Oleh Lazuardi Pratama
Sutradara: Ron Howard
Pemain: Cris Hemsworth, Daniel Brühl, Olivia Wilde
Tahun Rilis: 2013
Durasi: 122 menit
Drama selalu jadi gandengan terbaik oleh film yang mengangkat tema olahraga, sepak bola, basket, balap mobil. Hampir semuanya opera sabun, tapi tidak dengan Rush.
Ron Howard kembali merajut film dengan tangan emasnya. Setelah film-film tersohornya sebelum ini: A Beautiful Mind (2001) yang sukses mengantarkannya memenangi penghargaan Oscar sebagai sutradara terbaik, The Da Vinci Code (2006) yang kontroversial dan Angels & Demons (2009), kini ada Rush (2013).
Membawa bendera ‘based on true story’ memang tagline yang ampuh untuk menambah nilai kepuasan—tentu juga nilai penjualan—khalayak penonton. Cerita berdasar pada cerita nyata dalam film seperti ini banyak-banyak dipelintir menjadi fiksi seperti karya-karya lain pada umumnya, karena ini seputar olahraga dan sejarah masa lalu, dokumentasi yang masih bertahan jadi modal beberapa adegan. Misal, pernyataan komentator, adegan gerak mobil di atas sirkuit, pesta kemenangan di atas podium, dan skandal di luar sirkuit yang mendramatisir.
Langsung saja pada cerita, pada suatu hari di tahun 1970. Balapan formula tiga waktu itu masih seperti liga kampung, semua orang bebas masuk sirkuit, tidak ada formalitas dan peraturan ketat seperti sekarang, yang penting bendera start dikibarkan, balapan dimulai dan ada yang menang. Hari itu kedua pembalap yang nantinya akan menghebohkan sejarah formula satu memulai rivalitasnya.
James Hunt (Cris Hemsworth) dan Niki Lauda (Daniel Brühl) adalah pelakunya. Mereka sama-sama darah muda, tapi Hunt-lah yang paling kurang ajar. Ia suka main wanita, mabuk-mabukan dan gemar menghina Lauda. Di sisi lain, bagai langit dan bumi, Lauda adalah pria penuh perhitungan, selalu berhati-hati di setiap apa yang ia lakukan, serta kaku. Di pikirannya hanyalah menjadi tenar dengan balap mobil.
Namun secara tidak langsung, keduanya bergantung satu sama lainnya. Lauda dan Hunt rela melakukan apa pun agar mampu unggul dari pesaingnya. Lauda begitu jenius terhadap mobil dan caranya berkendara. Semua itu dilakukannya agar dapat kalahkan Hunt. Hunt juga demikian, ia pertaruhkan jiwanya di sirkuit dengan berkendara agresif agar dapat melewati Lauda. “Karena itu teman-temannya memanggilnya: Hunt si penyolong,” ujar komentator dengan berapi-api setelah melihat Hunt dengan gesit dan kasar melewati lawannya.
Mereka punya keunggulan dan kelemahan, tapi mari kita tinggalkan ketegangan ketika mobil saling menyalip dengan kecepatan tinggi dengan sudut pengambilan kamera yang cerdas dan pas menangkap gambar-gambar bertensi tinggi dari balapan formula satu.
Hidup manusia—apalagi mereka yang masuk kriteria populer—naik turun seperti pelana kuda, maka di situlah ada drama. Drama dalam Rush juga tidak main-main, semuanya disusun berdasarkan dokumentasi-dokumentasi sejarah: keterpurukan karier dan skandal. Akibatnya, beberapa adegan jadi terkesan terpotong-potong dan kurang lembut peralihannya, seperti ketika Hunt tiba-tiba saja menikah padahal tensi film sedang berpihak pada rivalitasnya dengan Lauda.
Cris Hemsworth diceritakan pernah dalam kondisi ‘turun’, yakni ketika ia kehilangan manajer sekaligus mobilnya karena kekurangan dana. Lewat teman-temannya, ia melihat dari jauh ketika Lauda berjaya melibas semua pembalap dengan mobil barunya Ferari dan berhasil meraih tropi formula satu pada tahun 1975. Tapi kemudian, Hunt berhasil kembali ke sirkuit formula satu dengan mengamankan posisinya di balik kemudi mobil McLaren.
Balapan formula satu tahun 1976 berlangsung sengit. Lauda dengan Ferari-nya unggul beberapa kali, tapi Hunt dengan McLarennya tak mau kalah. Sempat menang di Grand Prix Spanyol, ia akhirnya kena diskualifikasi karena mobilnya melanggar peraturan. Sementara Lauda mendominasi dan mengumpulkan poin, Hunt terseok-seok di belakang Lauda karena mobilnya beberapa kali mengalami kerusakan mesin. Hunt depresi di balik kemenangan Lauda, apalagi mendengar berita istrinya Suzy Miller (Olivia Wilde) main tikung dengan pria lain. Mereka bercerai, tapi Hunt berhasil dapatkan kembali semangatnya bertanding.
Hunt bangkit dari keterpurukannya, kini Lauda yang balik jatuh. Lewat Grand Prix Jerman yang hujan deras dan trek yang berbahaya—Lauda sempat mengajukan protes untuk menunda balapan—Lauda mengalami kecelakaan fatal. Ia luka parah dan memaksanya untuk absen di beberapa balapan, sementara itu Hunt berjaya dan sedikit demi sedikit mengumpulkan poin mengejar Lauda.
Karena ini berdasar kisah nyata, maka Ron tak perlu lagi pusing tujuh keliling memikirkan bagaimana akhir film dieksekusi. Penonton, khususnya penggemar balapan formula satu yang tahu sejarah cerita ini tentunya tahu apa cerita selanjutnya. Tapi, Ron cemerlang. Ia mengganti ketergangungan penonton akan akhir cerita dengan tensi tinggi dan cepat, secepat mobil-mobil di atas lintasan. Menontonnya akan seperti menonton film horor, tangan akan terkepal seiring gambar yang berganti-ganti dengan cepat, menunggu mobil siapa yang akan terlempar ke luar lintasan.
Selain itu, yang patut dipuji adalah olah peran Daniel Brühl. Aktor Jerman yang hampir semua penghargaan yang ia terima adalah Best Actor ini mampu mengalihkan perhatian penonton dari Cris Hemsworth. Di samping kemiripan rupa Brühl dengan Niki Lauda, ia hampir mendekati sempurna memerankan Lauda. Sedangkan Cris Hemsworth, dapat ditebak kehadirannya untuk mendongkrak angka penjualan, penggemar film Hollywood mana yang tak kenal dia? Memang, ia juga mirip James Hunt, tapi kali ini ia harus rela karena Brühl lebih memesona.
Akhirnya, seperti yang tersebut di atas. Rush bukan menggandeng drama murahan. Rush belajar dari film-film olahraga yang mengangkat drama sebelum-sebelumnya, sepak bola dengan trilogi Goal! yang sukses karena protagonisnya klub sepak bola tersohor dari ibukota Spanyol sana Basket? Tak perlu lagi disebutkan film-film binatang yang piawai main basket khas negeri Paman Sam sana.