BOPM Wacana

Alibi

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Hadissa Primanda

Malam telah merangkak perlahan menuju fajar. Jarum panjang di dinding kamar perempuan itu berada lewat sedikit dari angka 3. Sementara yang lebih pendek tak mau kalah menyentuh angka 3 pula. Seolah tak ada beda. Sudah lebih 4 jam perempuan itu duduk termangu di depan laptop-nya. Panah kursornya hanya mampu berkedip-kedip sedari tadi, tak kunjung diajak bergerak si empunya. Halaman putih di layar itu pun masih tak bernoda. Setia menunggu muntahan pikiran yang tak terungkap untuk disajikan dalam bentuk cerita. Namun hampa.

Tatapan perempuan itu hanya nanar. Lurus menatap ke depan tapi kosong. Sementara pikirannya penuh sesak dan satu-satu berdesakkan ingin segera dikeluarkan, tapi ia tak kuasa.

***

“Kebodohan macam apa ini? Tidak adakah yang bisa kau tuliskan dari tadi?” pertanyaan itu muncul.

“Banyak. Aku sedang berpikir darimana hendak memulai. Ideku terlalu banyak hingga tak bisa kupilah mana yang pantas didahulukan” kilahnya.

“Bohong! Ini sudah lebih dari 4 jam, teman. Kau bahkan tidak mampu menuliskan satu kata pun. Ingat, ini bukan pertama kalinya. Hampir setiap malam dalam bulan ini kau begini”

“Aku sudah berusaha, Teman. Namun aku benar-benar kesulitan untuk mengisi lembaran kosong ini. Mana diksi terbaik yang menjadi awal dari perjalanan kalimat demi kalimat”

“Penulis yang baik itu tidak pernah berpikir panjang untuk menuangkan idenya. Mereka akan membiarkan jemari mereka menari di atas keyboard, tanpa memedulikan apapun. Menikmati tiap untaian kata yang terpatri di layar. Tulisan yang tulus, tanpa terlalu banyak berpikir”

“Heii.. aku penulis. Tidakkah kau sadar itu pula yang aku lakukan setiap menulis? Tidakkah kau lihat?”

“Hah.. Baru berapa kali memang cerpenmu dimuat di sebuah surat kabar? Apakah beritamu memang benar-benar layak naik untuk dibaca semua orang? Adakah penulis yang hanya menulis satu kali seminggu? Bahkan kini intensitasnya hanya satu kali sebulan? Dasar pembohong!!” tamparnya

“Tolong jangan panggil aku pembohong. Tidakkah kau sadar, aku penulis cerpen terbaik semasa putih abu-abuku. Puisiku bahkan dimasukkan dalam 10 puisi terbaik anak saat aku masih SD. Aku bahkan mengantungi gelar reporter terbaik tempat aku berkontribusi sekarang. Tidakkah itu cukup untuk menjadi bukti padamu bahwa aku memang penulis yang baik?”

“Itu dulu, Sayang. Sebelum kau berubah. Saat semangatmu masih menggebu-gebu untuk liputan. Saat di pikiranmu tak ada yang lain selain menulis, menulis, dan menulis. Kini yang kau lakukan tak ubahnya sebuah pembohongan publik, tak lebih”

“Apa maksudmu mengataiku demikian?”

“Apa kau tak sadar, namamu mulai jarang muncul di lembaran cetak tempatmu bekerja? Tak banyak lagi reporter muda yang bertanya tentang berita atau berdiskusi denganmu mengenai suatu permasalahan. Kau hanyalah redaktur cerewet yang sibuk memarahi mereka yang tak beres liputan, atau tak punya tulisan bagus untuk dinaikkan. Padahal tanpa kau sadari, kau tak lebih baik dari mereka. Jangankan untuk menulis, untuk liputan pun kau tak punya nafsu lagi”cecarnya.

“Itu karena aku punya pekerjaan lain. Aku harus mengedit banyak tulisan kacau mereka sehingga tak punya waktu untuk liputan lagi. Beda dengan mereka yang masih muda, dengan jam terbang yang lebih leluasa” belaku.

“Lalu, apa kabar dengan mereka yang berada di posisi yang sama denganmu? Atau bahkan pimpinanmu yang jelas-jelas memikirkan banyak hal lain yang lebih berat. Namun justru di saat itu pula beliau banyak berkarya, jadi panutan bagi mereka bawahannya. Kalau tak sempat liputan untuk sebuah berita, sebagai profesional kau harusnya mampu membuat sesuatu seringan puisi atau cerpen. Ditambah lagi, itu memang keahlianmu, bukan? Tapi kenyataannya palsu. Tak ada alasan, Gadis. Semua yang kau katakan hanya alibi. Pembelaan semata”

“Jadi maksudmu, aku ini tak pantas jadi penulis atau redaktur lagi?”

“Ya. Tentu saja. Kau tak punya apa-apa lagi, Sayang. Kau selalu menggaungkan pada dunia luar bahwa dengan menulis kita ada, tanpa menulis kita bukan apa-apa. Lalu? Seiring namamu yang mulai tenggelam di mata pembaca, nasibmu sebagai penulis turut luntur pula. Takkan ada lagi orang yang mengingat tulisanmu apalagi dirimu. Sudahlah, menyerah saja. Itu adalah pilihan terbaik yang bisa kau lakukan saat ini agar tak menambah beban mereka”

“Aku tidak mencapai semua ini dengan mudah. Jadi bagaimana mungkin aku meninggalkan semuanya tanpa kata? Aku punya hak pilih. Dan aku memilih untuk tetap berada di jalanku ini”

“Hidup ini bukan pilihan! Lagi, itu hanya alibi. Ia sebenarnya telah punya jalannya sendiri. Semua disuratkan dalam takdir, kau hanya perlu mengikuti alur yang telah tersedia itu. Dan kini, kau jelas-jelas tahu bahwa dirimu takkan mampu lagi menulis. Jadi percuma kau bersikeras karena semua akan sia-sia”

“Lalu, akan jadi apa hidupku setelah ini jika takdirku memang mengisyaratkanku untuk tak menulis lagi? Bagiku menulis adalah kehidupanku. Artinya, tanpa menulis aku sama saja mati”

***

Jari tangan perempuan itu gemetaran saat ia mulai menyentuh ujung-ujung huruf di keyboard-nya. Semakin ia berusaha untuk menekan satu huruf, getaran itu semakin hebat. Begitu pun dengan ujung kakinya yang berusaha mengimbangi irama getaran sang tangan. Sementara matanya hanya menatap kabur, membuat semua yang dilihatnya di layar itu tampak ganda.

Ini sudah pukul 4 pagi. Ia telah membiarkan 5 jamnya lahap di makan waktu. Ia telah berusaha puluhan kali untuk menulis daritadi namun tetap saja tak bisa. Pikirannya tetap saja berdialog tanpa henti. Membuat emosinya menyeruak paksa di sela-sela pertahanan sabar yang ia punya.

“AAAAAAARGHHHHH !!!!”

Perempuan itu telah sampai pada titik jenuhnya. Ia lelah dengan semua perdebatan batin yang menghantuinya beberapa waktu terakhir. Dibantingnya semua benda yang ada di hadapannya. Termasuk laptopmerah jambu hadiah ulang tahun dari orangtuanya, benda mati yang menjadi hidupnya beberapa tahun ini.

Semakin kuat getaran di tubuhnya, senada dengan semakin besarnya rasa sakit yang merongrong setiap sel sarafnya, semakin kuat pula erangan dan amukannya. Pecahan kaca vas bunga di mejanya pun berhasil menyayat pembuluh nadi di tangan kirinya. Ia lebih memilih mati, daripada hidup tanpa menulis. Darah segar mengalir di lantai kamarnya. Mengenai kertas hasil laporan pemeriksaan dari dokter, minggu lalu. Tertera di situ tulisan yang agak asing. Ataksia Friedreich*.

***

*Ataksia Friedreich merupakan penyakit menurun yang menyebabkan kerusakan progresif terhadap sistem saraf sehingga terjadi kemunduran fungsi dari jari tangan dan kaki, tubuh, vocal berbicara, dan juga pergerakan mata secara bertahap. Datang tanpa gejala yang pasti dan belum ditemukan penyembuhnya hingga sekarang. Biasanya menyerang penderita pada usia 20-30 tahun.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4