Oleh: Sagitarius Marbun
“Sebijak apapun manusia akan terlihat meyedihkan jika berurusan dengan cinta dan kerinduan.”
Matahari tepat di atas ubun-ubun ketika seekor anjing itu melewati jalan setapak berbatu. Ia ingin ke sebuah Negeri Antah Berantah yang dipimpin seorang ratu cantik yang dahulunya sakit karena kehilangan kain peninggalan ibundanya.
Ia ingin bertemu Lelaki Tua yang Buta. Lelaki Tua yang Buta itu termasyur sebagai penasihat yang petuahnya selalu tepat. Ia ingin meminta petunjuk, ingin tahu di mana mencari istrinya yang hilang beberapa tahun lalu akibat malu.
Akibat kemiskinan. Akibat ketidakbecusannya sebagai suami. Istrinya menghilang dari rumah ketika bulan bulat purnama menggantung di atap pohon kelapa. Ketika orang-orang tak menemukan sejumput pun garam di rumahnya.
***
Jalan-jalan panjang telah dilalui Maneka. Perempuan ayu yang keayuannya dikikis habis kemiskinan. Rasa-rasanya ia telah dikutuk menjadi miskin seumur hidupnya. Dari kandungan ia sudah miskin. Ibunya hanya mampu makan nasi berlauk garam dicampur air. Itu menyebabkan ketika lahir banyak taik mata di kedua matanya yang belum terbuka.
Baru ketika seorang lelaki yang tak jauh miskinnya melamar Maneka. Dengan tampang sok jagoan yang tak cocok, yang membuat perih hati, yang membuat niat untuk ketawa menjadi kecut. Lelaki Miskin itu bersumpah di depan orang tua Maneka akan memberi Maneka makan nasi setiap hari.
Maneka memang makan nasi setiap hari. Tapi itu bukan karena suaminya. penghasilan Lelaki Miskin itu setiap hari hanya cukup membeli seekor ikan asin. Jika ditukar dengan beras, hanya dapat sejumput. Tak akan pernah cukup untuk mereka berdua. Tapi mereka makan nasi setiap hari. Lelaki Miskin itu berbangga diri setiap hari pada istrinya.
“Manekaku kenapa lauk kita ikan asin melulu?”
“Tidak apa Bang, supaya besok bisa makan daging,” jawab Maneka membesarkan hati Lelaki Miskin itu. Jelas, mereka bisa makan daging jika setengah tahun tidak makan pakai lauk.
Tidak ada yang tahu. Maneka memperoleh beras dari sebuah cangkir yang diberikan pamannya ketika ia kawin dengan Lelaki Miskin itu.
Pamannya ini sangat mengharapkan Maneka dahulunya berjodoh dengan anaknya. Tapi jodoh Maneka ada di tangan orang tua Maneka.
Maneka tak bisa berbuat apa-apa. Pamannya apalagi.
Maneka tak pernah mengeluh, sepanjang hidupnya yang memang didera kemiskinan. Hingga suatu hari, Lelaki Miskin yang tak sadar miskin itu bertanya hal serupa setiap malam.
“Kau sudah mengatakan hal itu sejak sepuluh tahun yang lalu. Kau bilang besok. Besok. Besok. Mana? Mana Maneka?” Lelaki Miskin itu marah. Urat-urat di wajahnya sampai keluar. Tak ada lagi kelembutan. Tak adalagi sebutan Ku seperti biasanya di nama Maneka.
Maneka hanya bisa menangis. Ia tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya pada Lelaki Miskin itu. Ia takut Lelaki Miskin itu merasa gagal sebagai suami. Lelaki Miskin itu pun ikut menangis, tangis Maneka begitu sendu di hatinya. Sepanjang pernikahan mereka, baru kali ini Maneka menangis.
Tubuh lelaki itu bergetar. Rumahnya bergetar. Dunia bergetar. Tangisannya sungguh menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Sang Nasib yang tertidur ratusan tahun di bawah pohon besar di ujung kampung miskin pun ikut menangis. Ia hanyut pada kesedihan yang entah apa menimpanya.
Tibalah ia di rumah Lelaki Miskin. Tangisnya pecah melihat keadaan Lelaki Miskin itu dengan istrinya yang cantik. Dari sudut pandang kewarasannya, ia kasihan pada Maneka. Sangat tidak cocok.
Dari cerita Lelaki Miskin itu, tahulah Sang Nasib sebab penyebab kepiluan yang terjadi. Ia memberikan sebuah cangkir kepada Lelaki Miskin itu. Cangkir yang cantik. Antik. Yang mampu mengubah air mata menjadi mutiara.
Lelaki miskin itu senang bukan kepalang. Ia sangat bahagia, mengingat tak akan ada lagi ikan asin di makan malamnya. Tak akan adalagi kesusahan. Ia sungguh-sungguh kalap kebahagiaan. Tapi selama ia tak menangis, ia takkan memperoleh kekayaan. Ia harus sedih. Ia harus menangis.
Ia mulai mengingat-ingat semua hal yang membuatnya sedih. Tapi tak satu pun hal yang bisa membuatnya menangis. Ia sudah kenyang akan penderitaan. Tak satu pun yang bisa membuatnya sedih apalagi menangis.
Lelaki miskin itu minta izin pada Maneka untuk mengembara. Untuk mencari tahu apa yang bisa membuat cangkir Sang Nasib mengeluarkan mutiara. Ia mengembara mencari kesedihan.
***
Sejak ditinggal sang suami, Maneka menjadi lirikan lelaki sekampung. Kecantikannya tak pernah luntur. Semua lelaki ingin mengambil Maneka sebagai istri. Namun, Maneka secara halus menghalau itu.
Kedatanganan lelaki-lelaki itu sungguh mengganggu perempuan-perempuan di kampung itu. Mereka menuduh Maneka telah merebut suami-suami mereka. Maneka harus diusir. Maneka sudah mengotori kampung.
Mereka lupa karena Manekalah mereka bisa tahu rasanya makan nasi. Satu kesalahan akan menguburkan sepuluh kebaikan yang dibuat.
Malam itu, bulat bulan purnama menggantung di atas pohon kelapa. Perempuan-perempuan kampung itu melakukan pengusiran. Obor dinyalakan lalu berbondong-bondong ke rumah Maneka. Maneka sedang merenungi suaminya pun terjaga. Ia lari dari pintu belakang.
Perempuan-perempuan itu tak menemukan Maneka di rumah. Tak ada apa-apa di rumah itu. Beras tak ada. Garam sejumput pun tak ada. Perempuan-perempuan kampung itu termenung. Maneka yang memberi mereka makan nasi selama ini sebenarnya tak punya apa-apa.
***
Lelaki Miskin itu telah berubah menjadi anjing. Ia akan menjadi manusia kembali jika ia bertemu istrinya, Maneka. Demikian dikatakan Perempuan Bergaun Sutra yang ditemuinya di lautan mayat.
Sebuah negeri yang terkena wabah. Mayat-mayat bertebaran di jalanan. Di tong sampah. Di hotel. Di mana-mana. Saking banyaknya kuburan tak sanggup menampung mayat-mayat itu.
Ia menjadi pemegang kutukan beruntun karena ia memiliki cangkir Sang Nasib. Kata Perempuan Bergaun Sutra, satu-satunya jalan untuk mencari jawaban dari cangkir yang bisa mengubah air mata menjadi mutiara itu adalah dengan menjadi anjing.
Pelajaran hidup pertama yang dilalui anjing itu adalah mencari jalan ke Negeri Antah Berantah dari tubuh mayat orang yang suci. Anjing itu mengendus. Kata perempuan itu pula, tubuh mayat yang suci akan mengeluarkan harum mawar biar pun mayatnya sudah busuk. Tapi ia tak boleh memakan mayat-mayat itu. Bagaimana pun ia tetap manusia. Manusia tak boleh memakan manusia.
Anjing itu terus mengendus. Mencongkel-congkel mayat-mayat itu dengan conggornya. Lalu mengendus lagi. Bagaimanapun, anjing tetaplah anjing. Anjing itu memakan mayat-mayat yang ditemukannya. Sampai habis.
***
Negeri Antah Berantah itu memang ditemukan anjing itu. Ia sungguh tak sabar ingin bertemu Lelaki Buta yang bisa memberinya petuah itu.
Anjing itu bertanya ke orang-orang yang dijumpainya di jalanan, tapi tak seorang pun pernah melihat Lelaki Tua yang Buta itu. Si anjing hampir putus asa.
Konon, negeri ini juga miskin. Tak ubahnya kampung si anjing. Tapi akhir-akhir ini berhasil menata hidupnya kembali dan telah berubah menjadi lebih baik ketika ratunya menemukan kainnya, ketika ratunya dapat tidur setelah seratus tahun tak pernah menutup mata.
Ladang-ladang sudah dibalik. Sawah-sawah ditanami padi. Bunga-bunga tumbuh di taman. Jalanan basah tapi tak becek. Langit biru. Udara sejuk. Dunia hidup kembali.
Konon, kain itu ditemukan seorang Lelaki Tua yang Buta. Matanya ia berikan kepada anak kecil yang menjadi elu-eluan orang-orang di desa tempatnya dahulu tinggal. Anak kecil itu dirasanya menjadi penolong untuk keluar dari desa yang penuh kesombongan itu. Ia dahulunya seorang yang termasyur akan nubuat. Ia bisa mengubah air menjadi anggur. Ia bisa menyembuhkan orang sakit. Ia bisa mengubah batu menjadi roti. Ia begitu dielu-elukan warga kampung. Ia menjadi sombong dan tak berperikemanusiaan.
Anak kecil itu buta. Ia tak sengaja menyenggol Lelaki Tua itu ketika mandi di sumur tua. Lelaki itu terjerembab dan mati. Kematian lelaki tua yang pongah itu tersebar kemana-mana. Secara tak formal mengangkat anak kecil itu sebagai pemangku kampung apalagi setelah beberapa hari setelah kematian lelaki tua, anak kecil itu bisa melihat. Konon pula, Ratu mengangkat Lelaki Tua yang Buta itu menjadi penasihat kerajaan. Tapi Lelaki Tua yang Buta itu menolak. Ia takut pongah lagi.
Ketika langit kemerahan, si anjing melihat Lelaki Tua yang Buta itu duduk melepas lelah di bawah pohon mahoni. Kilau sinar matahari menembus daun-daun mahoni dan menusuk daun-daun ilalang. Membuat pantulan kecil yang menyipitkan mata.
Anjing berlari ke arah Lelaki Tua yang Buta itu. Tanpa mengulur waktu menceritakan segala hal yang terjadi pada dirinya. Tentang cangkir Sang Nasib yang dapat mengubah air mata menjadi mutiara kelak membuatnya tak miskin lagi.
Tentang dirinya yang telah menjadi anjing setelah bertemu Perempuan Bergaun Sutra Pemetik Kecapi. Tentang istrinya yang pergi dari rumah ketika orang-orang tak menemukan sejumput pun garam di rumahnya. Tentang kesakitannya setiap malam yang panjang akibat rindu pada istrinya.
Lelaki Tua yang Buta itu menangis mendengar cerita sedih si anjing. Tubuhnya bergetar. Pohon mahoni di belakangnya ikut bergetar. Si anjing mencoba menenangkan lelaki Tua yang Buta itu tapi tak kunjung berhenti juga. Ia terus menangis.
Si anjing pergi meninggalkan Lelaki Tua yang Buta itu. Tahulah ia sekarang, sebijak dan sepandai apapun manusia akan cengeng dan menyedihkan juga jika mendengar perihal cinta dan kerinduan. Si anjing terus berjalan ke arah barat. Tubuhnya lamat-lamat di makan cahaya matahari yang kian merah.
Sebelum tubuh anjing itu benar-benar habis di makan matahari, Lelaki Tua Buta itu berbicara dalam tangisnya yang sesenggukan. Si anjing tak akan menemukan istrinya. Selamanya ia akan menjadi anjing sebab menjadi manusia ia teramat hina. Cangkir Sang Nasib tak lagi diperlukannya, sebab menjadi anjing ia sudah teramat kaya. Bumi telah memberinya kehidupan yang tak sudah-sudah.
Hal yang lewat diceritakan lelaki kesepian itu. Ada cangkir yang sama dengan milik Maneka tersangkut di punggung anjing itu. Nampaknya Lelaki Kesepian itu enggan kesepian lagi.