BOPM Wacana

Consent, Permendikbudristek yang Harusnya Tidak Diperdebatkan

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Chalista Putri Nadila


Catatan awal, Permendikbudristek dibuat untuk melindungi civitas akademika dari kekerasan seksual.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) keluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang ditetapkan pada 31 Agustus 2021 di Jakarta.

Permendikbudristek ini terdiri dari 58 pasal yang mengatur lengkap jenis-jenis kekerasan seksual, cara pelaporannya, sanksi yang diberikan pada pelaku, penanganan terhadap korban, kewajiban perguruan tinggi, hak korban dan saksi, hingga pembentukan tim satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Yang membahagiakan, Permendikbudristek ini memperhatikan perlindungan korban dan saksi.

Permendikbudristek tersebut merupakan angin segar bagi masyarakat kampus di Indonesia. Sudah sejak lama, mahasiswa mendesak pemerintah untuk mengeluarkan peraturan tentang PPKS. Seperti yang dilakukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menuntut rektor UGM untuk segera mengesahkan peraturan PPKS yang sudah dijanjikan di depan Gedung Graha Pramana pada 2019 lalu.

Kita bisa melihat banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Menurut survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek mencatat 77 persen dosen mengaku bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Dan 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya itu.

Yang terbaru ada kasus oleh oknum dekan di Universitas Riau. Cerita tersebut dipublikasi di akun Instagram @komahi_ur. Dalam ceritanya, korban mengaku sudah melakukan pelaporan ke pihak dosen, namun korban malah dilarang untuk menyebarkan cerita ke orang lain.

Ketika suara korban yang notabenenya adalah mahasiswa disepelekan, dimana korban-korban kekerasan seksual perguruan tinggi ini bisa merasa aman dan mendapatkan perlindungan?

Menurut data Tirto, melalui formulir testimoni yang disebarkan ke publik melalui media sosial Tirto dari tanggal 13 Februari hingga 28 Maret 2019, ditemukan ada 174 kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Dari 174 kasus tersebut, hanya 29 orang saja yang melaporkannya ke pihak kampus. Sisanya yang tidak melaporkan menjelaskan bahwa mereka malu, takut, tidak punya bukti, atau takut dianggap berlebihan.

174 kasus tersebut hanyalah secuil kecil dari pizza di loyang. Masih ada ratusan bahkan mungkin ribuan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang belum dilaporkan atau sudah dilaporkan tapi tidak ditangani. Apalagi jika korban adalah sosok yang tidak memiliki power untuk menuntut pelaku. Bisa saja malah kena apes kedua kalinya.

Terutama korban yang berstatus mahasiswa. Sering mendapatkan berbagai macam bentuk ancaman, mulai dari tidak diberikan nilai sepantasnya, tidak diluluskan di mata kuliah tertentu, hingga dipersulit kegiatan akademiknya. Tidak hanya ancaman saja, pelaku yang lebih memiliki power dapat berkesempatan untuk melakukan gaslighting pada korban. Tetapi, tentunya korban tidak hanya mereka yang berstatus sebagai mahasiswa saja. Semua masyarakat perguruan tinggi berpotensi menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual. Melalui Permendikbudristek diatur dalam pasal 12, korban dijamin keamanannya dan dilindungi dari segala ancaman, untuk mahasiswa sendiri dijamin keberlanjutan menyelesaikan pendidikannya.

Kehadiran Permendikbudristek PPKS menjadi langkah awal untuk memberi ruang aman kepada mahasiswa dan civitas akademika. Kampus harusnya menjadi garda terdepan yang mendukung Permendikbudristek tersebut. Jika ada kampus yang tidak menjalankannya, maka sepatutnya Kemendikbudristek memberi sanksi keras.

 

Sebuah Konsep Sederhana

Lahirnya Permendikbudristek 30 ini banyak menimbulkan pro-kontra. Salah satunya karena konsep consent. Konsep ini disebutkan dengan frasa “tanpa persetujuan korban” yang terdapat dalam pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, dan m yang berbunyi; b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban  l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban; m. membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.

Salah satu pihak yang menentang konsep consent adalah Presiden Mahasiswa USU Muhammad Rizki Fadillah. Menurut Rizki Permendikbudristek melegalkan seks bebas karena frasa “tanpa persetujuan korban” yang menimbulkan tafsir lain. Rizki menuntut ditambahkan beberapa pasal dalam Permendikbudristek yaitu larangan seks di luar nikah dan larangan seks sesama jenis agar peraturan ini bisa diterima semua kalangan.

Pernyataan Rizki sungguh tidak berdasar. Pasalnya, isi dari Permendikbudristek berfokus pada kekerasan seksual. Seks bebas dan seks sesama jenis tidak termasuk dalam kekerasan seksual, namun tindakan asusila. Jika hal tersebut tidak diatur dalam Permendikbudristek bukan berarti perilaku asusila tersebut dilegalkan. Lagi pula tindakan asusila sudah diatur dalam Pedoman Perilaku Mahasiswa Universitas Sumatera Utara pasal 6 ayat 2 yang berbunyi, “Menjunjung tinggi tata susila dengan penuh tanggung jawab”.

Selain itu, consent tidak sama dengan seks bebas. Consent adalah sikap memberikan persetujuan tanpa ada paksaan, ancaman, dan hal-hal yang memaksakan untuk individu memberikan persetujuan terhadap suatu isu.

Menurut Psikolog Klinis Dewasa Tiara Puspita, M.Psi., Psikolog menjelaskan makna consent ini sebagai bentuk persetujuan afirmatif yang diberikan secara sadar, volunteer, dan tidak dalam hasutan atau ancaman untuk terlibat dalam berbagai aktivitas seksual atau non-seksual. Persetujuan yang dimaksud bisa berupa reaksi, rasa antusias, dan komunikasi.

Artinya jika salah satu dari kedua belah pihak tidak setuju dengan tindakan yang diambil, hal tersebut masuk dalam kekerasan seksual dan bukan seks bebas karena salah satu pihaknya dirugikan. Sebuah konsep yang sederhana dan menguntungkan, tapi mengapa malah diperdebatkan?

Ketika masih ada pihak yang mendebatkan Permendikbudristek artinya tidak bisa menangkap secara jelas kemana arah Permendikbudristek berpihak. Permendikbudristek ada untuk melindungi korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Komentar Facebook Anda

Chalista Putri Nadila

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU Stambuk 2018. Saat ini Chalista menjabat sebagai Pemimpin Redaksi BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4