Oleh: Tantry Ika Adriati dan Anggun Dwi Nursitha
Sejak erupsi pada 2013, kondisi masyarakat Karo belum membaik. Dua tahun berlalu, warga enggan beralih pekerjaan dari bertani. Trauma masih membekas di hati masing-masing.
[dropcap]M[/dropcap]asrita Boru Pelawi tak sanggup lagi melangkah. Jalanan terlalu sesak dipenuhi orang-orang yang berlarian. Awan panas menutupi langit desa, pandangan Masrita kabur karenanya. “Enggak sanggup lagi, kau duluan sajalah, Nak,” ujarnya. Langkahnya terhenti, tak ada lagi yang terlihat. Hanya terdengar suara orang-orang yang berhamburan meminta pertolongan. Risky, anak lelaki Masrita tak menghiraukannya. Anak berusia enam belas tahun itu tetap menggenggam erat tangan Masrita.Namun Masrita tetap berhenti, sudah lama ia dan putranya menyetop kendaraan agar bersedia memberi tumpangan, tetapi tak ada satupun mobil yang mau berhenti. Sudah dipenuhi warga lain yang lebih dulu naik.
“Ayoklah mamak, pelan-pelan kita jalan,” ujar Risky. Putranya tetap tak mau melepas tangan Masrita. Alhasil, mereka pun berjalan dari Desa Simacem menuju Desa Sukanalu. Beruntung, sebuah mobil dari Desa Sigarang-garang berhenti dan bersedia memberi tumpangan. Tak anyang, duduk bersempitan bukan masalah bagi Masrita kala itu.
Masrita awalnya dibawa ke Jambur Taras. Lantaran tak ada warga Desa Simacem, ia pindah ke Jambur Liga. Warga Simacem banyak di Jambur Liga. Maka di sanalah Masrita menetap sementara. Malam itu Masrita dan warga lainnya tidur di Jambur Lige tanpa berselimut dan mengenakan pakaian seadanya. “Untung pakai baju hangat waktu itu.”
September 2013 Gunung Sinabung meletus lagi. Letusan abu keluar disertai lontaran pasir dan kerikil. Awan panas meluncur dari bagian selatan dan tenggara Karo, lebih dulu mengenai tiga desa yang berjarak 3 km dari puncak gunung. Ketiganya ialah Desa Bakerah, Desa Sukameriah, dan Desa Simacem.
Saat letusan terjadi, Masrita berlari ke pendopo Desa Simacem. Dengan arahan koordinator lapangan saat itu, Masrita dan warga Desa Simacem dibawa mengungsi ke Jambur Simpang Kata. Mereka menetap di sana selama seminggu, lalu pindah lagi ke Jambur Tuah Lopati. Selang seminggu, Masrita dan warga lainnya diperbolehkan pulang ke desa.
Namun, tak seperti erupsi di tahun 2010, erupsi kali ini terjadi berulang-ulang. Entah sudah berapa kali Masrita pulang pergi ke Desa Sukanalu, kadang-kadang ia pergi ke Desa Perteguhan, hanya untuk berlindung dari erupsi. Pada waktu itulah Masrita bisa menyelamatkan sebagian barang miliknya, pun hanya pakaian seadanya.
“Enggak pernah lagi nyenyak tidur kami,” sesalnya.
Tak lama, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyatakan ketiga desa tersebut menjadi jalur erupsi Sinabung dan harus segera direlokasi. Masrita dan warga lainnya tak diperbolehkan kembali ke desa. Masrita pasrah, tak ada yang bisa diselamatkan dari rumahnya. Harta bendanya lenyap, ladangnya tertimbun lumpur, desanya sudah jadi desa mati dan tak layak ditinggali lagi. Kejadian ini menjadi trauma tersendiri bagi Masrita.
“Terakhir ke sana, ziarah penyambutan bulan ramadhan 2014,” ceritanya. Melihat hamparan desanya yang porak poranda mengingatkan Masrita akan kejadian letusan Gunung Sinabung dua tahun lalu. Sejak itu ia tak pernah lagi mengunjungi Desa Simacem.
Atas saran dari Sastra Ginting, Kepala Pengungsi Desa Simacem-Bakerah akhirnya Masrita dan warga Desa Bakerah dipindahkan di Yayasan Universitas Karo (UKA) I. Di sanalah korban erupsi dari warga Bakerah dan Simacem diiungsikan.
Yayasan UKA I memiliki tiga gedung. Satu gedung di sebelah kanan gerbang, dan dua lainnya saling berhadapan di sebelah kiri gerbang. Gedung di sebelah kanan merupakan bekas kelas yang terdiri atas tiga lantai. Sedang dua gedung lainnya hanya punya satu lantai. Terdapat juga satu tenda bewarna biru yang tegak kukuh di tengah lapangan luas. Tenda tersebut berisi pasokan makanan untuk semua warga yang mengungsi. Konon seluruh warga memasak makanan bersama di tenda tersebut.
Kamar Masrita sebesar 1,5×2, meter terletak pada salah satu kelas, diisi oleh enam kepala keluarga. Kelas itu tersebar di tiga gedung yang dihuni oleh 86 kepala keluarga. Ada 138 orang pengungsi dari Desa Simacem dan 112 orang pengungsi dari Desa Bakerah.
Kini jumlahnya sudah berkurang dibanding pertama kali korban mengungsi, sebab warga banyak yang pindah setelah mendapat bantuan. “Waktu itu bisa sampai lima ribuan,” ucap Sastra.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga menggunakan air sumur milik Yayasan UKA I. Air yang digunakan dicukupkan untuk kebutuhan warga Desa Simacem dan Desa Bakerah. Namun, air dirasa masih kurang, tak cukup menanggung segala aktivitas warga, baik mandi, mencuci, merebus air minum, dan yang lainnya. Sumur bor yang dibuatkan setelah Presiden Joko Widodo saat datang tahun lalu tak lama bisa digunakan. “Pengerjaannya kurang bagus, beberapa bulan setelah jadi sudah mati airnya,” keluh Sastra, hal sama juga dirasakan pengungsi lainnya.
Di Desa Payung, Firdaus Surbakti turut merasakan kurangnya sumber air bersih. Sebelum terjadi bencana, sumber air bersih Desa Payung berasal dari Desa Sukameriah. Sebab Desa Sukameriah sekarang sudah tidak ada lagi, kini Desa Payung mendapat sumber air bersih dari tiga sumur bor yang dibuat oleh pemerintah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Firdaus menyayangkan pemerintah yang lebih memerhatikan warga tujuh desa yang akan direlokasi saja. Tujuh desa itu ialah Desa Bakerah, Desa Simacem, Desa Sukameriah, Desa Gurukinayan, Desa Surbakti, Desa. Padahal, warga lainnya seperti di Desa Payung juga membutuhkan bantuan. Selain karena kondisi di desa yang tak laik, juga karena perkebunan yang tak kunjung meningkat.
Bantuan yang didapat Firdaus hanya bertahan beberapa bulan setelah erupsi saja. Pun, tak banyak yang diberikan pemerintah. Di awal erupsi tahun 2013 warga hanya diberi jatah hidup sebesar Rp5 ribu per harinya, serta pernah dapat uang Rp500 ribu dari Presiden Joko Widodo.
Masrita pun begitu, uang pemberian sewa rumah sebesar Rp1,8 juta dan sewa lahan sebesar Rp2 juta yang diberikan tahun lalu tak cukup menyokong kehidupannya hingga bantuan kedua datang Maret ini. Padahal ia masih berharap pemerintah tetap meneruskan bantuan hingga relokasi rampung. Kini baik Masrita, Sastra, maupun Firdaus tak punya apa-apa lagi selain bantuan yang ia dapat, baik dari pemerintah maupun masyarakat luar kabupaten. “Kami harap bantuan tak berhenti,” ujar Masrita.
Subur Tambun, selaku Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah mengumumkan bahwa setelah diberikan bantuan tersebut warga sudah tidak menjadi tanggung jawab pemerintah lagi. Semua yang mendapat uang harus menyewa rumah dan lahan sendiri untuk bertahan hidup, menunggu hingga pembangunan hunian tetap di Siosar, Kecamatan Merek selesai. Pos-pos pengungsian pun ditutup. Kini tanggung jawab pemerintah hanya membangun hunian tetap bagi desa-desa yang menjadi jalur lumpur panas Gunung Sinabung.
Subur berdalih pemerintah kabupaten tak punya dana lebih untuk membantu masyarakat Karo. Tanggung jawab pemerintah hanya memberikan bantuan hingga Maret ini. Sebab, dana yang digunakan berasal dari dana siap pakai BNPB. Penggunaannya akan selesai setelah Karo memasuki tahap pascabencana seperti sekarang. Subur juga berharap dana lebih pada pemerintah.
Trauma dan Gagal Panen
April 2015, dua tahun sudah erupsi berkepanjangan Gunung Sinabung berlalu. Letusan tetap terjadi, kadang memuntahkan abu vulkanik, kadang juga mengalirkan lumpur dari puncak gunung. Akibatnya, yang terlihat kini ialah tumbuh-tumbuhan dan pinggiran jalan yang diselimuti abu. Hujan lumpur melanda desa April ini.
Desa yang berjarak 5.2 kilometer dari kaki Gunung Sinabung itu bernama Desa Payung. Seorang lelaki tua duduk di depan teras seluas 3×2 meter. Laki-laki berusia tujuh puluh tahun itu bernama Baik Pandia. Pekerjaan sehari-harinya ialah bertani tanaman muda seperti cabai, tomat, bawang merah, dan bawang putih. “Sekarang kami sudah tak bisa lagi menanam,” ucapnya.
Sejak hujan lumpur pada 2013 ia tidak pernah merasakan panen lagi. Sudah lima kali ia coba, tapi selalu gagal. Lahan yang ia jadikan untuk bertani sudah tak laik lagi. Lantas ia langsung menunjukkan ukuran ketebalan abu di ladangnya dengan tangannya. “Segini tebalnya, sepuluh senti meter lah,” keluhnya.
Sejak Februari lalu, tidak ada lagi pemasokan untuk membiayai keperluan keluarganya. Bantuan dari pemerintah yang ia dapat hanya sekali, berupa beras dan uang. “Desa kami kan enggak hancur seperti Desa Sukameriah, jadi enggak dikasih bantuan yang gimana kali,” ucapnya. Banyak bantuan berdatangan dari swasta, namun beberapa bulan ini tidak datang lagi. Selain bertani, Baik mengaku memang tak tahu lagi ingin bekerja apa.
Begitu pun dengan Nurtala Beru Sitepu, warga Desa Gurukinayan yang biasanya menghabiskan waktu untuk bertani. Meski ia sudah menyewa lahan untuk bertani, tetapi hasil pertaniannya tak pernah ia rasakan sekali pun. “Pas mau panen, Sinabung meletus lagi,” sahut Nurtala. Ia memang sering menanam tanaman seperti jagung dan cabai. Namun sejak erupsi berkesinambungan hingga April lalu, Nurtala tak pernah menanam lagi. Ia trauma melihat ladangnya yang hancur.
“Paling mocok ke ladang orang,” imbuhnya. Nurtala maupun Baik tak punya kuasa untuk beralih pekerjaan. Sebab mereka terbiasa bertani sejak dulu. Kini warga hanya berharap pada bantuan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat lainnya.
Berbeda dengan Nurtala dan Baik, Hemat Br Sembiring, warga Desa Bakerah beralih pekerjaan menjadi penganyam. Ia hidup seorang diri di Yayasan UKA I. Semua anaknya merantau. Tubuh yang rentan membuatnya tak bisa bekerja seperti warga pengungsian lain. “Keseharianku cuma menganyam,” imbuhnya.
Anyaman berupa wadah nasi dibuatnya setiap hari. Hasil dari anyaman itu lalu dititipkan di kedai kecil tak jauh dari pengungsian. Hemat mengaku betah tinggal di daerah sekitar pengungsian, ia merasakan timbulnya keluarga-keluarga baru. “Karena kita bernasib sama,” tuturnya.
Subur Tambun beralasan sama menanggapi perekonomian warga Karo semenjak erupsi pada tahun 2013. “Perekonomian Karo menurun drastis,” ujarnya. Kecenderungan masyarakat Karo bercocok tanam susah untuk ditinggalkan. Makanya, sebagai solusi terakhir pemerintah memberi bantuan untuk menyewa ladang bagi tujuh desa yang terkena lumpur panas. Ketujuh desa itu ialah Desa Bakerah, Desa Simacem, Desa Sukameriah, Desa Gurukinayan, Desa Berasitepu, Kota Tonggal, dan Desa Gamber.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dilansir dari Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Karo 2013/2014, pendapatan asli daerah Kabupaten Karo meningkat dari Rp46 juta menjadi Rp67 juta. Meski begitu, Sekretaris Desa Kabupaten Karo mengatakan pemasukan yang berasal dari sektor pertanian mengalami kerugian mencapai empat triliun. Berbeda pada data tahun 2010/2011, pendapatan asli Karo meningkat dari Rp20 juta ke Rp30 juta. Namun penghasilan warga di bidang pertanian meningkat.
Hal ini dikarenakan erupsi yang terjadi sejak tahun 2013 terjadi berkepanjangan, sehingga tak ada jeda bagi warga untuk merasakan panen. Berbeda dengan erupsi tahun 2010 yang hanya terjadi sekali, dampaknya keadaan tanah Karo menjadi subur dan penghasilan warga meningkat. Bahkan pendapatan per kapita Kabupaten Karo meningkat menjadi nomor tiga di Sumatera Utara untuk tingkat kabupaten.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, kontribusi sektor pertanian bagi produk domestik regional brutto (PDRB) Kabupaten Karo mengalami penurunan. Tahun 2010 sumbangan sektor ini mencapai 61,08 persen. Pada tahun 2011 akibat meletusnya Gunung Sinabung sumbangan sektor pertanian menurun menjadi 60,94 persen. Sempat meningkat 0,04 persen di tahun 2012, Namun menurun lagi di tahun 2013 menjadi 60,94 persen.
Wahyu Ario Pratomo ikut prihatin dengan kondisi tersebut. Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan sekaligus pengamat ekonomi ini menerangkan sumber pendapatan daerah yang dari sektor pertanian tak lagi menjadi andalan Kabupaten Karo. Sebab sebagian besar ladang warga masih belum bisa dipakai. Sehingga pengangguran pun meningkat.
Sebagai solusi, ia menyarankan agar masyarakat Karo beralih dalam memenuhi kebutuhan hidup. Awalnya Karo yang dikenal sebagai sektor pertanian dapat ditransformasikan menjadi sektor pariwisata. Atau sektor pertanian yang dijadikan pendapatan utama dibarengi dengan sektor pariwisata. Sebab peranan sektor jasa dan perdagangan, hotel dan restoran semakin meningkat seiring dengan berpindahnya tenaga kerja pertanian ke sektor tersebut.
Hal inilah yang menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten. “Beri kail pada masyarakat Karo terutama yang masih muda, tidak hanya umpan,” ucapnya.
Namun, usaha juga seharusnya berbarengan datang dari masyarakat Karo. Tak bisa hanya mengharapkan bantuan yang berdatangan. “Masyarakat Karo harus bangun dari kertepurukan dari bencana ini, tidak hanya terus menunggu bantuan pemerintah,” katanya optimis.
Untuk membentuk Karo menjadi sektor pariwisata diperlukan langkah awal. Salah satu langkah awalnya pemerintah haruslah berdialog pada masyarakat Karo untuk berubah. Juga berikan pelayanan terbaik kepada pengunjung pariwisata. Menarik perhatian pengunjung wisata agar berdatangan bisa diakali dengan membuat event.
Ini juga upaya memperkenalkan budaya sekaligus menjual tempat-tempat pariwisata di Karo sekaligus Medan. Jika solusi tersebut dapat dilakukan, masyarakat Karo bisa kembali sejahtera dan bisa meminimalisir angka pengangguran.
Lagipula tahun ini pemerintah tidak mensubsidi premium. Jadi ada dana tersimpan sebesar seratus triliun yang dialihkan untuk penanganan bencana di Indonesia, terutama bencana meletusnya Gunung Sinabung. “Harus bisa didorong oleh Jokowi.”
Subur tak menampik hal tesebut. Saat ini Pemerintah Kabupaten Karo sedang berusaha agar masyarakat beralih bekerja dari bertani. “Namun butuh waktu,” katanya. Saat ini ia berharap masyarakat Karo bersabar. Pun, dana yang diberikan pemerintah Karo hanya sebatas itu saja. Sebab, pemerintah Karo juga berharap dana dari pemerintah pusat.