Oleh: Lazuardi Pratama
Judul | : Battle of Surabaya |
Sutradara | : Aryanto Yuniawan |
Penulis skenario | : M Suyanto dan Aryanto Yuniawan |
Pengisi Suara | : Ian Saybani, Reza Rahadian, Maudy Ayunda |
Tahun | : 2015 |
Durasi | : 115 menit |
Film animasi panjang pertama karya dalam negeri yang saya pikir dapat menjungkalkan ekspektasimu. Sangat layak diapresiasi.
Sulit sekali melepaskan pikiran-pikiran sinis ketika hendak menonton film yang dibuat orang Indonesia—yang juga diorbitkan dengan embel-embel karya anak bangsa. Saya yakin jumlah penonton di bioskop yang tidak mencapai sepuluh orang—ketika saya nonton film ini di bioskop—juga berkata hal yang sama. Juga orang-orang yang berbaris ramai hendak menonton Inside Out atau Hitman: Agent 47. Sangat wajar ketika orang-orang takut duit Rp 40 ribu mereka terbuang sia-sia karena kecewa menonton film yang enggak jelas.
Mending nonton Inside Out! Studionya Pixar gitu, lho!
Pikiran-pikiran sinis itu—yang saya juga berpikiran sama—boleh saja dibawa di kemudian hari. Memasang ekspektasi tinggi-tinggi hingga setinggi gaweannya Pixar juga enggak masalah. Toh, Battle of Surabaya ini mengorbit di waktu yang sama dengan film-film animasi masa kini. Maka silakan saja bandingkan Battle of Surabaya dengan—yah boleh saja The Grave of Fireflies (1984), film animasi karya Ghibli yang bercerita bagaimana perang hanyalah sebuah kesia-siaan. Atau anime-anime masa kini yang bercerita hal yang sama. Tidak masalah. Hukum pasar memang kejam.
Bukannya saya pesimis atau ingin menyindir film yang dikerjakan dengan biaya $ 5 juta ini. Sama sekali tidak. Sebab saya pikir, Battle of Surabaya justru layak untuk bersaing dengan film animasi dari luar negeri.
Battle of Surabaya sebenarnya bisa dibilang mirip dengan The Grave of Fireflies oleh studio legendaris dari Jepang, Ghibli, tiga puluh tahun lalu. Ini cerita tentang Pertempuran Surabaya yang biasa kita rayakan pada 10 November tiap tahunnya. Tapi inti ceritanya justru datang dari orang-orang yang terjebak di dalamnya.
Ada Musa (suaranya diisi Ian Saybani), bocah penyemir sepatu yang orientasi hidupnya hanya ingin hidup tenang dan makan kenyang. Ada Yumna (Maudy Ayunda), gadis keturunan Tionghoa yang jelita, berjualan nasi tiwul di pasar. Di masa pasca-kemerdekaan ini, mereka berdua jadi lebih sering bertemu. Ada pula Danu (Reza Rahadian), seorang tentara muda, ganteng, keren, dan kompeten, bekas tentara Jepang. Tampilan Danu ini mengingatkan saya akan Mako di The Legend of Korra, sekuelnya Avatar: The Last Air Bender itu.
Musa, si protagonis utama ini, ternyata tidak bisa hidup tenang seperti yang ia harapkan. Apalagi ketika ia menjadi kurir Residen Sudirman. Menjadi kurir ternyata bukan hal yang mudah untuk Musa, ia kehilangan banyak hal setelahnya. Tapi untung saja Musa punya mental baja seorang pahlawan.
Pertempuran Surabaya ini juga diwarnai oleh kelompok ekstremis fiktif bernama Kipas Hitam. Kipas Hitam ini semacam kelompok persaudaraan yang berisi ninja-ninja. Mereka nasionalis Dai Nippon yang pada akhirnya berkomplot dengan kumpeni boncengan Sekutu. Entah dari mana asalnya mereka ini. Saya jadi ingat anime-anime tentang ninja.
Mungkin sadar akan kemampuan animator-animatornya, M Suyanto, sang produser tidak berkata banyak soal grafis filmnya. Battle of Surabaya ditonjolkan memiliki unsur drama dan psikis. “Sinematografi ala Barat itu pula yang membedakan Battle of Surabaya dengan film Indonesia lain. Film Indonesia hanya menampilkan dramatis,” ujarnya seperti dilansir Tempo. Mungkin psikis maksudnya adalah pesan khusus “there is no glory in war” yang dieksekusi di filmnya.
Tapi saya ingin menyemangati para animator. Seperti yang saya bilang sebelumnya, Battle of Surabaya layak bersaing dengan film animasi luar. Banyak lansekap-lansekap cantik, seperti dilukis dengan cat air. Misal lansekap senja dan kota Surabaya yang hancur lebur akibat peperangan. Banyak adegan juga dieksekusi dengan halus, tidak patah-patah. Tapi sulit juga untuk tetap konsisten rapi, sebab ada juga adegan yang patah-patah. Kendatipun begitu, tidak merusak keseluruhan film. Saya jadi bangga sekali sebab saya tidak berekspektasi tinggi pada bagian ini.
Hampir semua hal bisa saya nikmati dari film ini. Kecuali satu: isi suaranya. Agak wajar memang melihat alasan merekrut nama-nama beken untuk kawula muda seperti Reza Rahadian dan Maudy Ayunda sebagai pengisi suara. Film ini jadi pengalaman awal mereka mengisi suara. Risiko yang sepertinya tidak harus diulang oleh studio-studio animasi di masa mendatang.
Yumna, yang cantik jelita dan patut dicinta itu, jadi seperti berada di luar jalur ketika sedang berbicara. Apalagi ketika adegan-adegan bersama Musa, yang suaranya diisi oleh Ian Saybani, sangat timpang. Ian sendiri adalah pengisi suara kelas kakap. Ia pernah mengisi suara Uchiha Sasuke dan Hatake Kakashi dalam serial Naruto, juga P-Man dalam serial P-Man.
Apalagi adegan dramatis Yumna dan Danu, yang suaranya diisi Reza Rahadian. Reza juga termasuk baru dalam isi mengisi suara. Walaupun juga terasa kurang nyaman, Reza bisa jauh lebih baik dari Maudy. Gabungan keduanya di adegan dramatis itu sukses membuat kursi bioskop tempat saya duduk berkedut-kedut.
Ujung ceritanya, seperti yang kita tahu di buku-buku pelajaran sejarah dulu, Belanda dan Sekutu merasa lelah dengan perlawanan gerilyawan saat dan pasca Pertempuran Surabaya. Tapi masih menyisakan luka mendalam bagi hati Musa, yang di dalamnya berkobar semangat patriot.
Pada akhirnya, saya sendiri tidak sangka sedemikian rupa pada film ini. Tapi kembali pada apa yang saya bilang di awal resensi, sepertinya tidak terlalu bijak untuk mengapresiasi film ini hanya karena ini karya anak bangsa dan semacamnya. Atau menjadikan keringnya karya film animasi panjang tanah air sebagai pembenaran atas segala kekurangan. Namun cita-cita Suyanto untuk melecut semangat animator muda tanah air untuk membuat karya yang jauh lebih baik sangat layak untuk diapresiasi. Maka apresiasilah dengan meramaikan bioskop untuk menonton film ini.