Oleh: Aulia Adam
Saya sedang berpikiran liar. Maksudnya, pikiran liar tentang diri saya sendiri. Bukan tentang buah dada menggiurkan milik Scarlett Johansson; atau bokong bahenol milik Beyonce Knowles (terkutuklah si jelek Jay Z yang sialnya sangat beruntung itu). Kali ini pikiran liar saya berisi semua apa-apa yang baunya negatif. Sedikit magis. Tapi sebenarnya sangat religius, tentang diri saya sendiri.
Pikiran-pikiran itu tentang kematian saya. Saya berpikir tentang bagaimana saya akan mati. Kapankah hal itu terjadi? Atau bagaimana orang-orang akan menyemayamkan jasad saya: akankah dikremasi, dipetikan, atau dibungkus kain kafan. Tapi yang jelas, orang-orang akan membongkar dulu isi dompet saya untuk mencari KTP, dan berakhir kecewa karena mereka hanya akan menemukan tanda garis penghubung di kolom agama. Dan karena pikiran ini saya tertawa.
Tak ada orang yang tahu kalau saya ini seorang agnostik. Orangtua saya juga sudah sejak lama memutuskan hubungan dengan cara mengusir saya, waktu saya masih duduk di bangku sekolah menengah. Sehingga identitas ini hanya diketahui oleh saya seorang. Karena saat memutuskan untuk jadi seorang agnostik, saya sedang sendiri, dan tak merasa punya tanggung jawab moral untuk memberitahu keputusan ini pada orang-orang.
Dan sebenarnya, identitas saya sebagai agnostik inilah yang membawa pikiran-pikiran tadi ke kepala saya. Semua pertanyaan-pertanyaan aneh yang harusnya tuntas di pikiran kita semua saat berusia delapan tahun. Saat pertanyaan tentang eksistensi Tuhan juga selesai kita jawab. Tapi, kita yang saya maksud adalah orang-orang yang meyakini agama. Agnostik seperti saya tak termasuk.
Kami dibuat bingung dengan tradisi-tradisi yang diciptakan agama. Tapi beruntung, abad 21 memberikan kita banyak sekali pilihan hidup. Dan lagi beruntung, karena salah satu pilihan itu adalah ‘memilih untuk tidak peduli dengan segala apa yang tak ingin kita pedulikan’. Tapi sekarang saya jadi mempedulikan satu hal yang selama ini tak saya pedulikan: tentang bagaimana kematian saya nanti? Tepatnya, bagaimana keadaan jasad saya nanti? Akan diapakan dia?
Semua pikiran ini akhirnya saya bawa ke Mas Dhan, flamboyan keparat yang sialnya adalah editor saya. Bujang lapuk-cerewet ini sialnya (lagi) adalah teman diskusi yang asyik. Dia mahatahu. Bukan sekadar serbatahu. Politik, ekonomi, sastra, hukum. Trias politika kacau yang dimiliki Indonesia, redenominasi yang ia sebut sebagai penanda berfungsinya otak manusia Indonesia, prosa-prosa beatnik yang gelap itu, bahkan hingga undang-undang desa termutakhir yang ia bilang sebagai, “undang-undang penipuan”.
“Penipuan?” tanyaku di sepotong sore, di Dunkin Donuts, saat gajiku atas lima artikel baru saja ditransfer bagian keuangan, dan sepertiganya dihabiskan si bujang lapuk keparat, Mas Dhan, sore itu juga.
“Pemerintah bilang di undang-undang itu, setiap desa di Indonesia akan dapat satu miliar. Tapi syaratnya dipersulit. Yang mereka anggap desa di Jawa harus punya enam ribu penduduk, Bali harus punya lima ribu penduduk. Sumatera harus punya empat ribu. Di Papua minimal 500 penduduk. Dari 72 ribu desa di negeri ini, sedikit sekali dong yang bisa dibilang desa,” ia tertawa sambil mengisap lintingan rokoknya.
Dan sialnya (untuk kesekian kali), si bujang lapuk memang selalu benar. Dan sangat rasional.
Begitu rasional pula menanggapi pertanyaan yang kubawa padanya sore tadi. Ia mengawali jawabannya dengan senyuman.
“Kamu maunya disemayamkan gimana?”
“Ha?” aku malah bingung, pertanyaan itu lupa kutanyakan pada diriku sendiri.
“Sudah kutebak, kau lupa pertanyaan satu ini.”
“Dikremasi!” tiba-tiba gagasan untuk tak punya kuburan sebagai tempat bersemayam, terdengar sangat… damai. “Aku tak mau sepuluh atau dua puluh tahun pascakematianku, kuburan yang menyimpan jasadku harus ditimbun bangunan apartemen atau mal. Ruhku pasti bakal sakit hati.”
“Pilihan bagus.”
Lalu, ada jeda. Ia mengisap linting rokoknya. Bujang lapuk ini memang perokok berat. Dalam sehari ia bisa menghabiskan tiga bungkus rokok.
“Lalu bagaimana?” jedanya terlalu lama. Aku butuh jawabannya lagi.
“Bagaimana apa?”
“Apa yang harus saya lakukan? Mayat saya pasti tidak akan bisa menjawab kalau ada yang tanya, hei kamu mau kami apakan? Bakar? Diikat tali pocong? Atau mau dicincang sekalian saja?”
Mas Dhan tertawa mendengar lelucon sarkastik saya. “Aku yang bakal jawab, Bodoh!” tangannya melemparkan kotak rokoknya yang sudah kosong ke kepalaku. Dan jitu!
Tapi lagi-lagi dia benar. Sekarang sudah ada orang yang tahu tentang identitas saya sebagai agnostik. Sudah ada orang yang akan mengkremasi tubuh jelek saya ini. Dan… saya tertawa karena kebodohan saya ini.
***
Saya sedang tidur siang di Kamis Legi saat dikabari kalau Mas Dhan tewas karena kanker paru-paru, dini harinya. Semua orang terkejut dengan kanker itu. Pasalnya tak ada yang tahu kalau tubuh si bujang lapuk sedang memakan dirinya sendiri. Tapi satu-dua orang sudah menduga, kalau Mas Dhan bakal koit digerogoti kanker. Dia kan pecandu akut rokok.
Kematiannya jadi sebuah ironi bagi saya. Sebabnya, perbincangan kami tiga minggu lalu adalah tentang bagaimana saya akan disemayamkan setelah bertemu kematian. Dan Mas Dhan berjanji bakal mengkremasi jasad saya. Sialnya, si bujang lapuk ini mencurangi saya dengan lebih dulu menemui Ezekiel. Betapa beruntungnya dia. Karena orang yang mati muda selalu dianggap keren, setidaknya saat pemakamannya para pelayat akan bicara hal-hal baik tentangnya. Bahwa yang bisa mati muda hanya orang-orang baik; orang-orang yang sangat dicintai Tuhan, orang-orang yang dirindukan-Nya.
Sial! Kenapa selalu saya yang sial dan Mas Dhan ini selalu beruntung! Bahkan saat dia sudah mati.
Di perbincangan itu, kami tak membahas pilihan alternatif kalau-kalau Mas Dhan yang mati lebih dulu. Dan karenanya sekarang saya kembali memikirkan bagaimana nanti saya akan disemayamkan? Siapa yang akan mengurus jasad saya?
Aduh, Mas Dhan. Kenapa kamu mati begitu cepat sih?
“Tidak usah bingung begitu. Mau diapakan pun jasadmu, ternyata itu tidak ada pengaruhnya. Kamu bisa tetap damai, Cameo.” Itu suara Mas Dhan. Dia tiba-tiba muncul di depan saya yang sedang singgah di makamnya, senja tadi.
“Kamu… jadi… hantu…, Mas?” saya memang tidak teriak, tapi Mas Dhan itu hantu pertama yang saya lihat.
“Aku tetap aku, Cameo. Cuma bedanya sekarang aku sudah tidak punya jasad lagi.” Dia tersenyum. “Oh, ya. Kamu harus cepat-cepat ke surga, Cam. Di sana benar-benar… aduh, tidak ada kata yang bisa benar-benar mendeskripsikannya.”
“Kamu editor, Mas. Cari kata yang tepat!” aku jadi penasaran.
Dia tertawa.
“Heh, tapi tunggu dulu. Jadi perokok akut seperti kamu bisa masuk surga? Kamu orang baik, ya, sampai-sampai neraka tidak mau menerima kamu.”
“Siapa bilang neraka ada.” Itu pernyataan bukan pertanyaan.
Aku menganga. Dan perbincangan kami berlanjut. Aku jadi seperti bocah lima tahun yang diajak mamanya belanja ke mal: jadi banyak tanya. Antusias, bising, dan banyak tanya.
Dan sejak hari itu, makam Mas Dhan jadi seperti surga bagiku. Aku akan datang ke sana jika butuh mendiskusikan sesuatu dengannya. Dan dia akan selalu datang saat senja, dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku.