Oleh Guster CP Sihombing
Judul Buku: Wiji Thukul, Teka-teki Orang Hilang (Seri Buku Tempo Prahara-prahara Orde Baru)
Penulis: Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Tempo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman: 160
Puisinya abadi dan menjadi teriakan wajib para demonstran; hanya ada satu kata: LAWAN!
Ini adalah sebuah catatan kaki mengenai sejarah reformasi Indonesia. Kenapa saya katakan sebuah catatan kaki? Karna Thukul, begitu ia disapa, bukanlah jenderal atau petinggi partai pelopor reformasi. Ia hanya satu dari sekian banyak ‘pejuang’ yang hilang saat orde baru berkuasa.
Dia lahir dari keluarga penarik becak. Berhenti sekolah untuk bekerja agar adik-adiknya bisa melanjutkan studi. Ia sendiri menggelandang, mendirikan grup teater, mengamen puisi ke kampung dan kota-kota, lalu menabalkan diri sebagai aktivis pembela buruh. Namanya ada di barisan demonstran Kedungombo, Sritex, dan sejumlah demonstrasi besar di Solo. Setelah masuk Partai Rakyat Demokratik, ia hijrah ke Jakarta menjelang reformasi 1998. Ia hilang tak tentu rimba.
Sebenarnya, hilangnya Thukul terlambat untuk disadari. Setelah penguasa orde baru jatuh dan para aktivis bangkit dari persembunyiannya, ia tetap hilang. Keluarga menyangka ia disembunyikan oleh partainya (Partai Rakyat Demokratik), sedang partai mengira ia disembunyikan pihak keluarganya. Pencarian di kemudian hari dilakukan oleh Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia.
Sipon atau Siti Dyah Surijah, istri Thukul awalnya masih yakin bahwa suaminya akan pulang. Namun, hingga tahun 2000 suaminya tak kunjung pulang. Kemudian, ia melapor ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di tahun itu. Namun, pencarian tak menghasilkan apa-apa. Ia masih dinyatakan hilang sampai sekarang.
Majalah Tempo menceritakan kisah Thukul bukan karena ia spesial. Tapi, karena Majalah Tempo sebagai sebuah media tentu memiliki kebutuhan dalam pemilihan angle, juga kesetiaan pada fokus dan zoom-in pada sebuah permasalahan yang lebih besar, yakni kezaliman orde baru pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Menurut saya, buku ini sudah terlambat diterbitkan. Mengingat MajalahTempo edisi khusus 13 Mei 2013 telah memuat pemberitaan Wiji Thukul pada laporan khususnya. Beberapa bab buku ini persis dengan versi majalahnya. Hanya saja ada beberapa bab tambahan yang dimasukkan pada Seri Buku Tempo, Prahara-Prahara Orde Baru ini.
Penulisan narasi yang menjadi andalan Majalah Tempo juga terasa pada buku ini. Mirip gaya penulisannya dengan seri-seri buku Tempo yang lain. Sebut saja Seri Buku Tempo Empat Pendiri Bangsa. Meskipun sebenarnya ini adalah berita, namun penulis mampu menyajikan berita yang gampang dicerna dengan bahasa yang tak kaku.
Selain ada beberapa bab yang sama dengan versi majalah, ada juga beberapa informasi yang mengalami repetisi di beberapa babnya. Misalnya, pada bab yang berjudul Pertemuan Terakhir di Parangtritisdan bab yang berjudul Biji yang Tumbuh dari Kor Kapel. Di kedua bab itu sama-sama menjelaskan nama asli Wiji Thukul yang sebenarnya adalah Wiji Widodo. Begitu juga dengan cerita persembunyiannya ke banyak kota di Indonesia.
Terlepas dari kesamaan buku ini dan versi majalahnya, tetap saja yang penting kita ketahui adalah pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintahan pada zaman orde baru. Bagaimana bisa Indonesia sebagai sebuah negara yang seharusnya tempat untuk memfasilitasi warganya dengan kenyamanan hidup malah melakukan pelanggaran pada mereka. Majalah Tempo sebagai sebuah media melalui buku ini menjadi saksi Indonesia, sebuah negara besar yang sering melupakan ‘catatan kaki’ sejarahnya.