
Oleh: Rachel Caroline L.Toruan
Medan, wacana.org – Aliansi Gerakan Tutup Toba Pulp Lestari (TPL) kembali adakan aksi atas kasus penangkapan Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Sumatera Utara, Sorbatua Siallagan. Aksi ini diselenggarakan di halaman Pengadilan Tinggi Medan, Kamis (10/10/2024).
Hal ini didasarkan atas dibacakannya Surat Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 155/Pid.B/LH/2024/PN pada 14 Agustus 2024 dengan dakwaan pembakaran eucalyptus milik PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL). Dalam surat putusan pengadilan tersebut, Sorbatua dinyatakan bersalah atas tindakan sengaja mengerjakan, menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Akibatnya, Sorbatua dijatuhi hukuman pidana penjara selama 2 tahun, denda Rp1 miliar atau subsider enam bulan.
Aksi dimulai pukul 10.00 WIB, dihadiri puluhan masyarakat sipil, di dalamnya tergabung elemen mahasiswa, NGO, serta kumpulan masyarakat adat dari Kabupaten Simalungun. Melangkah dengan cita-cita: terjadinya pembebasan bagi Sorbatua Siallagan dan pemberhentian kriminalisasi bagi masyarakat adat. Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Jhontoni Tarihoran menilai bahwa putusan itu tidak adil dan meminta memproses sidang banding dengan seadil-adilnya kepada Hakim Pengadilan Tinggi Medan.
“Pak Sorbatua itu, berusia 65 tahun. Kalau dipikir, ga butuh lagi tanah sehektar itu. Bukan karena itu dia melawan, tapi untuk generasinya, untuk hak-hak kami, untuk kebenaran,” pungkas Jhontoni dalam orasinya.
Partisipan aksi silih berganti berorasi kurang lebih 90 menit di hadapan jajaran kepolisian. Aksi ini turut menyinggung Polres Simalungun telah keliru dalam penangkapan masyarakat adat Sipahoras di Buntu Pangaturan, Desa Sipahoras beberapa waktu lalu. Salah satu massa aksi, Dosmar Ambarita sebagai korban salah tangkap turut membagikan pengalaman pahit tersebut. Berawal dari kunjungan ke Desa Sipahoras, menginap di posko perkumpulan masyarakat Sipahoras. Saat itu, bertepatan pukul 3 dini hari, Dosmar dan 11 masyarakat adat Sipahoras, termasuk seorang ibu dan dua orang anak di dalamnya harus dikagetkan oleh dobrakan pintu puluhan orang tak dikenal.
Alhasil 5 orang ditangkap dan dibawa ke Polres Simalungun. Selain Dosmar, ada Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Giofani Ambarita, dan Parando Tamba. “Lagi pada tidur semua. Pintu didobrak, mereka langsung menyuruh kami diam dan disuruh mengikuti mereka. Kepala ku ditendang saat mereka datang,” tuturnya.
Selain kekerasan, Dosmar mengungkap bahwa sepeda motor miliknya turut dirusak oleh orang-orang tersebut. Interogasi berlangsung hingga Dosmar dipulangkan pukul 12 malam. Sementara empat lainnya, harus gigit jari, mendekam di balik jeruji. “Sampai sekarang gak ada pertanggung jawaban kalian, ya. Aku yang kalian salah tangkap kemarin. Dipukuli aku, motor ku pun kalian rusak. Sekarang kami nyampaikan aspirasi kami di sini pun susah kali didengar,” pungkas Dosmar dalam orasinya di aksi tersebut.
Menanggapi seruan aksi ini, Humas Pengadilan Tinggi Medan, John Pantas, meminta perwakilan lima orang dari partisipan aksi dapat masuk untuk mengomunikasikan hal ini. Kemudian, lima orang tersebut membawa beberapa berkas yang berisi surat permohonan, agar membebaskan Sorbatua melalui pembatalan surat putusan pengadilan tersebut. Surat permohonan yang dibawa memaparkan bahwa Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan sejak 1700-an lebih dahulu mendiami dan mengelola wilayah adatnya secara turun temurun, jauh sebelum Indonesia merdeka dan hadirnya PT. TPL.
Koordinator aksi, Doni Munthe menegaskan bahwa aksi ini berkelanjutan. Selain demi pembebasan Sorbatua, diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan Masyarakat Adat, juga Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. “Aksi ini terus kita jalankan, mengingat baru dilantiknya DPRD, maka akan ada aksi-aksi selanjutnya,” pungkasnya.