31 Desember 2012
Tak ada yang kutakutkan selain kehilangan dirimu. Lagi pula sejak awal aku sudah diperingatkan tentang hari ini, hari di mana aku harus rela melepaskanmu, mau tak mau, sedia tak sedia, siap tak siap. Maka, sebenarnya adalah kesalahanku yang begitu tolol mencintaimu, meski tahu kalau hal itu haram. Aku akan merindukanmu. Selalu.
Rudi menangis membaca surat itu. Ia tak tahu kenapa, bahkan bingung dari mana dan dari siapa surat itu datang. Yang dia tahu, perasaan sedih muncul karenanya.
***
31 Desember 2005
Besok Rudi akan berulang tahun yang kesepuluh. Dan persis seperti tahun-tahun sebelumnya, seluruh keluarga ini disibukan oleh persiapan pesta ulang tahunnya yang selalu dibuat megah. Alasannya karena ulang tahun Rudi bertepatan dengan Tahun Baru. Jadi anak itu selalu saja dapat jatah kado double yang membuat mulutnya tak berhenti cengengesan.
“Naomi, aku dapat ini dari ayah!” dengan tampang angkuh, Rudi memamerkan sepeda barunya padaku.
“Bagus sih, tapi kau kan tidak bisa naik sepeda,” ledekku.
“Makanya aku bawa ke sini. Supaya kau bisa mengajariku!”
Aku malah tertawa mendengar permohonan bernada ketusnya.
Bocah ini memang sedikit arogan dan keras kepala, terkadang etikanya juga tidak terlalu baik untuk bocah seumurannya. Tapi Rudi punya karisma aneh yang membuatku tak pernah bisa menolak permintaannya. Lagipula, dia satu-satunya teman yang kumiliki. Bukankah itu tugas seorang teman? Mengabulkan semua permintaan temannya, toh aku bukan ayahnya yang harus memikirkan apa yang boleh dan yang tidak untuk kebaikannya.
Jadi, sore itu kami habiskan untuk bermain bersama sepeda baru Rudi. Hingga Ratih, ibu Rudi, memanggilnya masuk untuk mandi dan siap-siap menyambut Malam Buka Tahun.
Sebenarnya, hari ulang tahun Rudi adalah hari yang paling kubenci setiap tahunnya. Aku benci ketika Waktu menyadarkanku bahwa Rudi akan (dan harus) tumbuh.
31 Desember 2008
Hari ini Rudi merajuk. Dia uring-uringan sepanjang hari. Pasalnya, Rianti, gadis yang selama ini dia sukai malah tak mau diajak jadi pacar. Padahal Rianti adalah cinta pertama Rudi. Gadis itu cantik, ramah dan pintar. Bahkan punya kaki yang kelampau jenjang untuk bocah berusia tiga belas tahun. Tapi Rudi tak kalah tinggi. Tampangnya juga lumayan keren. Jadi, bisa dibilang Rudi punya modal yang bagus untuk diterima, selain punya rasa percaya diri tinggi yang juga ia jadikan modal.
Tapi, hidup adalah judi. Ujungnya selalu tak tertebak.
“Bu, lihat Naomi?” sayup-sayup aku mendengar suara Rudi dari lantai bawah. Tadi dia kutinggalkan di dapur, di tengah kesibukan orang-orang rumah ini yang sibuk menyambut tahun baru.
“Kau sudah besar, Rud. Berhenti bermain dengan Naomi,” kata Ratih sekenanya; sambil angin lalu.
Rudi pasti hanya mendengus, karena yang kudengar selanjutnya adalah langkah kakinya di anak tangga. “Di situ kau rupanya!” katanya saat melihatku meringkuk di kasurnya.
“Kau kenapa, Naomi?” Rudi mengambil tempat di sebelahku; merebahkan setengah badannya, sementara kepalanya mengambil tempat di sandaran kasur.
“Sama sepertimu. Sedang dalam mood yang buruk,” ucapku sambil mendengus.
“Kenapa? Kau juga ditolak orang yang kausukai?”
Aku hanya diam. Tebakan Rudi memang tidak jitu, tapi juga tidak terlalu meleset. Mood-ku hari ini memang akan selalu rusak, karena hari ini tanggal 31 Desember—sehari sebelum Rudi berulang tahun. Ditambah lagi, aku memang merasa seperti dicampakan orang yang kusuka, hari ini
“Kenapa diam? Aku masih sahabatmu kan?” Rudi menyundut pinggangku dengan jempolnya sambil tergelak.
“Iya… iya, aku cerita,” ujarku. “Tapi berhenti menggelitikku.”
“Oke,” ujarnya buru-buru sambil membetulkan posisi duduk. Seolah-olah dia memang siap mendengarkan celotehanku.
Sebelumnya aku menarik napas. Mencoba menyusun kata-kata yang lumayan menyesakan dada bila tak disampaikan. Tapi yang keluar hanya: “Besok ulang tahunmu. Aku kesal karena itu.”
Tentu saja Rudi malah tertawa, bukannya merasakan apa yang sedang kurasakan. “Kau ini suka sekali bercanda, Naomi. Bisa-bisanya kau murung karena hari ulang tahun kawanmu,” ia menjitak kepalaku dengan bantal.
“Tapi aku serius, Rud. Kau tahu kan alasannya! Kau semakin dewasa, dan itu berarti waktu kita untuk bersama semakin menipis.” Akhirnya kata-kata itu keluar. Kata-kata yang selama ini kupendam bersama kepedihan dan rasa takut kehilangan.
“Tapi bukannya kau bilang itu memang harus terjadi, Nao? Kita memang harus berpisah. Kau kan yang mengingatkanku di pertemuan pertama kita?”
Aku tersentak. Tak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut Rudi. Ternyata hanya aku yang mengganggap serius perpisahan kami. Dan karena rasa sakit yang mendadak membuat dadaku sesak dan mataku panas, akhirnya aku menangis.
“Nao? Apa aku salah bicara? Kenapa kau menangis?” Rudi mengusap pundakku. Sepertinya memang merasa bersalah.
“Tidak. Kau benar. Semuanya memang harus terjadi begini.” Aku tersenyum. Tepatnya, memaksa diri untuk tersenyum. Tapi aku bersungguh-sungguh dengan apa yang barusan kuucapkan. Rudi memang benar. Dia semakin dewasa dan tidak membutuhkanku lagi.
31 Desember 2010
Besok ulang tahun Rudi yang kelima belas. Dia sudah tumbuh jadi remaja yang benar-benar tampan. Pipinya menirus, lekuk badannya mulai terlihat, tingginya mengganda berkali-kali lipat, dan kumis, janggut serta cambang tipis mulai menutupi sebagian wajahnya.
Rudi juga jadi break-dancer yang andal sekarang. Ia bergabung dengan beberapa temannya yang penari jalanan untuk membuat grup. Dan grup mereka benar-benar tenar belakangan ini. Otomatis jadi jarang di rumah. Bahkan, dia tak mau lagi ulang tahunnya dirayakan. Malu, katanya beberapa hari lalu.
Sialnya, hubungan pertemananku dengan Rudi adalah hubungan yang searah.
Maksudnya, Rudi bisa menemuiku kapan saja, selama apa pun, terserah maunya. Tapi aku tak bisa begitu. Aku tidak bisa mendatangi Rudi kalau dia tidak mau aku mendatanginya, tak peduli seberapa inginnya aku bertemu dia. Aku bahkan tak bisa bicara dengan Rudi kalau temanku itu sedang tak mau bicara denganku.
Dan, tidak ada lagi yang membuatku frustrasi selain perkara aturan hubungan ini.
31 Desember 1999
“Hai, Rudi!” aku menyapa bocah empat tahun yang sangat lucu. Pipinya tembam, matanya bulat, hidungnya mungil tapi begitu mancung; benar-benar bocah yang menggemaskan.
“Hai! Kakak siapa?” jawabnya santai. Sama sekali tidak terkejut dengan aku yang merupakan orang asing.
“Namaku Naomi,” ujarku seraya menjulurkan tangan kanan, berharap sambutan hangat darinya. Dan benar saja, Rudi kecil tanpa ragu-ragu menjabat tanganku.
“Peringatkan dia, Naomi,” Ayah yang berdiri di sampingku tiba-tiba bersuara.
“Iya, Yah. Tidak perlu disuruh, aku juga bakal bilang,” sahutku ketus. “Rudi sayang,
kepalaku kembali beralih ke arah si bocah. “Aku ini teman imajinasimu. Salam kenal ya.”
“Apa itu teman imajinasi, Kak?” Rudi ternyata anak yang pintar dan kukira aku akan gampang menyukainya.
“Teman imajinasi adalah kawan yang akan selalu menemani kamu sampai nanti kamu berumur 17 tahun. Saat kamu sudah dewasa,” jelasku singkat.
“Bagus,” Ayah menimpaliku.
“Kenapa cuma sampai umur 17 tahun?” Rudi kecil ternyata memang bocah cerdas yang dihantui rasa ingin tahu yang besar.
“Karena memang harus begitu, Sayang,” jawabku sekenanya.
“Ohhh,” Rudia malah mendengus panjang, lalu berbalik dan berlari kea rah Ibunya yang sedang duduk di beranda rumah mereka. “Bu! Aku punya teman baru! Namanya Naomi!”
Aku jadi tertawa dibuatnya. Tentu saja ibunya tak bisa melihatku. Dasar bocah! Batinku sambil berjalan mendatangi Rudi yang tengah asyik bermain. Meninggalkan Ayah yang cerewet sekali tentang pekerjaan pertamaku ini.
Tapi, sayup-sayup aku mendengar ayah mengucapkan sesuatu untuk terakhir kalinya. Kalau tidak salah, “Jangan pernah jatuh cinta dengan manusia, ingat, kau hanya teman imajinasi baginya…”