Oleh: Sagitarius Marbun
Jika waktu bisa membuat cinta tumbuh, mungkin waktu pulalah yang membuat cintanya pudar.
“Perihal waktu,” katanya waktu aku terang-terangan menolak pernyataan cintanya.
“Kau juga akan merasakan hal yang sama denganku. Ini hanya masalah waktu,” katanya sekali lagi meyakinkanku.
“Tolong beri aku waktu, jika benar waktu bisa memberi cinta di antara kita,” kataku akhirnya setelah satu jam ia menatap langit-langit tanpa berkedip. Ia menarik nafas lega. Air matanya surut tumpah. Lalu ia pulang dengan cengir yang tak habis-habis. Mengucap salam yang sangat manis seperti biasanya.
Aku mengantarnya dengan tatapan iba. Apakah aku jahat? Mengapa aku mengundur waktu untuk jawaban yang sudah pasti. Jika diberi waktu 1000 tahun pun rasanya cinta itu tak akan pernah tumbuh. Ia memang baik. Ia memberi semua perhatian yang membuatku benar-benar nyaman berteman dengannya. Tapi perasaanku ini tak lebih dari perasaan sebagai teman.
Rasanya sama saja dengan perasaanku ke teman-teman lainnya. Aku harus bagaimana?
Sedari awal, ia memang monyet yang baik. Seminggu setelah penyataannya cintanya itu, badai kelaparan menimpa Halimunda. Tidak ada tumbuhan apapun yang bisa di makan kecuali daun-daun meranggas yang rasanya pahit dan kering itu. Lalu ia dengan jiwa kelelakian yang sejati datang membawa setandan pisang.
Dadanya yang ringkih akibat kemarau panjang sebisa mungkin dibusungkannya. Ia mencuri pisang dari ladang pak Tirta. Ladang yang berpuluh-puluh kilo meter dari belantara kami. Jauh ke pemukiman manusia. Mempertaruhkan nyawanya demi setandan pisang, demi perutku yang kelaparan.
Ia memberi semua hasil curiannya padaku. Ia duduk di depan kakiku. Memerhatikanku yang makan pisang hampir busuk ini dengan lahap dan ludahnya yang tak henti-henti ditelannya. Perutnya bernyanyi dengan ribut. Kusodorkan sebuah pisang terbaik dari semua hasil curiannya, ia menggeleng.
“Aku tak lapar,” katanya menolak, namun sedetik kemudian perutnya kembali bernyanyi dengan riangnya. Ia tertawa.
Mungkin karena kebaikannya itulah yang membuatku meleleh seperti lilin. Aku mengaku salah. Benar katanya, cinta bisa datang seiring waktu berjalan. Ia datang seperti pencuri.
Mencuri perasaanku dan jati diriku. Aku bahkan tak lagi mengenali diriku semenjak dengannya. Diam-diam aku bertanya, apakah ini hal yang wajar sebagai balasan untuk segala kebaikannya? Apakah perasaanku ini bisa disebut cinta?
Sama hal dengannya, aku juga memberi semua yang kupunya untuknya. Tak usah tanya berapa kali ia memakaiku dalam semalam. Jika ia jatuh tidur kecapaian pada malam harinya, pada pagi hari sebelum ayam menggagahi bumi ia akan bangkit dan melakukan ritualnya. Hal yang tidak aku tahu sebelumnya, ia sangat rakus pada tubuhku. Bukan. Bukan . Ia tak hanya rakus pada tubuhku saja. Tapi pada semua hal yang kupunya.
Baiklah, sedikit kujelaskan awal pertemuan kami. Ia adalah monyet muda yang mendatangi Halimunda tiga bulan yang lalu. Hutan kecil kami yang sunyi ini pun begitu semarak dengan simpati yang tak tanggung-tanggung. Ia mengumbar syukur di depan semua monyet di Halimunda bahwa ia telah menemukan Halimunda di waktu yang tepat.
Halimunda hutan yang rindang, penuh pohon tinggi adalah persembunyian aman dari pandangan para pemburu yang mengejarnya setelah lepas dari cengkraman Pak Tani. “Sudah jatuh tertimpa tangga,” kata Uwa tetua Halimunda yang menyambutnya dengan baik. “Namun Ibu Bumi sayang padamu. Tak dibiarkannya maut sejengkal pun dari pangkal ekormu.” Ia pun menjadi bahan elu-eluan di Halimunda. Namanya seketika besar.
Sedari dulu ia adalah petualang hebat sebagaimana ia bercerita, kejadian beberapa hari lalu bukanlah yang pertama. Menjadi dongeng seru meski berkali-kali diulang dengan cara yang sama dan entah mengapa semua monyet tetap saja terkesima dan ingin mendengarnya lagi dan lagi.
Tidak ada yang lebih membanggakan dari padanya kecuali cerita-cerita petualangan yang ia punya. Entah nyata atau tidak, bagi kami warga Halimunda itu tidak penting, kami hanya butuh cerita yang menggetarkan hati. Berbekal cerita petualangan itu pula, ia tak perlu lagi mencuri ke ladang-ladang petani karena secara tidak langsung orang-orang yang mendengar ceritanya datang dengan seserahan masing-masing entah dengan ikhlas atau dalam keadaan lapar sekalipun.
Namun itu hanya kenangan di masa muda. Masa tua sudah datang. Kelihaiannya olahraga malam tidak menghindarinya dari pinggang encok yang membuatnya sepanjang hari tidak melakukan apa-apa. Ia sungguh tidak sadar, sudah tiba saatnya orang-orang bosan dengan ceracaunya. Tidak ada lagi makan jika hanya duduk bermodal mulut berbuih.
Seseorang pernah mengatakan padaku, sesuatu yang tidak tulus tidak akan kekal. Jadi ku maklumi saja, jika perasaanku kembali tawar. Aku jatuh cinta hanya karena kebaikannya, jika kebaikannya hilang, itu pulalah yang membuat cintaku turut menghilang.
Jika aku manusia, aku akan menalaknya dengan peraturan. Sungguh tidak enak hidup tanpa peraturan. Bukankah berat hidup diatur bukan dengan peraturan. Jika ada peraturan, jelas aku bisa menuntutnya telah menelantarkan istrinya. Tidak menafkahi baik roh apalagi batin.
Sialnya, ia masih mengumbar cinta namun terkesan sebatas uap arak di ujung nafasnya. Kebaikan dan cintanya hanya untuk sebuah kepentingan. Ia bermain cukup lihai. Di awal pernikahan ia menjarah tubuhku, lalu sekarang ia menjarah seluruh kepunyaanku. Tanah Halimunda perlahan dikuasainya. Namanya menjadi harum berkat nama keluargaku lalu dengan mudah menguasai segalanya. Di masa panen pisang, ia tak lagi memberiku buah terbaik, bahkan kerap tak membawa apa-apa ke rumah. Mungkin saja ia menghabiskannya sendiri di hutan atau bisa jadi ia mengantarnya ke bilik perempuan lain, hal yang sama ia lakukan padaku dahulu. Semua itu bisa saja terjadi.
Ia monyet pemalas. Namun mulutnya bekerja sangat keras. Aku tidak tahu sejak kapan ia mengganti penampilannya. Ia kini kelihatan memakai aksesoris baru di tubuhnya, mirip pejabat yang secara tidak sengaja terlihat di televisi milik petani. Lengkap dengan dasi dan jas hitam dengan lipatan yang tegas, nampak setrika baru mondar mandir di atasnya.
Kini kusadari, aku tidak punya hak lagi atas tanah warisan yang bapak berikan, begitu juga monyet-monyet di Halimunda. Jika ia mendapatkan tanahku dengan menjadi suamiku, maka ia mendapatkan tanah-tanah Halimunda lainnya dengan ceritanya. Warga Halimunda tidak sadar, ada pertanyaan yang hanya membutuhkan kata “Ya” sebelum ia memulai cerita. Yaitu imbalan berupa tanah. Cerita pemburu dan arit yang hampir menebas leher adalah karangan fiktif untuk menumbuhkan simpati.
Halimunda yang arif dan bestari sudah sampai di masa tuanya. Diperlukan renovasi baru, namun bukan pohon yang tinggi melainkan besi dan batu bata yang sebisa mungkin mencakar langit. Kulihat monyetku duduk di atas kondektur yang menginstruksikan alat berat menumbang pohon rumah terakhir kami. Kudengar ia jatuh cinta pada seekor komodo, maka ia menciptakan sabana di atas akar pohon tropis.
Masalahnya kami orang kecil. Meski leluhur kami memiliki paten atas Halimunda, namun ia telah mensertifikasinya terlebih dahulu. Dengan kesadaran atau tidaknya kami memberikan tanah itu. Aku melihat diriku di masa lalu pada diri komodo yang seksi itu.