BOPM Wacana

Amir Zebua: Mengeluh itu Virus

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Franky Febryanto Banfatin

Siang itu Kota Medan benar-benar menebar hawa panas yang terpancar dari teriknya sang surya. Pencapaian suhu mencapai titik 32 derajat celcius. Butir-butir keringat keluar dari setiap pori kulit yang menganga kepanasan. Teman saya mengeluh tak henti-henti sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan kertas selebaran. Pun saya sekali dua kali terkena ‘virus aksi’ serupa. Mengeluarkan umpatan-umpatan kejengkelan terhadap sebuah energi yang tak pantas disalahkan sambil duduk di atas kursi becak bermotor dalam perjalanan menuju sebuah kantor pemerintahan.

Sesekali saya mengamati abang penarik becak yang kami tumpangi sambil memperhatikan jalan. Tampak masih muda, berusia sekitar 20-an tahun dengan kulit cokelat terbakar, mata sipit, dan rambut hitam tebal.

“Kepanasan ya, Bang?” tanyanya sambil tersenyum seperti menyadari karena diperhatikan. “Pasti jarang naik becak?” Lanjutnya seperti bisa membaca pikiran saya.

“Iya Bang. Maklumlah,” jawab teman saya, enteng namun terkesan sedikit arogan.

“Nikmati saja Bang, jangan merepet (ngomel) terus. Lihat dong saya, senyum terus. Adik saya bilang, mengeluh itu virus. Penyakitnya bikin kita jadi tidak bisa merasa bahagia.” Kalimat itu diucapkan begitu saja, sangat polos. Namun hati nurani saya terketuk dan membuat saya tiba-tiba ingin memaknainya dengan bertanya lebih jauh dan memulai obrolan.

Adik, Sumber Semangat

Sesungguhnya banyak cerita bermakna yang diangkat dari seorang pemuda bernama Amir Zebua. Dialah sosok inspiratif yang tidak sengaja saya temui di jalan. Pemuda kelahiran Teluk Dalam, 22 Mei 1987 ini sudah bekerja menarik becak sejak tahun 2006 di kota bika ambon ini. Keadaan yatim piatu dan kecintaannya terhadap adik tunggalnya yang membuat dia rela tidak menamatkan pendidikan lanjutannya.

“Saya rela bekerja dan tidak sekolah asalkan adik saya tetap sekolah karena dia lebih pintar dari saya,” ungkap Amir.

Pendapatan harian yang rata-rata kurang dari 60 ribu mampu membuat kehidupan Amir dan adiknya tetap bertahan mencapai mimpinya. Dan adiknya adalah satu-satunya harapan dan kebanggaannya.

“Keluarga kami di Nias Selatan sebenarnya masih ada, namun karena ada masalah mereka seperti menganggap kami bukan saudara lagi. Sejak itulah kami pindah ke Medan,” tuturnya masih dengan senyum yang polos walau tampak miris.

Setiap perjuangan pasti memiliki proses dan perjuangan di dalamnya. Begitu pun yang dialami Amir. Diakuinya, suatu hari dia pernah merasa frustasi, terus-terusan mengeluh, stres bahkan nekat mencuri untuk mendapatkan uang dengan cepat. Namun, sang adik yang tegar dan selalu memberi perhatian memberinya nasehat agar tidak bertindak gegabah.

“Saya begini karena dia. Dia selalu senyum dan bilang kalau mau berusaha kami pasti bisa,” ungkapnya. “Dia juga yang selalu bilang untuk jangan selalu mengeluh. Mengeluh itu virus. Bikin kita tidak menghargai hidup dan jadi penyakit tidak bahagia karena hidup itu seperti beban berat rasanya.”

Saya dan teman-teman saya yang masih menikmati kendaraannya langsung berhenti mengeluh dan saling pandang kemudian tersenyum. Entah mengapa hawa panas yang kami rasakan tiba-tiba berasa segar.

Sebelum sampai tempat tujuan, abang becak yang setiap pagi juga menjadi kurir angkat sebuah toko ini juga berkata, “Sebenarnya, kalau semua hal kita syukuri pasti ada hikmahnya. Stop untuk mengeluh, nikmati setiap kehidupan, lakukan yang benar, pasti kita bahagia.”

Becak pun berhenti tepat di depan gedung yang kami tuju, setelah membayar saya pun menanyakan dimana adikknya kini bersekolah. Dia menjawab sambil tersenyum bahagia penuh kebanggaan. “Akuntansi USU.”

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4