Oleh: Wan Ulfa Nur Zuhra
Emak,
Ku lempar pandangan pada hujan
Yang tumpah dari bubungan
Samar ku tatap
Onggokan beban di pundakmu
Menerobos hujan
Keringat berbaur dengan kuyubmu
Aromanya menyerbak di beranda itu
Tempat di mana kau rebahkan lelahmu
Ku tatap keriput wajahmu
Menempel indah di parasmu
Ingin ku rengkuh semua di pundakku
Biar ku lihat simpul manis senyummu
Sosok yang berjalan di dalam hujan
Patut sudah kau berhenti.
Puisi “Ironi” membuat semangat Cahaya Buah Hati bangkit. Dia mengalahkan puisi-puisi lain dan menjadi yang terbaik dalam Lomba Menulis Puisi Hari Ibu tahun 2008.
Cahaya sudah meninggalkan bangku SMA sejak 2002. Kemiskinan menghambat Cahaya mengenyam bangku kuliah. Masalah klasik di negeri ini.
Cahaya anak bungsu dari sembilan bersaudara, asal Labuhan Bilik, desa kecil di Rantau Parapat, Sumatera Utara. Awalnya, ia bernama Nurul Fuadi. Ketika hendak masuk sekolah dasar, orang tua Cahaya berpikir untuk mengganti namanya. Ada seorang pria di desa itu yang juga bernama Nurul Fuadi. Cahaya Buah Hati adalah arti dari Nurul Fuadi.
SD hingga SMP ia habiskan di Labuhan Bilik, lalu ia lanjutkan pendidikan di SMK Nurul Falah, Pekanbaru—mengambil jurusan akutansi. Ia menumpang di rumah kakak.
Usai menamatkan bangku SMK, Cahaya mengurungkan niat melanjutkan pendidikan karena tak mau memberatkan sang kakak. Enam tahun Cahaya bekerja sana-sini. Swalayan, toko buku, hingga toko ponsel. Tekad hanya satu, mengumpulkan uang untuk kuliah.
Ketika Cahaya bekerja di sebuah toko buku, tak jauh dari Universitas Islam Riau (UIR), dia sering bertemu mahasiswa. “Saya ingin seperti mereka,” katanya. Suatu hari, seorang pelanggan, Desi Somalia Gustina, berteriak keras di toko buku. Cerpen Desi dimuat di majalah Sabili. Dia senang. Desi memberitahu Cahaya kalau ia akan menerima Rp 300 ribu untuk satu cerpen itu.
“Jumlahnya sama dengan gajiku sebulan,” batin Cahaya.
Lalu, ia ceritakan pada Desi kalau ia juga suka menulis, bukan cerpen, tapi puisi. Desi sarankan Cahaya bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP). Cahaya ikuti saran Desi.
Mayoritas anggota FLP adalah mahasiswa. “Saya memperkenalkan diri sebagai penjaga toko buku. Saya tak merasa malu dengan itu,” ujar Cahaya. Pekerjaan sebagai penjaga toko buku membuat Cahaya baca setiap buku baru. “Pemilik toko suruh saya begitu, agar bisa mudah menjelaskan pada calon pembeli, agar mereka mau beli.”
“Sejak di FLP, saya bukan hanya suka, tapi kecanduan membaca,” tambahnya.
Suatu hari, Cahaya dapat informasi mengenai lomba menulis puisi memperingati Hari Ibu. Lomba itu diadakan oleh UKMI Al-Kahfi UIR, target peserta adalah mahasiswa. Cahaya kecewa.
Seorang teman yang melihat potensi Cahaya menghubungi panitia. Dengan sedikit negosiasi, Cahaya dibolehkan mengikuti lomba. Puisi berjudul Ironi menghantarkannya menjadi pemenang pertama.
Cahaya mulai percaya diri. Ia terus menulis puisi. Ia kirim puisi ke berbagai koran, Riau Pos, Batam Pos, hingga Analisa di Medan. Cahaya dapat tambahan uang jajan dari honor puisi-puisinya. Cahaya juga mulai menulis cerita pendek (cerpen). “ Tapi saya menulis cerpen kalau ada lomba saja,” katanya.
Akhir tahun 2008, seorang teman FLP memberitahu bahwa ada beasiswa untuk jurusan sastra Melayu di Universitas Lancang Kuning. Cahaya mendaftar, ikut tes dan lulus. Meski usia sudah menginjak 25 tahun, Cahaya merasa belum terlambat.