Oleh: Widiya Hastuti
Apa yang akan dilakukan manusia saat tanah kelahirannya tak lagi aman? Meski dicintai, tanah air itu bukan lagi rumah yang melindungi. Akhirnya, pilihan terakhir mereka adalah pergi.
“Setiap hari, saya mendengar kisah seram orang yang melarikan diri demi hidup, melintasi perbatasan berbahaya dan lautan yang ganas,” kata Melissa Fleming, juru bicara Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengungsi, pada Voice of America.
Fleming menceritakan kisah Dooa, gadis 19 tahun yang usaha ayahnya hancur dihantam bom. Dalam keputusasaan, Dooa memutuskan untuk pergi dari Suriah dengan kekasihnya, Bassem. Dooa tidak pernah mengenal lautan, tapi ia yakin untuk mengarungi laut Mediterania.
Dengan membayar 2.500 dolar per orang kepada penyelundup, Dooa berangkat naik kapal pancing kecil yang didesaki sekitar lima ratus orang di atas dan tiga ratus orang di bawah kapal. Selama empat hari mereka berdesakan di kapal. Banyak yang mual dan mulai lemas. Sang kapten kapal tidak memberi kepastian kapan mereka akan sampai di daratan hingga sebuah kapal kecil datang menusuk kapal mereka.
Kapal tenggelam. Penumpang bertebaran di air. Ada yang selamat dan tak sedikit pula yang menjadi mayat. Dooa melihat orang terpotong baling-baling. Seorang laki-laki sengaja menenggelamkan dirinya. Ada seorang ibu yang memberikan bayinya pada Dooa dan kemudian tenggelam. Lalu, seorang ayah juga memberikan bayi berusia sembilan bulan padanya.
Setelah empat hari terapung di laut, sebuah kapal dagang menyelamatkan mereka. Satu bayi pungut Dooa menghembuskan napas terakhirnya. Hanya sebelas orang yang selamat pada kejadian naas itu. Mereka dibawa ke Pulau Creta dan pembunuhan masal itu tak pernah diusut.
Ada banyak Dooa-Dooa lain saat ini. Banyak warga di suatu negara mengalami hal sama dengannya. Seperti dilansir Cable News Network (CNN) tahun ini 65.3 juta orang terlantar di seluruh dunia karena konflik dan penganiayaan. Pengungsi terbesar berasal dari negara yang sedang mengalami konflik seperti Suriah, Palestina, Irak, Yaman, Somalia, Nigeria, Sudan Utara, dan Sudan Selatan.
Di Irak, lebih dari 3 juta orang kehilangan tempat tinggal sejak 2014 dan 220.000 di antaranya menjadi pengungsi dalam negeri. Enam dari sepuluh warga Suriah kehilangan tempat tinggal. Dengan total 8,7 juta orang kehilangan tempat tinggal tahun ini dan 6,6 juta di antaranya meninggalkan Suriah. Sedangkan Palestina memiliki 5,2 juta pengungsi dan 4,4 juta dari Irak.
“Mereka tak mempunyai persediaan makanan, sumber air kering, dan tak ada yang tersisa untuk bertahan hidup,” kata Koordinator Bantuan Darurat Stephen O’brein, dalam situs resmi PBB. Ia mengungkapkan faktor-faktor penyebab banyaknya pengungsi yaitu kelaparan, konflik, dan penganiayaan.
Berlayar menjadi salah satu cara mengungsi yang paling banyak dilakukan. Lebih dari 349.000 orang menempuh jalur laut menuju Eropa tahun ini. Mereka menggunakan perahu-perahu kecil untuk menyeberangi lautan bahkan samudera. Tanpa petunjuk arah dan bekal yang cukup, mereka meninggalkan negaranya yang tidak menjanjikan kehidupan, hingga terdampar atau ditemukan nelayan.
Sekitar 4.700 pengungsi tenggelam dan mati di lautan. Tak sedikit yang kelaparan saat ditemukan. Harapan para pengungsi ini sama dengan Dooa; mendapat uluran tangan dunia atau terdampar di pulau yang lebih baik.
Situasi ini merupakan hal yang terburuk selama sejarah menurut catatan PBB sejak berdiri pada tahun 1945. Beberapa negara seperti Turki, Pakistan, dan Irak menjadi penampung terbanyak pengungsian. Pengajuan suaka pun marak. Satu juta orang mencari suaka baru tiap tahun. Jerman menjadi permintaan suaka tertinggi dengan 441.900 permintaan.
Besarnya pengungsian ini menyebabkan tingkat kematian tinggi serta menurunnya perekonomian negara yang ditinggalkan dan negara yang ditempati. Anak-anak kehilangan masa depan akibat kurang pendidikan. Status kependudukan pun menjadi dampak dari banyaknya pengungsian. Sekitar sepuluh juta orang diperkirakan tak memiliki kewarganegaraan di seluruh dunia. Pengungsi pun menjadi manusia tanpa harapan yang hanya dapat menunggu bantuan atau berdoa negerinya kembali aman.
“’Apa pelajaran kesukaanmu?’ dan ‘Apa cita-citamu?’ Waktu itulah wajahnya berubah kosong dan dia berkata, ‘Saya tidak punya masa depan. Masa sekolah saya sudah berakhir’,” ujar Fleming saat menceritakan seorang gadis kecil yang dikunjunginya di Somalia.
Dengan situasi ini sangat diharapkan PBB mengambil sikap tegas terhadap negara-negara yang sedang konflik dan melakukan penganiayaan kepada warganya. Hanya solusi politik yang dapat mengakhiri penderitaan ini. Konflik yang terus berkelanjutan akan menyebabkan semakin meningginya tingkat pengungsi, kelaparan dan kematian.
Mengapa tak banyak yang dilakukan untuk menghentikan peperangan, penganiayaan dan kemiskinan yang menggiring begitu banyak orang ke pesisir Eropa? Sampai masalah ini terselesaikan, mereka akan terus menantang lautan serta mencari keamanan dan suaka.