Oleh: Lazuardi Pratama dan Aulia Adam
Bullying di usia belia sering tak disadari dan segan untuk dilaporkan. Dampaknya yang sistemik mengilhami Sejiwa melawan kekerasan.
AZ—inisial—adalah salah satu siswa sekolah swasta bernuansa Islam di Jakarta. Dia siswa akselerasi, maka usianya terpaut lebih muda dari teman-temannya waktu itu. Dinilai lebih muda, dia dianggap lebih lemah. Caranya berbicara juga terkesan lembut. Sehingga teman-temannya menjulukinya banci. Saat itu ia masih kelas I SMP.
Bukan hanya secara verbal, melainkan fisik. AZ pernah dikunci dengan sengaja di dalam loker, didorong dan dicekik di tengah lapangan sekolah, serta dijerat di jaring voli.
AZ tak pernah melapor, sebab tak tahu tindakan yang diterimanya merupakan tindak bullying. Bahkan pernah suatu kali, kakak kelas datang padanya, Kemudian memasang tali kekang di leher AZ sambil dibawa berkeliling dari kelas ke kelas. “Ini anjing peliharaan gua,” pamer kakak kelasnya kepada siswa lain.
Muak terus-terusan diganggu, maka AZ pun suatu saat akhirnya melapor ke sang ibu. Terang saja ibunya terkejut.
Ibu AZ kemudian membawa kasus yang didera AZ ke kepala sekolahnya. Tapi yang didapat berbeda dengan ekspektasi. Si kepala sekolah malah memberikan jawaban sinis. “Kalau saya jadi orang tua anak ini, saya akan tetap memaksa dia masuk sekolah,” katanya. Setelah mendengar jawaban si kepala sekolah, sang ibu pun mengeluarkan AZ dan memutuskan homeschooling sebagai jalan keluar masalah anaknya.
Perlakuan serupa juga dialami Ikhwan. Nama lengkapnya Muhammad Ikhwan. Ia tipikal murid yang pasif. Ia sulit bergaul dan berkomunikasi, sehingga terlihat cenderung pendiam. Saat semester satu di SMA, ia tak punya terlalu banyak teman. Ikhwan tak mengira kalau sifatnya yang satu ini ternyata akan membawa masalah.
Pernah, suatu ketika ia iseng merekam salah seorang teman prianya yang sedang berpidato bahasa Inggris. Namun, ia tak menyangka kalau tindakan isengnya ini membuat teman-teman lainnya salah paham.
“Dasar homo lo!”
“Gak usah dekat-dekat gue deh,” kata teman-temannya.
Padahal, ia tak hanya merekam satu orang teman. Tapi beberapa lainnya juga. “Saya dikira naksir teman saya itu,” katanya.
Sejak kejadian itu, teman-temannya mulai mengolok-olok Ikhwan. Ia kerap didakwa sebagai homoseksual. Ikhwan yang dasarnya murid pendiam, tak banyak melawan. Walau sebenarnya olok-olokan itu membuatnya terpukul. Ia pikir, diam akan menyelesaikan semua itu.
Tapi tak begitu adanya. Teman-temannya terus saja mengolok-olok. Bahkan semakin sering dan membuatnya cukup stres. Rasa malas ke sekolah menjadi momok baginya. Ikhwan melampiaskan kegusarannya dengan bermain. Ia jadi malas belajar. Padahal, ia sangat bercita-cita masuk Institut Teknologi Bandung (ITB). Dan untuk bisa sampai ke sana, yang harus dilakukannya adalah masuk ke jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Walhasil, dia tak bisa masuk IPA. Sesuatu yang membuatnya sangat terpukul. Mimpi untuk kuliah di ITB tak pernah kesampaian.
Saat menyadari hal ini, Ikhwan bertekad untuk merubah pola belajarnya. Ia memang sangat terpukul karena masuk Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), tapi ia tak ingin larut dalam kesedihan. Perlahan, ia meyakinkan diri bahwa olok-olokan teman-temannya hanyalah candaan. Candaan yang selalu tak dianggapnya serius. “Setidaknya dengan begitu saya jadi bisa fokus sekolah,” kenang Ikhwan.
Ia tak pernah cerita masalah ini ke orang tuanya. Perkara olok-olokan tersebut ia selesaikan sendiri. Ia pikir, kalau semakin tak banyak orang yang tahu masalah yang ia hadapi, maka semuanya akan baik-baik saja.
Meski berhasil menyelesaikan masalah itu dan berhasil masuk Departemen Kesejahteraan Sosial di Universitas Indonesia, Ikhwan sadar kalau tindakannya mendiamkan olokan teman-temannya dulu salah.
Apalagi sejak bergabung sebagai magang di Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), Februari lalu. Pada yayasan yang bergerak fokus menolak kekerasan anak di sekolah ini, ia belajar banyak. Ia jadi tahu kalau yang dialaminya kala SMA itu adalah kekerasan secara verbal.
Sama halnya dengan AZ, kini ia bergabung dengan Caring Teens Community, komunitas remaja di bawah payung Sejiwa dengan visi serupa. Karena pengalamannya dulu, AZ kini giat menolak kekerasan.
Selain kekerasan secara verbal, ada lagi kekerasan secara fisik dan mental. Berbanding terbalik dengan verbal, kekerasan secara fisik dilakukan lewat kontak fisik. Seperti tindakan pengeroyokan, pemukulan atau sekadar kontak fisik yang dirasa tak menyakitkan namun korban merasa menyakitkan. Sedangkan kekerasan secara mental membuat orang merasa terintimidasi.
Itu yang disadari Diena Haryana pada awalnya. Sebelum mendirikan Yayasan Sejiwa tahun 2004, Diena punya perusahaan yang mengurus sumber daya manusia pegawai perusahaan. Ia melatih bagaimana para pegawai berinteraksi, di antaranya hubungan bawahan dan atasan.
“Banyak sekali, di mana-mana masalahnya,” katanya.
Ia berusaha mengingat-ingat satu kasus di perusahaan yang pernah ia tangani. Pernah suatu ketika, seorang pegawai datang kepada mandornya. Ia datang membawa semacam laporan produk yang ia hasilkan. Sang mandor bukannya mengapresiasi, tapi malah menghamburkan laporan si pegawai sambil memaki-maki. “Kamu ini kerja enggak pakai otak, ya!” tiru Diena.
Dari sini, Diena meneliti lebih dalam. Apa sebab fenomena itu? Ternyata ada jejak-jejak kekerasan pada pegawai. Jejak-jejak ini berupa pengalaman tindak kekerasan yang dialami, baik jadi korban ataupun pelaku.
Anak yang jadi korban kekerasan, punya dua kemungkinan: pertama, pengalaman itu akan ia simpan dalam dirinya hingga dewasa, kedua, ia akan menyalurkan pengalaman itu kepada orang lain.
Anak yang menyimpan, ketika dewasanya cenderung menjadi orang yang pasif dan menutup diri. Sedangkan yang sebaliknya, akan menyalurkannya ke orang lain sehingga membentuk diri menjadi orang yang agresif.
Terjadi akibat berbagai sebab. Orang tersebut bisa saja balas dendam atas perbuatan yang ia terima atau menganggap kekerasan yang pernah ia alami menjadi toleransi untuk melakukan yang lebih keras.
Fenomena inilah yang disebut Diena berdampak pada interaksi antarpegawai di perusahaan. Atasan yang agresif cenderung menciptakan bawahan yang pasif. Sedangkan atasan yang pasif cenderung didominasi bawahan yang bisa saja lebih aktif.
Atas dasar itu, pada tahun 2004 ia mendirikan Yayasan Sejiwa dan mengetuainya hingga sekarang. “Semai Jiwa Amini itu berarti menyemai jiwa-jiwa yang diberkati,” jelas Diena. Awalnya ia tak menyangka akan punya niat seperti itu. Tapi pengalaman spiritual sehabis pulang umrah mengubah niatnya. Terbesit di pikirannya, kekerasan terhadap anak semestinya dicegah.
Mengawali niatnya, pertama-tama Diena dan teman-teman menggelar penelitian. Penelitian tersebut dilakukan di sekolah-sekolah di Jakarta. Umumnya, anak-anak yang ia teliti lebih banyak mengeluh bahwa ia diolok-olok teman. Selain itu munculnya budaya anak-anak yang membentuk geng ikut andil besar dalam setiap kekerasan yang dilakukan.
“Tapi yang jelas itu, masa orientasi sekolah itu paling tinggi (frekuensi kekerasannya—red),” ungkap Diena.
Berangkat dari penelitian tersebut, Diena bersama Sejiwa terus melakukan penelitian seputar kekerasan pada anak-anak. Diena punya alasan mengapa subjek kekerasan yang selama ini ia dan Sejiwa fokus adalah anak-anak. Anak-anak adalah usia paling rentan terkena kekerasan dan memiliki dampak paling besar.
Fenomena kekerasan di Indonesia kata Diena telah menjadi budaya, dan mengakar di setiap sudut masyarakat. “Contohnya ketika orang tua menekan anaknya,” kata Diena..
Dari Pengalaman, Hingga ke Lapangan
Dalam menjalankan kegiatannya. Diena tak sendiri. Diena, melalui Sejiwa merekrut lulusan-lulusan perguruan tinggi, yang lebih banyak dari jurusan psikologi untuk membantunya. Pegawai-pegawai tersebut banyak bekerja sebagai konsultan. Termasuk membuka magang.
Lendi Andita, salah seorang pegawai Sejiwa yang kini menjabat sebagai program officer banyak mendapati keluhan dan pengaduan ketika bekerja di lapangan. Sebagai program officer, pekerjaannya menyusun kegiatan-kegiatan yang Sejiwa lakukan. Kegiatan yang paling sering dilakukan adalah pelatihan.
Pelatihan yang dilakukan Sejiwa kebanyakan adalah pesanan dari sekolah-sekolah. Biasanya sekolah tersebut ingin mengukur tingkat bullying yang terjadi. Setelah berdiskusi sana-sini dengan pihak sekolah, Lendi dan rekan-rekannya menggelar pelatihan di sekolah bersama siswa-siswa. Lendi biasanya memberi materi tentang bullying disertai dengan permainan atau kuis.
Keluhan dari siswa biasa didapati ketika pelatihan sedang masuk waktu istirahat atau ketika pelatihan sudah selesai.
Suatu ketika, di salah satu sekolah swasta di Jakarta Selatan, seorang siswa menemui Lendi. Anak tersebut mengeluh karena mantan teman-temannya sering mengolok-oloknya.
Sebut saja namanya Dian. Ia pernah menjadi anggota salah satu geng populer di kelasnya. Namun, karena ada masalah yang membuatnya berselisih dengan teman-temannya yang lain, ia kemudian diasingkan. “Dia enggak mau cerita sih, masalahnya itu apa,” kata Lendi.
Tak cukup dengan diasingkan, mantan gengnya tersebut sering mengolok-olok Dian. Di media sosial, pun saat mengerjakan tugas kelompok. “Ya, kak, di kelas aku ada gengnya, loh, suka jelek-jelekin aku. Suka ngata-ngatain,” ungkap Lendi menirukan aduan Dian.
Dian kian jenuh dengan suasana kelas yang menurutnya tak ramah. Maka pada suatu hari, Dian pun sempat ingin keluar dari sekolah dan pindah ke sekolah lain. Sebelum sempat pindah itulah Dian mengadu pada Lendi dan akhirnya batal pindah setelah diberi pengertian. “Jadi dikasih tahu kalau kamu melihat kekerasan itu, kamu jangan diam saja. Kamu harus melaporkan!”
Lendi merasa, pemahaman soal kekerasan ini belum merata, bahkan untuk sekelas kepala sekolah pun tak mengerti. Ia juga merasa, kasus yang sering ia jumpai serupa: korban kekerasan ragu untuk melapor. Padahal bila lebih cepat dilaporkan, pencegahan dapat dilakukan dengan segera. Karena menurut Lendi, korban dapat bertransformasi menjadi pelaku bila terus mendapat pengalaman kekerasan. “Saya dulu juga korban bullying yang jadi pelaku, seperti malakin teman dan tawuran.”
Diena sepaham dengan Lendi. Alasan anak tidak mau melapor karena adanya tekanan dari pelaku. Sehingga bila ia melapor, si anak akan kena tindak kekerasan lebih.
Perilaku itu awalnya dibentuk oleh lingkungan. Anak mau tidak mau belajar dari lingkungannya. Orang tua adalah lingkungan paling dekat dengan anak. Kecenderungan anak belajar dari orang tua merupakan salah satu faktor anak dapat melakukan atau menjadi korban tindak bullying.
Anak yang tumbuh dalam kekerasan cenderung bersikap keras kepada teman-temannya di sekolah. Bila ini terus berlanjut, akan ada anak yang menjadi penindak kekerasan dan korban. Hal inilah yang bila terbawa di masa dewasanya nanti, akan membawa dampak cukup besar.
Bahkan, perilaku kekerasan sering kali tidak disadari, baik yang melakukan atau korban sendiri. Istilah bullying menurut Diena sangat tidak populer di masyarakat Indonesia. “Orang-orang beranggapan bahwa kekerasan fisik itu bullying,” kata Diena, “Padahal bukan itu saja.” Masyarakat Indonesia, khususnya orang tua, menurutnya menganggap hal-hal kecil yang membuat anak merasa tidak nyaman belumlah bullying. Contohnya seperti tekanan orang tua terhadap anak.
Apa pun yang membuat orang merasa tidak nyaman, apa pun tindakan yang ditujukan kepadanya adalah perilaku bullying. Ini juga yang tidak disadari korban. Sama halnya seperti kasus-kasus lainnya. Dampak dari ketidakawasan diri terhadap perilaku bullying sangat besar dan memengaruhi masa depan. “Padahal seharusnya bisa dilaporkan dulu,” ujar Diena.
Seharusnya, diakui Diena, kerja memberantas kekerasan ini tak dapat dilakukan sendiri maupun kelompok kecil macam Sejiwa. Karena budaya bully telah menjadi budaya yang radikal. Sulit mengubahnya dalam waktu singkat. Atas dasar ini, pihaknya terus menggenjot kampanye. Diena bilang, dari kegiatan-kegiatan yang digelar Sejiwa, minimal pihaknya dapat dijadikan panutan hidup tanpa kekerasan.
Pekerjaan memberantas kekerasan ini semestinya seperti dikatakan Diena adalah kerja pemerintah. Pemerintah punya kuasa dan tanggung jawab atas itu. “Tapi lagi-lagi pemerintah enggak bisa mengatasi. Mas tahu sendirilah,” katanya diakhiri dengan tertawa.
Laporan ini pernah dimuat dalam Majalah SUARA USU Edisi V yang terbit tahun 2014.