Oleh: Anggun Dwi Nursitha
Judul | : Hidup |
Penulis | : Yu Hua |
Penerbit | : PT Gramedia Pustaka Utama |
Tahun terbit | : 2015 |
Jumlah halaman | : 224 Halaman |
Harga | : Rp 64.000 |
Melalui sebuah buku yang sangat kontroversial dan fenomenal di Cina yang sempat dilarang beredar. Yu Hua mampu menyajikan kehidupan rakyat Cina secara tragis lima puluh tahun lalu akibat revolusi kebudayaan.
Hidup adalah sebuah novel karangan Yu Hua, seorang novelis tersohor yang berasal dari daratan Cina. Karya Yu Hua yang pertama kali terbit pada tahun 1993 ini sempat dilarang beredar di Cina. Disebabkan karena terlalu menggambarkan bagaimana kengerian yang melanda rakyat Cina akibat revolusi kebudayaan. Pun, kebijakan yang diambil rezim pada saat itu merupakan isu yang sangat sensitif untuk dibahas hingga saat ini.
Novel yang begitu fenomenal di Cina ini menampilkan kisahnya melalui seorang tokoh bernama Xu Fugui. Seorang anak dari tuan tanah yang kaya raya. Tiap harinya ia menghabiskan waktu atas meja judi ataupun ranjang pelacur. Tak butuh waktu lama, tanpa disadari ia telah menelan ulahnya sendiri. Ia terlilit utang yang mengakibatkan semua harta warisan dari para leluhurnya ludes. Di sinilah awal mula penderitaan Fugui.
Hanya tersisa bangunan di atas sepetak tanah berukuran lima mu (1 mu = 0,0667 hektar), mereka pindah ke sana. Tak lama, Ayah Fugui mati akibat tak tahan menerima kenyataan pahit tersebut. “Dulu kala nenek moyang keluarga Xu Cuma pelihara seekor ayam, ayamnya besar menjadi angsa, angsanya besar menjadi kambing, kambing dipiara terus sampai besar menjadi sapi. Beginilah keluarga Xu menjadi kaya. Kini malah tiada tersisa,” pesan ayahnya sebelum meninggal.
Lalu Ibunya pun jatuh sakit. Fugui pergi ke kota berniat mencari tabib. Namun di tengah jalan ia bertemu segerombolan pasukan nasionalis. Ia ditarik paksa untuk bergabung bersama mereka dalam melawan pasukan gerilya komunis. Ia tak bisa menolak, semakin jauh pergi malah membuat nyalinya makin padam untuk kabur. Tak ada cara, ia harus berperang dengan pasukan gerilya komunis.
Dua tahun kemudian ia berhasil kembali pulang karena dibebaskan oleh tentara pembebasan saat ia menjadi tawanan pihak komunis.
Pada 1958 komuneakyat didirikan. Komune rakyat adalah wilayah administrasi terkecil yang ditandai oleh pemilikan dan pemakaian hak secara bersama. Kepala dusun berubah panggilannya menjadi ketua regu. Semua harta benda milik warga harus diberikan kepada Komune Rakyat. Tak peduli besar atau kecil, bagus atau jelek, mahal atau murah yang penting satu untuk semua dan semua milik bersama. Pun, mekanisme pekerjaan yang diatur dan dibagi sama rata sesuai dengan kualitas dan kuantitas para pekerja.
Awalnya rakyat menganggap seru karena semua terbagi merata. Hanya tuan tanah yang menentang kebijakan tersebut. Tak tanggung-tanggung pemerintahan dari Komune Rakyat memang merampas seluruh tanah milik tuan tanah.
Tibalah disaat semua pasokan makanan habis akibat menerapkan revolusi kebudayaan. Saat itu Cina dilanda kelaparan yang sangat hebat. Pun, pembunuhan dan hukuman juga mewarnai mereka yang berhaluan kanan, pemilik tanah dan gerakan anti-revolusi dibunuh dan dihukum.
Di tengah kegilaan revolusi ini Fugui menyaksikan seluruh keluarganya menghadapi rentetan kematian. Dari yang absurd hingga alamiah. Dimulai dari Youqing yang mati karena mentransfusi darah, Fengxia mati karena melahirkan, tak lama disusul oleh Jiazhen yang sakit-sakitan dan selalu meratapi kedua anaknya yang telah tiada, Erxi menantunya juga mati tetiban dua sak semen dan yang terakhir adalah cucunya Kugen yang mati karena tersedak kacang.
Penulis buku ini berhasil menggambarkan dengan jujur bagaimana peristiwa yang dilanda Cina saat revolusi kebudayaan terjadi. Bahkan novel ini menjadi saksi menolak lupa akan warna kejadian yang dialami rakyat saat revolusi kebudayaan yang melanda Cina.
Novel ini sangat cocok dibaca oleh siapa saja karena disajikan dengan kata-kata yang mudah dimengerti dan polos tanpa ada embel-embel. Yu Hua menyampaikannya jujur. Walaupun novel ini adalah novel terjemahan bergenre kontemporer, novel ini mampu menggambarkan pilu kehidupan yang cukup tragis pada waktu itu.
Yu Hua mampu memberikan pesan kepada pembacanya untuk terus bekerja keras. Ini menjadi keunggulan pada novel. ‘Mengubah seekor ayam menjadi angsa, angsa menjadi kambing, kambing berubah menjadi sapi’. Semua kerja keras adalah pertahanan hidup. Melihat Fugui yang mampu menjalani hidupnya tanpa mengeluh dengan menyaksikan deretan kematian kemudian bangkit kembali bekerja keras untuk bertahan hidup.
Yu Hua berhasil menggandeng penghargaan sastra internasional. Di antaranya Premio Grinzane Cavour dari Italia 1998 dan penghargaan James Joyce Foundation Award pada tahun 2002. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam dua puluh bahasa. Pun, pernah diangkat menjadi sebuah film. Namun tetap saja seperti bukunya, film tersebut sempat dilarang beredar di Cina.
Novelis seperti Yu Hua dapat disandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer dengan karyanya seperti trilogi roman Gadis Pantai yang dihanguskan agar bukunya tak beredar di Indonesia.