Oleh: Rati Handayani
Judul | Bidadari yang Mengembara |
Penulis | AS Laksana |
Penerbit | Gagasmedia |
Tahun terbit | IV + 160 halaman |
Jumlah halaman | 214 |
Yakinlah, Anda tak akan punya alasan untuk tak menuntaskan bacaan Anda hingga cerpen terakhir, cerpen kedua belas. Sebab imajinasi, kata dan adegan cerpen yang hiduplah sumber kekuatan Anda.
A.S Laksana paham betul tulisan baguslah yang berguna dan dibutuhkan pembaca. Ia sempat mengungkapkan hal itu pada sebuah tulisan dalam blog pribadinya, aslaksana.blogspot.com. Tulisan itu berjudul ‘7 Saran Roald Dahl untuk Para Pemula’—pemula berarti penulis pemula. Saran pertama dan kedua Dahl, imajinasi bagus dan adegan hidup, jadi senjata ampuh A.S Laksana.
Namun A.S Laksana bukan penulis pemula. Ia telah menulis cerpen dengan berbagai judul. Dan antologi cerpen Bidadari yang Mengembara ini pun telah dipilih oleh Majalah Tempo sebagai buku sastra terbaik tahun 2004.
Tiga cerpen miliknya yang lain juga pernah terpilih dalam kumpulan cerpen terbaik Kompas. Ketiganya berjudul Seorang Ibu yang Menunggu (1996), Menggambar Ayah (1998) dan Dua Perempuan di Satu Rumah (2010). Kejutannya, cerpen pertama dan kedua yang dipilih Kompas itu ada dalam antologi ini! Ada juga cerpen Burung di Langit dan Sekaleng lem, yang pernah dibacakan A.S Laksana di Festival sastra Winternachten, Den Haag, Belanda. Kurang apa lagi?
Selain tiga cerpen itu, ada sembilan cerpen lainnya. Kedua belas cerpen itu lahir dari Ide-ide sederhana. Mulai dari masalah hubungan orang tua-anak, percintaan, hingga kehidupan masyarakat urban.Tapi napas ceritanya sama,—kecuali ‘Bidadari yang mengembara’—A.S Laksana tengah menjelaskan orang tua dan keluarga punya peran penting dalam membentuk anak.
Kedua belas cerpen itu dibangun A.S Laksana dengan imajinasi dan kata yang luar biasa memikat serta dengan adegan yang hidup. Bayangkan saja, cerpennya berbicara seks, berbicara kekerasan, dan berbicara hal-hal tabu lainnya. Tapi ketika membaca, Anda akan lupa bahwa ia tengah membicarakan hal–hal tersebut. Sebab A.S Laksana piawai berimajinasi lewat kata-kata yang memikat.
Seorang anak yang mencari tahu siapa ayahnya, sebab ibunya tak pernah memberi tahu, diceritakan dalam ‘Menggambar Ayah’. Sungguh, A.S Laksana membuat si anak menggambar ayahnya. Itulah imajinasinya.
Ini potongan tulisannya: Agaknya ibu tak pernah berpikir untuk memberiku seorang bapak. Maka aku membikin sendiri bapakku. Di kamarku, aku menggambar sebatang penis. Panjang seperti ular. Aku sebenarnya menggambar bapakku. Ia melingkar membelit dinding-dinding kamarku. Setiap hari menjelang menjelang tidur aku bercakap-cakap dan mengadu kepadanya. Kulihat kepalanya berdenyut-denyut. Ia hidup. Ia bicara. Ia menanggapi semua keluhanku.
Imajinasi yang memikat, bukan? Padahal dalam arti sebenarnya A.S Laksana tengah menceritakan kepedihan. Tapi imajinasinya tak mengeksplorasi kepedihan dengan terang-terangan. Malah pembaca akan hanyut dengan imajinasinya dan mencoba menebak kemana pembaca akan dibawa.
Laluada ‘Seekor Ular di Dalam Kepala’ dengan imajinasi lebih ‘gila’. Ide cerita sederhananya: masalah hubungan suami istri. Tapi pembaca tak serta merta akan tahu masalah yang tengah diceritakan. Lagi-lagi karena hanyut dengan imajinasi. Ide cerita itu baru akan disadari ketika selesai membaca cerpennya. A.S Laksana jago ‘menggantung’ pembaca.
Diceritakan seorang perempuan bernama Lin merasakan seekor ular masuk ke dalam kepalanya. Namun Lin tak merasakan perubahan apapun dalam dirinya. Lin pun menceritakan hal itu pada Rob, suaminya. Rob meminta Lin ke psikiater atau dokter bedah. Tapi Lin malah berselingkuh dan, jika Rob menceraikannya, Lin akan menikah dengan si psikiater. Akhirnya, sebagai suami yang bertanggung jawab, Rob memutuskan akan mengeluarkan sendiri ular dalam kepala istrinya yang jadi sumber masalah. Rob akan memecah kepala istrinya.
Begitulah, A.S Laksana membawa kita belok kiri-kanan dulu, baru menuju klimaks tak terlupakan. Saat belok kiri-kanan, hampir di semua cerpen, A.S Laksana memakai majas parabel. Dan saat itulah ia berimajinasi.
Selain jago’menggantung’ pembaca dengan imajinasi memikat. A.S Laksana membuat adegan yang hidup. Ia sungguh-ungguh membantu pembaca membangun imajinasi. Misalnya ‘Seto Menjadi Kupu-kupu’ yang punya banyak adegan. Di cerpen itu, A.S Laksana hanya sekali memisah adegan dengan simbol. Simbol pemisah adegan itu hanya dibuat saat terdesak, saat tak ada cara lain karena harus memutar alur.
A.S Laksana tahu pembaca harus dibuat nyaman dengan membuat cerita mengalir tanpa pemisah adegan. Padahal, sebentar-sebentar, A.S Laksana punya ide baru melanjutkan cerita. Walaupun modal ide lanjutan itu hanya satu kalimat sebelumnya. Dan tak hanya dalam ‘Seto Menjadi Kupu-kupu’ serta dua cerpen yang diulas di atas, tapi hampir di semua cerpen. Cerpen lainnya itu yakni ‘Seorang Ibu yang Menunggu’, ‘Burung di Langit dan Sekaleng Lem’, ‘Telepon dari Ibu’, ‘Buldoser’, ‘Bangkai Anjing’, ‘Rumah Unggas’, ‘Peristiwa Pagi Hari’, dan ‘Cerita Tentang Ibu yang Dikerat’.
Dua belas cerpen dalam buku ini berakhir kelabu. Dan Anda pasti akan kaget dengan akhir yang kelabu itu! Sebab A.S Laksana punya cara agar ceritanya tak terlupakan.