Oleh: Nurmazaya Hardika Putri
Seorang anak laki-laki berlari di depanku. Di punggungnya tergantung sebuah tas bergambar tokoh pahlawan dalam serial kartun. Sepatunya berukuran kecil dan berwarna biru. Sebuah botol minum ia kalungkan di lehernya. Tangannya membawa kotak berisi bekal dari rumah. Matanya berbinar karena ini hari pertama sekolah. Setelah itu aku tidak melihat apa-apa lagi. Anak itu melintas begitu saja.
Aku sedang menunggu Sarah, teman SMA yang masih mengikuti mata kuliah ganti di kampusnya. Dua hari yang lalu dia berjanji akan menemaniku ke perpustakaan yang ada di pusat kota. Jadi sore ini aku datang ke kosnya untuk menagih janji.
Seperti biasa setiap kali aku ke sini, aku melihat Bu Rita berjalan terpincang melewati kos Sarah menuju rumahnya. Enam bulan yang lalu ia baru saja mengalami kecelakaan. Kaki sebelah kirinya mati fungsi. Daripada diamputasi, Bu Rita memilih tetap begitu saja. Kali ini ia tidak membawa beberapa peralatan masak untuk berdagang gorengan di depan gang. Ia justru membawa belanjaan dari pasar. Kuhampiri ia dan kubantu membawa belanjaannya menuju rumah.
“Terima kasih, Gendis,” katanya ketika kami sudah sampai di rumah yang sederhana untuk seorang pemiliki kos-kosan empat pintu. Tentu ini kali pertama aku menginjak rumahnya. Ia mempersilakanku untuk duduk lalu menghidangkan secangkir teh untukku. Kupikir tidak masalah jika bertamu sesekali sambil menunggu Sarah.
Aku suka cara Bu Rita menghadapi kenyataan. Hidup akan penuh dengan cerita masa lalu. Tidak ada sejarah yang buruk meskipun kau tidak selalu beruntung bersama masa lalumu, katanya. Aku terenyuh.
Seorang anak laki-laki berjalan di depanku. Tubuhnya berlumuran darah. Ia menangis. Air matanya darah. Di sela-sela kukunya mengalir cairan merah segar, darah. Keningnya yang setengah hancur juga berdarah. Kakinya terseret melewati halaman sebuah rumah hingga halaman rumah itu dipenuhi oleh darah.
Sebab itulah kakinya terasa berat menyeret segala beban yang bergelantung di kakinya. Anak laki-laki yang malang dan kotor. Anak laki-laki yang terlihat dalam penerawanganku waktu itu tapi entah kapan dan entah di mana. Aku tak kenal tapi rasanya pernah melihatnya di luar mimpi.
Aku mulai terbiasa merasakan hal seperti ini meskipun aku tidak mengerti sepenuhnya. Hanya terkadang membuatku takut dan penasaran di saat yang bersamaan. Yah, awalnya aku mengalami demam tinggi setelah bermain di rumah tua yang sudah lama tak ditempati. Seluruh tubuhku menggigil. Itu terjadi ketika usiaku sepuluh tahun. Banyak spekulasi mistis untuk mengomentari sakitku. Tapi, toh semua sudah berlalu. Sekarang aku menganggap semua ini hanya mimpi tanpa tidur.
Aku ingat hari itu lagi. Bukan, bukan hari di mana aku sakit. Aku berhenti berjalan sejenak. Kepalaku terasa sakit. Ini diawali saat aku mulai merasakan hal aneh yang akan terjadi di jalan itu. Yang terlintas di otakku hanya seorang anak laki-laki bersepatu biru. Sebuah tas bergambar tokoh pahlawan dalam serial kartun menempel di punggungnya. Sebuah botol minum ia kalungkan di lehernya. Di tangannya terlihat sebuah kotak bekal yang ia bawa dari rumah.
Sebuah truk pembawa pasir melintas kencang dari arah berlawanan. Suara klaksonnya pun nyaring terdengar hingga membuat pekak. Anak itu tak peduli. Tidak mungkin ia tak dengar suara klakson itu. Aku saja yang berjarak tiga puluh meter dapat mendengar bunyi yang memekakkan telinga itu.
Jaraknya semakin dekat. Decitan rem terdengar tapi tak cukup jauh untuk menghindarkan jarak dengan anak malang itu. Saat ia melintas bagian depan truk tersebut sudah menempel di tubuhnya. Ia terpental. Aku mengerang sakit di bagian kepala. Lalu semua terasa gelap.
Butuh beberapa detik untuk membuka mata dan kembali normal. Semua terlihat biasa. Tidak ada truk pasir dan tidak ada pemuda kecil yang berdarah. Penjaga warung sekitar juga katakan tidak ada apa-apa.
“Kecelakaan apa, Dek? Tidak ada tuh,” katanya.
Kuhapus semua pikiran itu dan kembali menapaki trotoar lagi. Tapi tiba-tiba kepalaku sakit lagi. Tubuhku nyaris mati rasa. Aku memejam sebentar dan semua terasa gelap. Kucoba kembali membuka mata dan aku lihat seorang anak laki-laki bersepatu biru. Sebuah tas bergambar tokoh pahlawan dalam serial kartun menempel di punggungnya. Sebuah botol minum ia kalungkan di lehernya. Di tangannya terlihat sebuah kotak bekal yang ia bawa dari rumah.
Sebuah truk pembawa pasir melintas kencang dari arah berlawanan. Suara klaksonnya pun nyaring terdengar hingga membuat pekak. Anak itu tak peduli. Aku teringat akan dimensi beberapa detik lalu. Yah, anak kecil itu tertabrak. Tak ingin terulang lagi, aku menjerit.
“Dek, awas!” ia tak mendengar teriakan pertamaku.
“Hei, awas! Ada mobil!” lagi, ia acuh.
Seorang berjubah hitam sedang menutup telinganya. Pantas anak itu tak dengar. Tapi aku tak diam. Aku berusaha berlari ke tengah jalan. Belum sempat meraih tangan anak itu, segalanya gelap lagi. Kepalaku sakit lagi, pandanganku seperti hilang cahaya. Seiring aku membuka mata, kudapati diriku terduduk di pinggir jalan bersama seorang ibu.
“Bunuh diri itu tak baik, Nak,” katanya sambil mengelus bahuku. Aku linglung. Aku ingin menjawab tapi ibu itu memperingatiku agar tak mengulangi seolah aku benar ingin bunuh diri.
Tidak ingin lalai menepati janji, aku mulai mempercepat langkah dan melupakan kejadian barusan. Tapi seperti dugaan, kepalaku sakit lagi. Mulai lagi gelap dan bayangan anak laki-laki itu muncul kembali.
Sebuah truk pembawa pasir melintas kencang dari arah berlawanan. Suara klaksonnya pun nyaring terdengar hingga membuat pekak. Anak itu tak peduli. Kali ini tak ada seseorang berjubah hitam itu lagi. Anak itu masih tak mendengar.
Jaraknya semakin dekat. Decitan rem terdengar tapi tak cukup jauh untuk menghindarkan jarak dengan anak malang itu. Saat ia melintas dan berada di tengah jalan bagian depan truk tersebut sudah menempel di tubuhnya. Ia terpental sejauh empat meter. Seperti dua bayangan sebelumnya.
Aku menunggu kepalaku sakit lagi, pandanganku kabur lagi, tapi tak jua datang. Semua orang mulai berdatangan mengerumuni anak itu. Kupukul kepalaku namun sakit itu tetap tak datang. Sekuat tenaga kuyakini ini hanya halusinasi. Namun ternyata aku salah. Aku saat itu belum mampu memahami senjataku sendiri. Sungguh aku menyesal.
*
“Gendis, kenapa kau melamun?” suara Bu Rita membuyarkan lamunanku. Aku semakin merasa bersalah di hadapannya sekarang. Kenapa pemuda kecil itu tak bisa kucegah sebelum ia mati.
Dari dalam aku bisa melihat Sarah berjalan menuju kamar kosnya. Aku teringat kembali oleh janji pergi ke toko buku. Maka kuputuskan untuk berpamitan dengan Bu Rita.
Seorang anak laki-laki tubuhnya berlumuran darah. Ia menangis. Air matanya darah. Di sela-sela kukunya mengalir cairan berwarna merah segar, darah. Keningnya yang setengah hancur juga berdarah. Kakinya terseret melewati halaman sebuah rumah, pun darah. Hingga halaman rumah itu dipenuhi oleh darah.
Anak itu sedang berjalan menuju rumahnya. Ia berjalan masuk ke rumah Bu Rita.