Oleh: Vanisof Kristin Manalu
Hidup itu bukan pilihan. Yakinlah. Tapi kita dipilih untuk hidup itu pasti. Sebab ada miliar sperma merebutkan satu posisi pemenang. Dan kita terlahir sebagai pemenang. Ya… Kita menang.
Di ruangan itu terdapat sebuah meja makan yang indah. Ukiran meja itu unik sekali. Sepertinya berasal dari Italia.
Di atasnya terdapat sebuah sendok makan beragam rupa. Ada yang memiliki tangkai yang ujungnya lebar, ada yang kurus dan ukurannya sedikit lebih kecil. Tak hanya itu. Tekonya juga lucu sekali, menyerupai bentuk kucing anggora. Tak lengkap bila tak diletakkan bunga indah di atasnya. Beraneka ragam dan rupa. Sinar matahari menyambut eloknya pagi masuk melalui celah-celah dinding tua itu. Bercahaya.
Kucing itu mengeong sekali menunggu sang tuan datang agar jamuan ini segera dimulai. Tak datang. Lama. Asap dari sup yang lezat mulai sedikit melambung menyambut udara. Aromanya membuat perut semakin lapar. Si kucing mengeong lagi. Kali ini berkali-kali. Kreekkk… Suara pintu dapur terbuka. Si kucing melompat dari kursi sambil berlari, mengelus-elus badan ke tubuh tuannya. Meski cahaya matahari menghalau wajah sang tamu, si kucing rupanya mengenal aroma dari sang tuannya.
“Letta, ayo makan!” sang tuan mengajak sang kucing sarapan. Letta melompat ke atas kursi yang menjadi takhtanya sambil menunggu sang tuan memberikan sepotong daging segar dipadukan saos tiram yang kental nan lezat.
Sang tuan memulai ritual paginya bersama Letta.
***
Taman itu luas sekali. Barangkali dua kali lebih luas dari lapangan sepak bola Argentina. Berisi puluhan jenis bunga indah dan puluhan jenis kupu-kupu beraneka ragam. Cantik sekali. Bahkan di situ rumput liar juga kelihatan indah bila dipadankan dengan tumbuhan lain.
Sebuah istana megah berdiri di taman itu. Tempat sang makhluk ajaib dengan dua wajah tinggal. Hanya seekor kucing yang menemaninya tinggal di sana. Wajahnya menakutkan, tak heran jika ia sendirian dan dikucilkan. Kaumnya memiliki lebih dari tujuh wajah.
Tak terima dengan nasib malangnya, ia lari dan mengurung diri. Kata keluarganya, tujuh itu sebuah kebanggaan. Angka keramat dengan segala keajaiban. Tak peduli musim silih berganti, wajah mereka dapat menyesuaikan.
“Hanya ada dua pilihan di dunia ini,” katanya menghibur diri saat ditanya kenapa memiliki wajah dua, “ya dan tidak.” Tak elak bila sejuta alasan di baliknya. Cerminan hidupnya melambangkan kesetiaan dan cinta yang tulus. Dan itu belum pernah dimiliki oleh dirinya bahkan seluruh keluarganya. Kenyataan bahwa ia berbeda telah mengasingkan dirinya saat ini.
“Tak perlu khawatir dengan keadaanmu, Lobres,” kata sang angin membuyarkan lamunannya. Ya, namanya Lobrestio Demino. “Dewa tak membiarkanmu menderita kalau tidak ada alasan di baliknya. Cari tahulah,” nasihat angin semakin membuatnya gusar.
Ia menatap langit sore. Lagi-lagi ia berpikir. Di tengah hutan lebat, apabila tak ada musuh yang ingin diterkam, apakah seekor singa jantan mampu dikatakan raja hutan? Dari mana kekuatannya berasal? Sementara dia tak bisa berbuat apa-apa untuk menunjukkan kekuatannya. Lobres semakin ragu akan pilihan-pilihannya.
Hari ini ia mengundang dewi bunga untuk mendiskusikan sesuatu. Bahwa siapa yang dapat mengatakan kaumnya lebih cantik dan indah ketika kaum lainnya musnah.
Sang Dewi Bunga seperti biasanya selalu harum membuat para kaum lain iri dan kagum. Ia tersenyum atas sambutan Lobres. “Terima kasih, Dewi,” tuturnya sopan sambil mengulurkan tangannya pada sang Dewi.
“Perlukan sebuah pengakuan bahwa sebuah gunung itu adalah gunung dan laut itu adalah laut, gunung itu tinggi dan laut itu asin?” tanya sang Dewi. Dia menunjukkan sebuah pohon yang muda hingga tua. “Pohon itu akan tumbang sendiri tanpa butuh bantuan kaum lainnya,” tegas sang Dewi sembari tersenyum dan berlalu dari pandangan Lobres.
Seiring berjalannya waktu ia semakin paham dengan kaumnya dan kaum-kaum yang lain. Tapi kenapa ia memiliki dua wajah masih belum dapat terjelaskan. Siapakah yang tepat diundang untuk menjelaskan hal ini.
Dia resah. Asanya semakin menjadi-jadi saja. Semakin paham dengan satu sisi dan bingung di sisi yang lain. Akhirnya, dia yakinkan dirinya untuk tidak melakukan apa-apa dan menunggu jawaban.
Pagi yang cerah, daun-daun berjatuhan diterpa angin pagi. Sinar matahari tampak bersahabat. Rencananya tak ingin melakukan apa-apa hari ini, dirinya malah didatangi oleh dua burung merpati. Cuitan burung itu membuatnya terganggu. Sekilas tampak ingin menyampaikan kabar baik, namun burung tersebut terbang sesaat kemudian. Bingung.
“Menyebalkan,” gerutunya. Lobres pun masuk ke dalam rumah megahnya. Dia bercermin sebentar, memerhatikan wajahnya lamat-lamat. Terasa berat dan semakin berat saja. Hanya di mana waktu berhenti di situ pulalah otak kita berhenti, pikir Lobres.
Kakinya semakin lemah untuk menahan badannya. Lobres tak tahu bagaimana dan siapa yang dapat menjawab pertanyaannya. Semilir angin kembali menyadarkannya akan kehadiran sang kucing. Umur kucingnya hampir sepuluh kali umur tuannya.
Kendati demikian, hal itu tak menghalangi rasa setia dan cinta antara si tuan dan kucing tersayangnya. Matanya menerawang keluar jendela. Senja tiba lalu gelap malam siap menjalankan tugas. Gelap dan terang. Lobres kembali merenung. Banyak bergulat dengan peristiwa duniawi membuatnya semakin gusar.
Namun, kali ini dia tahu kenapa kaumnya memilih banyak wajah. Jawabannya ada dalam pikiran dan jiwaku. Kenapa tak berdamai jika mereka dalam satu tubuh ini?
Semakin membingungkan.
****
Sarapan selesai, si tuan dan kucingnya bersiap mencari kebenaran akan hidupnya yang semakin membingungkan. Bunga-bunga di taman itu menggelitik indra penciumannya. Kali ini ia ingin belajar darinya. Siapa tahu, Dewi Bunga akan memberinya sedikit bocoran tentang hidup kaumnya atau dengan yang lainnya.