Oleh: Suratman
Terus keintim-intiman yang kita nyala-nyalakan setiap harinya. Pergumulan, erangan, pada tiap malamnya selalu menyergap kita. Sepanjang lima tahunnya, malam kita selalu berasa hal itu. Berulang-ulang. Tapi, kita tidak memiliki keturunan. Kau paham, kau tidak kecewa, dan tidak menuntutnya.
***
Malam ini malam pertama kita. Hanya kau dan aku, berdua saja. Tanpa Ayah dan Ibu. Tak perlu bersedih, karena menikah itu pilihan kita. Sejak awal kau meyakinkan, jika cinta kita benar. Tidak ada yang salah.
Hanya Ayah, Ibu, dan mereka yang tidak sepemikiran dengan kita lalu mengatakannya salah. Ayah, Ibu, dan mereka bilang kalau kau bukan jodohku. Melainkan dia. Gadis Jawa berambut panjang itu. Mereka bilang kau ditakdirkan dengan dia. Bukan aku. Ia mencintaimu, menyayangimu, bahkan apa yang orang tuamu inginkan dapat ia berikan—keturunan.
Aku pun tau, saat ini gadis Jawa berambut panjang itu sedang menyimpan benih darimu dalam rahimnya. Ya, lima bulan sudah ia menyimpan benihmu dalam rahimnya. Kau tau, aku tau, orang tuamu juga sudah tau. Aku lihat dia, perutnya. Tapi kau bilang tidak mencintai dia, kau juga tidak mau mengakui perbuatanmu. Alasannya kau tak sadar melakukannya. Kau mabuk. Pikiranmu hilang dalam sabotase alkohol malam itu.
Aku tau, sebab kau sudah paparkan. “Itu anakmu” kataku. Tapi kau tetap mengelak. Nyatanya kau juga telah berpeluh-peluh dengannya malam itu. Penismu yang berdiameter enam senti juga telah merusak liangnya. Kalian menikmatinya. Berulang-ulang kalian lakukannya malam itu. Laharmu telah kau tumpahkan dalam-dalam ke liangnya. Bermiliar-miliar cairan semen milikmu kian lalap menyusupi ruang-ruang dalam celahnya. Hangat. Banyak.
Hasil pergumulan kalian berhasil. Satu sel sperma milikmu sampai dalam ovariumnya. Ovum berhasil dibuahi. Dia hamil. Lima bulan sudah saat ini.
Berkali-kali. “Tapi itu tanpa sadar,” alasanmu. Kau bilang hanya mencintaiku, terus kau yakinkan. Tapi, mereka bilang cinta kita salah, aku juga meragu. Lamat-lamat kau masuk dalam sorot mataku, matamu menajam, mencari-cari lorong lusuh keraguan dalam sudut pandanganku. Aku tetap ragu, bukan menyoal cinta. Tapi, nafas-nafas panjang yang berbisik mencibir menyatakan kenyataan. Aku terus menggamang. “Kau masa depanku,” sekatmu mengusar kegamanganku.
***
Lima tahun kita berpacaran, tanpa sepengetahuan orang tua, teman, serta mereka yang tak pernah sepemikiran dengan kita. Kendati demikian, lima tahun itu telah berlalu. Kini bukan lima tahun yang lalu, melainkan hari yang baru. Ayah, Ibu, dan mereka juga sudah tahu perihal kita. Mereka memang mencerca, melaknat juga.
Belanda menjadi pilihan kita dan mereka-mereka yang ingin membenarkan cinta yang tak pernah diakui. Tanpa ada Ayah, Ibu, serta mereka yang tak pernah sepemikiran dengan kita di sini.
Namun, seutuhnya kau jadi milikku saat ini. Setelah kau sematkan cintamu dalam jari manisku di altar suci siang tadi. Kau dan aku pun berikrar. Renjanaku lalu beraduk-aduk. Kau juga membenarkan renjanku dalam sorotmu. Kita tersenyum dalam lepas.
***
Malam tampak tiba, matamu tampak berkaca-kaca membias sinar lilin-lilin itu. Senyummu sumringah tanpa terganjal resah. Demikian senyumku turut menyambangimu. “I love you,” pelan-pelan kalimat itu kau susupkan dalam telingaku. Panjang-panjang nafasmu kau alirkan dalam tubuhku: mejalar mulai dari telinga, leher, hingga ke ujung-ujung jemariku. Aku kian membelalak, deru nafasmu kian dalam menyusuk ke genderang telingaku. Kau menggodaku.
Nafasmu merangsang saraf-sarafku, menderu-deru. Dengusan nafasmu menjajak jenjang leherku dengan leluasanya. Lidahmu tak luput turut berdansa meliuk-liuk hingga leherku berliur. Tertanggal bercak merah-merah. Bukan luka, melainkan gumpalan darah yang tidak mengalir.
“Arrghhhhhh,” mulutku mengerang menahan rasa yang masih tak tertanggung sakitnya. “Maaf jika masih terasa sakit,” bisikmu.
“Arghhhhhh,” erangan nafas panjang kembali menjalar ke segala sisi ruang kamar berukuran tiga kali empat ini. Bukan dari mulutku, melainkan suara eranganmu saat meraih klimaksnya setelah satu jam lebih kita beradu peluh. Kita melemas. Kau terkulai dan aku terlelap dalam dekapanmu. Aku bernafas panjang, menyudahi malam ini.
***
Kring..kring
Ponsel Dion bergetar. “ Ayah sakit. Pulanglah. Ayah merindukanmu,” pesan dari mama Dion. Aku diam. Kutunjukan pesan tersebut pada Dion. “Pulanglah. Ayahmu sedang sakit di sana. Dia pasti merindukanmu. Kau anak satu-satunya, datang dan lihatlah dia,” ucapku meyakinkan Dion untuk menemui Ayahnya yang berada di Indonesia.
Pada hari yang sama Dion memesan tiket dan langsung berangkat ke Indonesia. Sendiri. Aku tak ikut, takut menambah masalah Dion dengan keluarganya.
Keesokan harinya Dion mengirim pesan jika ia sudah tiba di Indonesia. Akupun lega, kemudian aku bertanya perihal kondisi orang tuanya. Tak langsung dijawabnya. Keesokan hari kutanya kembali kabarnya juga kondisi kesehatan Ayahnya. Tetapi tetap tak ada jawaban darinya. Seminggu Dion di Indonesia tak sekalipun pesan Whatsappku dibalasnya. Aku khawatir.
Penerbangan pertama di hari ini pun langsung aku pesan dan bergegas terbang ke Indonesia untuk melihat Dion. Kekhawatiranku terlalu akut. Tiba di bandara Halim Perdana Kusuma aku langsung bergegas memesan taxi berlogo burung berwarna biru menuju rumah orang tua Dion di Jakarta Selatan. Perjalanan yang melelahkan tak aku pikirkan lagi, demi mengetahui kabar Dion.
Setiba di perkarangan rumah orang tua Dion, “Ayah.. Ayah.. Ayah..,” terdengar suara anak lelaki berusia lima tahun memanggil-manggil ayahnya. Kubuka kaca taxi, samar-samar kulihat seorang pria sedang bermain dengan anaknya yang berusia lima tahun tersebut, di sebelahnya tampak wanita muda berusia dua puluh delapan tahun yang kelihatan seperti istrinya. Sebab mereka memiliki cincin yang sama di jari. Aku lihat pria itu bahagia sekali, sesekali kulihat juga ia mencium kening wanita itu. Juga merangkul anak itu. Aku iri.
”Aku sudah di depan rumah. Kamu di mana? Pesanku terkirim dengan nomor tujuan Dion. Sembari mengirim pesan ke Dion, tetap kusaksikan keluarga kecil tersebut bermain di pelataran rumah itu, beberapa menit setelah itu kulihat pria tersebut beranjak ke depan pelataran rumah. Samar-samar kuperhatikan pria itu. Dengan seksama. Aku sedikit meragu. Kuusap-usap mataku coba mengenali pria itu. Jantungku bergetar kencang, hatiku seperti terbakar. Pria itu Dion. Suamiku.
***
Akhirnya aku sampai di Belanda. Negara yang telah mengikrarkan aku dan Dion. Tempat dengan seribu kenangan, itu dulu. Sebab, kini wanita itu dan anaknya telah mengambil Dion dariku. Aku tahu, cinta kami tak mungkin bertahan lama. Aku mengerti itu. Terlebih, kami tidak bisa menghasilkan zigot karena tidak memiliki sel telur dan juga rahim untuk menempatkan bayi kami nanti. Karena cairan semen telah menyamakan kami dalam takdir, baik secara bentuk dan fungsi.