Oleh: Vanisof Kristin Manalu
Senyuman memang bisa membuat hidup ini berawal dengan indah. Tak khayal bila semua itu pupus semata karena banyaknya masalah datang mendera.
Langit pagi itu hitam pekat tak menunjukkan warna biru yang memikat. Walau cuma setitik awan kecil, namun ia tampak enggan menunjukkan. Begitu juga dengan keadaan di sekitar. Teriakan seseorang yang memilukan memecah suasana yang mencekam itu. Bukan teriakan yang wajar, keras sekali bahkan menyaingi kerasnya suara petir yang mulai menyambar tak tentu arah.
Orang-orang mulai berlarian dengan berbagai gaya dan cara masing-masing agar sampai ke tempat yang dituju. Langkah kaki mereka seakan tertarik bersamaan ke tempat di mana suara itu berasal. Sudah penuh sesak ruangan itu bahkan belum selesai jarum panjang menyelesaikan perjalanannya menuju satu menit.
Ada yang mengintip dari balik jendela. Ada pula yang sedang berusaha melihat dari celah-celah di balik dinding tua itu. Rianty yang melihat kejadian itu penasaran, namun tak berusaha melakukan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang saat itu. Ia yakin bakal tahu nantinya walau sebenarnya ia sudah menduga-duga kejadian yang sebenarnya.
Rasa resah melanda hatinya seketika. Ketika ia melihat tangisan orang makin menggelegar memecahkan kesunyian pagi yang mencekam. Ada apa ini? Pikirnya mulai ragu untuk tetap berdiam di gubuk reyot itu. Ingin sekali rasanya ia meloncat pagar yang terbuat dari bambu yang sudah mulai rapuh dimakan usia dan berkelut dalam nasib diguyur hujan dan diterjang panas yang tingginya kurang lebih dari satu setengah meter. Rumah itu dipenuhi dengan bunga bougenvil atau bunga kertas dengan varian warna yang beraneka macam.
Namun ia takut karena harus menanak nasi yang sebentar lagi kering. Pun dengan sayuran daun hijau segar, yang beberapa menit lalu harus meninggalkan batangnya untuk memenuhi kewajiban sebagai nasib untuk memenuhi gizi semua manusia. Termasuk Rianty dan adiknya yang masih berumur satu tahun. Jauh sangat muda sebelum ia dan adiknya ditinggalkan oleh emaknya setahun lalu.
Matanya jelalatan menuju rumah di sudut seberang. Tak jauh dari rumahnya hanya membutuhkan sekitar lima puluh langkah untuk menjangkau rumah itu. Begitu jelas terdengar teriakan saat Mpok Duri memanggil Janeti untuk menyuruhnya makan setelah bertandang ke rumahnya. Namun pagi itu, ia tak menemukan Janeti di rumahnya. Orang-orang malah berbondong-bondong datang ke rumah Janeti. Itu sebenarnya ia kepikiran sedari tadi, ia khawatir akan sesuatu yang menimpa Janeti, sahabat semata wayangnya.
Suara bayi dari ayunan kumal itu menyadarkan lamunannya yang sedari tadi menatap rumah Janeti. Menghampirinya lalu mengayun dengan penuh kasih sayang. Terkadang ia menitikkan air mata saat melihat betapa malangnya kenyataan yang menimpanya. Beberapa tahun sebelumnya, saat ia masih melihat ibunya mendekap bayi kecil yang sedang dalam ayunannya, menetekinya dengan penuh kasih sayang, membuat ia menyesal dan tak harus membenci ibunya.
Ia benar-benar marah saat mengetahui kebenaran tentang pekerjaan ibunya yang menjadi salah seorang wanita penghibur di rumah Madam Marni. Ia benar benar kecewa dan tak tahu harus berbuat apa. Setelah malam itu, Rianty tak melihat wajah ibunya. Semua barang-barangnya juga lenyap. Ibunya pergi meninggalkan mereka tak tahu entah ke mana. Sedangkan ayahnya meninggal dua tahun yang lalu sebelum adiknya dilahirkan. Ayahnya menderita penyakit paru-paru. Pekerjaannya di tambang batu bara membuat paru-parunya menjadi hitam.
Tuuttff. Bunyi tanda air panas telah mendidih menghentikan aktivitas mengayun dan ia bergegas ke dapur, menyelesaikan pekerjaannya. Setelahnya, ia ingin pergi melihat keadaan sahabatnya.
Gemetar tangannya saat mendengar kabar bahwa Janeti bakal memiliki nasib sama sepertinya. Ia tak menduga pagi itu adalah hari terakhir Janeti melihat ibunya. Tak terasa bulir-bulir air mata berjatuhan tak terbendung lagi. Ia berlari mencari Janeti. Ia tak bisa membayangkan betapa terpukulnya sahabatnya itu saat ini. Ia pasti membutuhkan seseorang untuk tempat bersandar saat ini. Hanya itu yang ada di benaknya saat ini; bagaimana cara mengibur temannya. Karena dulu ia pun demikian saat Rianty kehilangan keluarganya.
Lewat pintu belakang, Rianty masuk dan melihat Janeti berdiri di samping ibunya. Matanya bengkak, tubuhnya lemas seperti tak ada semangat lagi dalam dirinya.
Janeti merasakan pundaknya hanyut. Ia menoleh dan memeluk Rianty. Tangis mereka membuat semua orang merasa kasihan dan simpati. Janeti adalah orang yang baik dan sangat pintar. Semua orang tak pernah membayangkan ia akan memiliki nasib seperti ini.
Kehidupan mereka selama ini hanya dengan mengandalkan dagangan ayaman rotan. Mereka mengubah rotan itu menjadi berbagai bentuk seperti kipas, tempat pensil, dan keranjang belanjaan. Namun yang memiliki keterampilan itu adalah ibunya. Tidak dengan Janeti, yang selama ini ia hanya bertugas untuk menjualkan hasil kerajinan tangan buatan ibunya setelah pulang sekolah.
Setelah kejadian itu, Janeti tak meneruskan sekolahnya. Ia memilih tak meneruskan sekolahnya ke pendidikan di mana orang menyebutnya dunia kampus. Ia sudah sangat memikirkan itu sudah lebih dari setahun di mana ia sangat berusaha untuk menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas. Rianty hanya bisa mendukung dengan menyemangatinya. Ia selalu bilang bahwa manusia yang pintar akan diperhitungkan dunia, ia selalu mengakhiri dengan senyum.
Tawa mereka bergema saat bersama. Rasa lelah yang mendera seakan beranjak dari tubuh mereka. Terkadang dengan sembunyi-sembunyi Rianty menutupi rasa sakit di hati yang mendera. Merindukan seorang ibu yang sangat ia benci.
Sudah hampir dua tahun ia menunggu, namun sepertinya burung camar tak pernah menyampaikan suara hatinya pada sang ibu. Sekarang ia sudah menginjak usia delapan belas tahun, sedangkan adiknya berusia empat tahun. Perasaannya selalu berharap yang sebaliknya saat ia mengatakan tak mengharapkan ibunya kembali. Setiap malam, ia menunggu di depan pintu yang sudah hampir rubuh itu. Ia menangis terisak-isak di kegelapan malam dan dinginnya cuaca di desa itu. Namun tak penah sekalipun ia menunjukkan hal itu pada adiknya satu-satunya. Ia terlalu menyayangi adiknya sehingga ia tak ingin melukai hatinya dengan memberi tahu kenyataan ibunya seperti apa.
Malam itu sesuatu terjadi. Beberapa menit setelah ia beranjak dari tempatnya melamun, ia menoleh ke arah seseorang yang membelakangi cahaya lampu jalan. Tampak siluet tubuh sesorang. Desir darahnya tak terkontrol seketika. Meski sedikit ragu ia tetap tak berniat menghentikan langkahnya. Ia berlari menghampiri bayangan itu. Namun kenyataan membuat ia sadar. Orang itu meninggalkan tas dan sebuah koper di jalan itu. Ada sepucuk surat beramplop biru di atas koper itu bertuliskan: ‘MAAF’. Tangis adalah satu-satunya hal yang tepat untuk mendeskripsikan malam yang menyesakkan dada itu.