Oleh: Rati Handayani dan Febri Rahmania
“Aku rela dipenjara asal bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” – Muhammad Hatta
Satu-satunya SMP di Dusun I Desa Pardomuan itu hanya punya enam ruang kelas, satu ruang guru dan satu ruang kepala sekolah. Setiap tingkatan kelas masing-masing punya dua ruang kelas. Kontur tanah yang berbukit membuat sebagian ruang kelas dibangun berpencar. Di ruang kelas yang berada di kelompok bangunan yang lebih rendah, murid kelas satu, sedang belajar Bahasa Indonesia.
“Sekarang saya bagikan buku paket, tapi hanya bisa digunakan selama belajar ya. Nanti harus dikembalikan,” ucap sang guru memulai pelajaran.
Ima Novita Siregar, salah satu murid di kelas itu hanya bisa mengamini. Pun teman-temannya. Maka buku tersebut jadi satu-satunya modal melanjutkan proses belajar mengajar.
Novita yang menyukai pelajaran Bahasa Indonesia sebenarnya merasa sedih. Sebab ia hanya bisa membaca buku pelajaran kesukaannya itu saat pelajaran berlangsung. Tak ada buku lain di rumah. Dusun II Desa Pardomuan memang jauh sekali dari akses buku.
Kejadian serupa juga terjadi saat Novita belajar mata pelajaran lain. Kala itu sekolahnya belum memiliki perpustakaan. Di rumah, selain tak punya buku paket sekolah, Novita juga tak pernah punya majalah, komik atau buku pengetahuan umum lain. “Kami tak kenal majalah dan komik,” ujarnya
Desa tempat Novita tinggal memang jaraknya tak begitu jauh dari Tomok, sekitar sembilan kilometer. Tomok adalah daerah dengan dermaga terdekat yang jadi salah satu gerbang masuk Pulau Samosir . Tomok masih satu Kecamatan dengan Desa Pardomuan, yakni Kecamatan Simanindo. Dengan jarak yang tak begitu jauh, mengakses Desa Pardomuan tidaklah mudah.
Lagipula, di Tomok tak ada toko buku. Novita hanya ke Tomok jika ada keperluan memfotokopi keperluan sekolah. Di desanya dan di desa-desa tetangga tak ada tempat penyedia jasa fotokopi.
Selama duduk di SMP, untuk perkara memfotokopi keperluan sekolah ke Tomok, Novita hanya pernah pergi sekali. Perjalanan sembilan kilometer itu tak dapat ditempuh dengan waktu singkat. Jalan satu-satunya sebagai sarana keluar masuk desa itu belum diaspal, hanya jalan tanah dengan lubang-lubang berisi air di sepanjang jalan. Empat puluh lima menit hingga satu jam lamanya baru sampai.
Dari desanya, hanya ada satu angkot ke Tomok. Bukan perkara gampang bagi Novita menyesuaikan waktu agar angkutan ini bisa didapatkan. Untuk kembali ke rumahnya, ia harus sabar menunggu angkot itu penuh oleh penumpang kapal dari Parapat, daerah pinggir Danau Toba berlabuh. Jika ia berangkat usai sekolah, ia baru bisa kembali sore hari.
Itu terjadi sepuluh tahun lalu. Kini, satu dekade telah berlalu. Tak banyak berubah dari Desa Pardomuan. Desa dengan 152 kepala keluarga itu masih tak berkembang dari segi pembangunan. Namun ada sedikit harapan dari segi pendidikan.
Goklas Rihardo Situmorang, siswa kelas 8 SMP Negeri 3 Simanindo sedikit lebih beruntung dari Novita. Sekolahnya kini telah punya perpustakaan. Namun Goklas tetap tak puas, di perpustakaan hanya ada buku pelajaran dan beberapa yang bukan. “Paling buku ceritanya buku cerita rakyat, enggak menarik,” kata Goklas.
Di satu sisi, Goklas punya kisah sama dengan Novita. Ia masih harus berbagi buku pelajaran dengan temannya. Buku paket di sekolah dipinjamkan satu berdua dengan murid lain dan boleh dibawa pulang. Jika ada pekerjaan rumah, ia harus pandai-pandai mengatur peminjaman buku itu dengan temannya.
Saat duduk di bangku sekolah dasar (SD) pun demikian kejadiannya. Untungnya, saat kelas empat SD ia kenal dengan Sopo Belajar Lottung. Goklas merasa beruntung dapat membaca dan belajar di Sopo Belajar. Ia sempat terkejut dengan banyaknya buku yang bisa ia jumpai. “Namanya anak kampung, kaget lihat banyak buku,” katanya.
Sopo dalam bahasa Batak berarti rumah. Hampir lima ribu buku disimpan di bangunan yang dahulunya adalah lumbung padi yang lama tak terpakai ini.
Ide membuat Sopo Belajar datang dari Togu Simorangkir. Melalui yayasan nonprofitnya Alusi Tao Toba, ia menghimpun banyak sumbangan buku. Ide tersebut muncul saat kunjungan Togu ke rumah ompung-nya—nenek—di desa yang terletak Kecamatan Onan Runggu, kecamatan tetangga Simanindo.
Untuk berkunjung ke rumah ompung-nya, Togu mesti melewati Desa Pardomuan. Dari dulu hingga pada 2009 itu, ia sama sekali tak melihat perkembangan pembangunan di desa-desa yang dilaluinya, terutama Desa Pardomuan. Jalan sejauh sembilan kilometer dari Tomok ke desa itu masih seperti cerita Novita kala SMP. “Macam kubangan kerbau,” kata Togu.
Selain melihat sarana jalan, Togu pun prihatin dengan kondisi anak-anak desa itu dan anak-anak Samosir umumnya. Anak-anak Samosir bermain di sawah, di pekarangan atau di jalan-jalan.
“Usai sekolah, mereka setiap hari mesti membantu orang tua di sawah atau di ladang,” kata Togu. Penduduk Samosir, khususnya Desa Pardomuan, umumnya bekerja sebagai petani. Di antaranya menggarap sawah, ladang atau kebun milik sendiri maupun milik orang lain.
Melihat keadaan itu, Togu merasa anak-anak itu terputus dari akses ke dunia luar. Terutama buku. Toko buku hanya ada di Kota Pematangsiantar. Untuk ke sana, mesti menyebrang Danau Toba dari Tomok ke Parapat di Kabupaten Simalungun. Lalu dari Kabupaten Simalungun baru ke Kota Pematangsiantar. “Menghabiskan waktu berjam-jam,” jelasnya lagi.
Togu pun meriset kebutuhan anak-anak akan sebuah perpustakaan dan tempat baca di tiga desa, ialah Desa Pardomuan, Parbalohan dan Parmonangan. Ketiga desa ini bertetangga dan terletak di Kecamatan Simanindo. Hasilnya, anak-anak itu butuh. Ia lalu mendirikan Sopo Belajar Lottung.
Setahun setelahnya, Sopo Belajar juga dibangun di Desa Parbaba Dolok. Sebuah desa di atas bukit di Pulau Samosir. Tepatnya di Kecamatan Pangururan. Jaraknya kurang lebih 33 kilometer dari Tomok. Jalan dari Tomok ke Pangururan lebih bagus dari pada jalan ke Desa Pardomuan. Namun, mulusnya aspal hotmix hanya sampai Gedung Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Samosir. Begitu masuk ke Desa Parbaba Dolok, lain ceritanya.
Untuk mencapai Desa Parbaba Dolok yang berada di atas bukit mesti menempuh jalan tanah menanjak dan berbatu. “Pendidikan di sana juga masih tertinggal, padahal dekat dengan kantor DPRD,” kata Togu.
Lebih Dekat dengan Buku
Goklas cerita, dulu ia tak suka baca sebab tak banyak buku yang ia jumpai. Dengan adanya Sopo Belajar Lottung, minat bacanya meningkat. Koleksi Sopo Belajar Lontung memang beragam, di antaranya ada buku cerita anak, majalah, ensiklopedia, buku-buku dunia hewan dan tumbuhan, komik, buku rohani, novel hingga buku pendidikan lingkungan.
Sejak dibukanya Sopo Belajar Lottung, tak kurang empat jam setiap harinya Goklas ke Sopo Belajar Lontung untuk sekadar baca buku atau ikut kelas yang digelar.
Dertina Sinaga, ibu Goklas pun membenarkan jika anaknya telah pulang sekolah, setelah ganti baju dan makan siang, langsung lari ke sopo belajar.
“Enggak tidur dulu?” ucap Dertina menirukan pertanyaannya setiap Goklas hendak pergi. Anaknya selalu menjawab tidak.
Goklas memang lebih senang belajar di sopo belajar. Metode belajar sambil bermain membuatnya betah di sana. “Kita bisa pilih sendiri ingin belajar apa setiap harinya. Asyik, ” katanya. Terlebih jika bosan, biasanya relawan sopo belajar adakan permainan.
Togu memang mendesain sopo belajar dengan metode belajar sambil bermain. Beda dengan sistem pendidikan di sekolah yang tujuannya mengejar hasil akhir berupa nilai.
Oleh karena itu ia merancang kelas yang bebas untuk meningkatkan komunikasi dan sosialisasi sesama anak. Sehingga anak-anak percaya diri dan mampu berkomunikasi dengan baik.
Sopo belajar memiliki beberapa kelas, di antaranya kelas mewarnai dan menggambar, kelas film edukasi, kelas membaca bersama, kelas bercerita, kelas kreativitas dan kelas english for fun. Kelas-kelas ini berbeda dengan pelajaran di sekolah. “Kalau di sekolah, diajari semua pelajaran. Suka tak suka, anak dituntut bisa. Padahal masing-masing anak punya ketertarikan sendiri,” katanya.
Novita, yang sejak 2011 lalu jadi relawan pengajar satu-satunya di Sopo Belajar Lontung pun cerita hal serupa. Ia cerita rasa percaya diri anak-anak dibangun lewat metode dalam belajar. Misalnya, dalam kelas bercerita, setelah anak-anak membaca buku, tiap anak diminta untuk menceritakan apa yang ia baca di depan anak-anak lain. “Mereka dilatih berbicara di depan banyak orang,” katanya.
Sebelumnya, berdasar pengamatan Togu, anak-anak Samosir memang umumnya pemalu. “Sifat anak kampung ya begitu, malu berjumpa orang baru. Jaga jarak sama orang baru,” jelasnya. Oleh karena itu, sifat ini juga ingin dihilangkan Togu lewat kelas-kelas di atas.
Memang, sejak belajar di Sopo, Goklas jadi lebih aktif bicara. Selain baca buku dan ikut kelas, ia pun sering mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dari sekolahnya di sopo belajar. “Di sana kan banyak buku untuk referensi,” katanya. Goklas merasa terbantu karena di rumahnya pun minim buku.
Novita membantu anak-anak mengerjakan PR. Dalam tugas yang satu ini, kadang ia menemui kesulitan. Misal saat mengerjakan PR Matematika, ia lupa rumus-rumus. Tak hanya Matematika, untuk ajarkan bahasa Inggris ia merasa kemampuannya masih kurang. Ia hanya mengajar hal-hal dasar seperti angka, huruf dan kosakata. Maka sebelum mengajar, ia mengisi dirinya terlebih dahulu.
Itu juga yang dirasakan Emmanuel Sinurat. Lelaki 38 tahun. Ia relawan di Sopo Belajar Janji Maria. Pria yang lebih senang disebut pustakawan ini pun merasa ilmunya masih pas-pasan untuk mengajar anak-anak di desanya. Terutama dalam Bahasa Inggris. “Apa yang tertulis sama bacaan dalam Bahasa Inggris kan beda,” katanya. Seperti Novita, ia hanya mengajarkan dasar-dasar Bahasa Inggris sebisanya. Lebih dari itu, ia hanya bisa berikan tenaganya.
Melihat kondisi relawan, Togu menyatakan sopo belajar bukanlah tempat les yang pengajarnya punya kewajiban mampu menjawab semua pertanyaan anak-anak. Namun ia mengakui kondisi relawan saat ini bukan kondisi ideal. “Tapi kalau menunggu ideal, yang ada tutup sopo belajar ini,” jelasnya.
Togu kembali menjelaskan semangat didirikan sopo belajar hanya dengan semangat ingin berbuat. Dalam berbuat menurutnya tak boleh ada kata tapi. Apalagi jika dalam kondisi kurangnya relawan saat ini. Ia punya prinsip, berbagi dengan apa yang dipunyai dan apa yang bisa dilakukan.
Ia pun cerita untuk mendapatkan relawan bukanlah hal mudah. Sejak dibukanya Sopo Belajar Lontung, hanya ada lima relawan termasuk Novita. Sedangkan di Sopo Belajar Janji Maria, Emmanuel bisa dibilang hanya sendiri hingga kini, walau sempat ditemani seorang relawan dalam waktu tak kurang dari dua bulan di awal.
Togu tak membuka pendaftaran khusus untuk merekrut relawan. “Terbuka untuk siapa saja dan kapan saja. Anytime,” katanya. Namun kembali ke permasalahan dsar, tak banyak yang berminat. “Pun kebanyakan yang mau jadi relawan nanya gajinya berapa,” kata Togu.
Walau hanya sendiri mengajar dan menjadi pustakawan di Parbaba Dolok, Emmanuel tak terlalu permasalahkan. Ia memberi apa yang ia miliki semampunya, termasuk tenaga, agar pendidikan anak-anak desanya maju. “Pendidikan itu penting untuk menjadikan anak berkualitas,” kata Emmanuel. Ia berharap anak-anak desanya yang masih tertinggal dalam hal pendidikan jadi orang berpengetahuan.
Harapan Novita dan Emmanuel ini sama halnya dengan cita-cita awal Togu. Togu berharap anak-anak Samosir bisa mengenal dunia luar lewat buku dan belajar selain pelajaran di sekolah sehingga mereka mampu bermimpi.
Sebelumnya kata Emmanuel, kebanyakan mimpi anak-anak desanya sederhana. Sambil memperlihatkan kertas kecil Emmanuel berkata,
“Lihat ini, sederhana kali kan mimpinya? Dia Cuma mau minum jus.”
Seperti cerita Togu, ada seorang anak di Desa Pardomuan datang ke sopo belajar. Ia menulis mimpinya yaitu ingin pergi ke Pematangsiantar karena belum pernah ke sana. Namun sekarang, setelah sopo belajar, mimpinya berubah. “Ia ingin jadi pilot,” kata Togu. Selain anak yang diceritakan Togu, Goklas pun dengan yakin menyebut ia bercita-cita menjadi dokter.
Salah satu jalan yang Togu tahu untuk mewujudkan mimpi Goklas dan anak-anak Samosir lainnya, ialah dengan memberi mereka akses terhadap buku agar mereka berpengetahuan.
“Mereka calon pemimpin di masa depan, mereka akan jadi pembuat kebijakan, makanya harus berpengetahuan,” tutupnya.