Oleh: Wan Ulfa Nur Zuhra
“Hanya satu permintaanku, jadikanlah hidupmu sebagai pelukis.”Kalimat itu diucapkan seorang gadis kepada Sayang Petrus Bangun ketika ia masih belajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kalimat yang membuat ia yakin untuk menjadi pelukis. Kalimat yang hingga sekarang masih ia kenang dengan manis.
10 Oktober 1952. Seorang bayi laki-laki lahir di Desa Batusanggehen, Sibolangit, Deli Serdang.. Bayi itu tak seperti bayi pada umumnya. Ia lahir tanpa kedua lengan. Bayi itu terus tumbuh menjadi remaja. Ia sekolah di sekolah umum, bukan di sekolah berkebutuhan khusus. Ia habiskan masa sekolah dasarnya di desa kelahirannya.
“Saya mampu mengikuti ritme anak-anak normal lainnya,” ujar Sayang, begitu ia akrab disapa.
Menginjak bangku SMP, Sayang dan keluarganya pindah ke Medan. Ia melanjutkan ke SMP Katolik Deli Murni, Deli Tua. Masa-masa SMP adalah masa yang selalu diingat Sayang, hingga sekarang.
Saat itu, tak seorang pun mau jadi teman sebangku Sayang. Hingga datang seorang gadis yang mengajaknya duduk sebangku. Gadis itu cukup disegani di kelasnya. “Mungkin karena ia anak orang kaya,” kata Sayang. Sejak berteman dekat dengan gadis itu, Sayang tak lagi dikucilkan. Tak ada lagi teman yang memandangnya rendah seperti sebelumnya.
“Aku ke toilet pun dia ikut dan nunggu di luar toilet.”
Pertemanan itu terus berlanjut sampai akhirnya mereka harus berpisah. Gadis itu melanjutkan Sekolah Menegah Atas (SMA) di Jakarta dan Sayang tetap di Medan. Di akhir pertemuan, Gadis itu memberi pesan yang sampai sekarang masih diingatnya.
“Kau ada bakat melukis yang kental. Jadikanlah hidupmu untuk menjadi pelukis. Aku akan ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah dan studi kedokteran, kalau Tuhan mengizinkan, aku nanti akan menjadi pendamping hidupmu. Hanya satu permintaanku, jadikanlah hidupmu sebagai pelukis.”
Sayang menemukan kepercayaan dirinya. Ia terus melukis.
Saat ini, prestasi Sayang di bidang lukisan tak diragukan—meski ia dalam keterbatasan. Ia Pernah mengadakan pameran tunggal di Medan dua kali. Keelokkan hasil lukisannya telah membawanya melanglang buana di Benua Amerika, Asia, dan Eropa. Ia pun tergabung dalam Assosiation of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA). Harga lukisan-lukisannya berkisar mulai dari Rp 10 juta.
Sayang telah menikah dan memiliki tiga anak. Ketiganya mengenyam bangku kuliah. Dua di Universitas Gadjah Mada, satu di USU.
“Hidup saya ya dari lukisan.”
Namun, ibu dari anak-anak Sayang bukanlah gadis SMP-nya. Sejak saat pertemuan mereka yang terakhir, Sayang tak lagi bertemu gadis itu. Ia tanya orang-orang, tapi tak ada yang tahu. Bahkan ada yang bilang, gadis itu sudah tiada.
“Tapi ia lengket dalam lukisanku,” ujar Sayang.