeneuve Desgoffe und Taxis atau pendek saja: Madame D akan check out. Gustave dan Madame D rupanya punya hubungan dekat. Tapi agaknya Gustave lebih suka kekayaan Madame D.

Cerita bermula dari seorang gadis remaja yang mendekati monumen di pemakaman. Monumen itu merupakan memoir seseorang yang disebut ‘Author’. Seusai memberi penghormatan, ia mulai membaca sebuah buku berjudul ‘The Grand Budapest Hotel’. Adegan berlanjut ke tahun 1985 di mana si ‘Author’ mulai menceritakan kisah saat ia berkunjung ke hotel tersebut pada 1968.

Di hotel yang sepi tersebut, ia bertemu si pemilik hotel yang misterius. Di suatu malam, mereka berjanji untuk saling bercerita bagaimana si pemilik hotel mempunyai hotel ini. Si pemilik hotel pun bercerita—jadi hampir keseluruhan film adalah cerita yang diceritakan yang kemudian diceritakan kembali.

Zero Moustafa (F Murray Abraham, sementara Zero muda diperankan Tony Revolori) adalah nama si manajer hotel. Pada tahun 1932, ia adalah seorang lobby boy baru di Hotel Grand Budapest. Si pemilik hotel waktu itu, Gustave adalah ‘majikannya’. Sebenarnya dalam arti yang sebenarnya, sebab dalam segala aspek, Zero menjadi semacam asisten pribadi Gustave. Zero adalah korban perang, kini sebatang kara. Ia disiplin, loyal dan lugu.

Suatu ketika mereka mendengar kabar bahwa Madame D meninggal dunia secara misterius. Mendengar kabar itu, mereka lekas berangkat ke rumah Madame D. Di sana, betapa terkejutnya Gustave begitu mendengar harta paling berharga Madame D diwarisi kepadanya, sebuah lukisan berjudul Boy with Apple yang ia sebut-sebut tak terkira harganya.

Anak Madame D, Dmitri Desgoffe und Taxis (Adrien Brody) yang serakah, egois dan mirip vampir tak ingin itu terjadi. Maka ia membuat isu, bahwa Madame D telah mati diracun Gustave.

“Kriminal ini telah menjangkiti keluargaku selama hampir dua puluh tahun. Dia petualang kejam  dan seniman gila! Memangsa yang lemah mental dan wanita tua penyakitan! Dan dia mungkin juga meniduri mereka!” kata Dmitri pada orang-orang yang berkumpul di rumah duka.

“Aku sebenarnya meniduri semua teman-temanku,” bela Gustave. Lalu Dmitri yang kesal menonjok Gustave. Zero yang bingung karena Gustave ditonjok kemudian menonjok Dmitri dan Jopling, pembunuh sewaan Dmitri menonjok Zero.

Dmitri menginginkan lukisan itu dan Gustave dan Zero terpaksa harus meninggalkan hotel agar tidak diciduk polisi. Sementara itu, Jopling menghabisi semua yang terlibat. Jopling memenggal kepala milik kakak si saksi kunci dan meletakkannya di keranjang binatu. Jopling juga membunuh pengacara yang ogah diajak kerjasama dan meninggalkannya dengan kelima jari terputus akibat terjepit pintu.

Inilah The Grand Budapest Hotel, film ini lebih mirip rumah boneka yang dimainkan Wes Anderson. Si sutradara ini tetap sama seperti film yang ia tukangi sebelumnya, ada The Royal Tenenbaums (2001) dan Moonrise Kingdom (2012). Maksudnya adalah gaya khasnya dalam memanfaatkan fungsi film.

Gadis di awal film berjalan menuju monumen 'Author' di pemakaman. | Sumber Istimewa.
Gadis di awal film berjalan menuju monumen ‘Author’ di pemakaman. | Sumber Istimewa.

Gambar-gambar yang dihasilkan sangat dua dimensi, seperti buku bergambar. Anderson gemar dan menjadi ciri khasnya memakai latar yang simetris kanan dan kiri. Mata kamera juga tidak terlalu banyak bergerak, kalaupun bergerak, hanya sepanjang garis lurus, entah vertikal atau horizontal. Misalnya seperti pada awal film, gadis remaja itu berjalan menyusuri jalanan bersalju dengan latar nisan-nisan, sementara mata kamera mengikutinya berjalan secara horizontal.

Selain itu, Anderson juga sangat mengapresiasi warna. Ia membuat warna yang mentereng dan kontras antara warna latar dan warna kostum tokoh. Seperti warna ungu pada kostum yang dipakai pegawai hotel dengan warna kuning dinding hotel. Anderson sadar bahwa visualisasi yang ia buat membikin gambar jadi flat. Nah, warna berperan besar menonjolkan tokoh dari latar. Warna juga mencerminkan tabiat si tokoh, seperti Dmitri yang jahat berpakaian hitam dan Agatha, pacar Zero yang feminim berpakaian merah muda.

Film yang penuh tentang jahatnya konspirasi di tengah negeri yang dilanda perang ini semestinya dapat mengerikan. Sebab ia dekat dengan pembunuhan dan keserakahan. Namun yang terjadi justru komikal. Ralph Fiennes, aktor kawakan pemeran Gustave yang juga memerankan Voldemort dalam serial Harry Potter ini membuktikan kualitasnya. Ia melekat dalam Gustave dan lelucon-leluconnya yang tidak pada tempatnya, tapi tetap lucu sebab menetralisir teror.

Film ini merupakan komedi. Ibarat monyet emas yang berjoget di atas tanah kelabu, maka film ini wajib dinikmati sebagai pesan tersirat bahwa dari kengerian dapat diubah menjadi kesenangan.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4