BOPM Wacana

Umur Panjang Pers Mahasiswa

Dark Mode | Moda Gelap
Dokumentasi Pribadi

 

Oleh : Redaksi BOPM Wacana

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan atas kasus pemecatan anggota Pers Mahasiswa SUARA USU merepresentasikan bagaimana negara tidak mampu melindungi kebebasan berekspresi sebuah media dan mengukung kebebasan mimbar akademik. Putusan ini harusnya menjadi cambuk besar bagi pers mahasiswa di Tanah air. Mampukah pers mahasiswa bertahan?

Cerita pendek (cerpen) Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya karya Yael Stefani Sinaga menjadi asal pro-kontra yang menuai pemecatan seluruh anggota Pers Mahasiswa SUARA USU pada Maret 2019 lalu. Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Runtung Sitepu menilai cerpen tersebut mengkampanyekan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) serta memuat konten pornografi dengan menyoroti kata barang, sperma dan rahim di dalam cerita.

Padahal secara keseluruhan cerpen tersebut menceritakan seorang gadis bernama Kirana yang memiliki keluarga yang hancur karena membela hak asasi manusia dan jujur dalam bekerja. Cerita memiliki prolog dan epilog  penolakan orang-orang atas orientasi sexual sang gadis yang menyukai gadis lainnya. Cerpen ini hanya menangkap potret sosial bagaimana LGBT di lingkungan sosial.

Tidak terima, pengurus Pers Mahasiswa SUARA USU menggugat surat keputusan Rektor USU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Hasilnya, PTUN Medan membenarkan tindakan Rektor USU. Dalam putusannya, PTUN Medan (https://drive.google.com/open?id=1-1nnvwgTP0LVg6It6e05tmD9zvjdFPXB) menyimpulkan pemecatan Pengurus Pers Mahasiswa SUARA USU tidak diatur undang-undang. Sebagai Rektor, Runtung Sitepu memilki wewenang untuk memecat Pengurus Pers Mahasiswa SAUARA USU selama mendahulukan kepentingan umum.

Hal ini tentu menjadi kesalahan berpikir hakim. Rektor USU memang memiliki wewenang untuk membubarkan dan membentuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di USU. Namun apakah pembubaran Pers Mahasiswa SUARA USU telah sesuai dengan kebebasan mimbar akademik? Sebagai rektor bukankah sebaiknya membina mahasiswanya dalam berorganisasi bukan membunuh kreativitas mahasiwa? Rektor USU juga tidak melihat pandangan ahli dalam mengambil keputusan. Itu hanya keputusan sepihak yang telah ia sampaikan di Tempo.co sebelum bertemu pengurus Pers Mahasiswa SUARA USU. Kepentingan umum yang dimaksud hakim juga tidak jelas. Memang cerpen tersebut menuai pro-kontra namun, tidak berarti sesuatu yang menuai pro-kontra sebagai pengusik kepentingan umum.

Putusan pengadilan juga mengatakan “Hak kebebasan berpendapat, hak kebebasan menulis merupakan kebebasan pikiran sehingga pemberhentian pengurus Pers Mahasiswa SUARA USU tidak membatasi para penggugat dalam berkarya.” Mari kita menilik lebih jauh bagaimana hakim menganggap pemberhentian pengurus bukan bagian dari pembatasan dalam berkarya. Pers Mahasiswa SUARA USU adalah wadah bagi anggotanya untuk berkarya. Pemecatan terhadap anggotanya tentu menghambat anggotanya dalam berkarya. Perenggutan wadah yang telah dibangun anggotanya selama bertahun-tahun merupakan bentuk penghambat kebebasan berpendapat. Anggota Pers Mahasiswa SUARA USU tidak dapat lagi berkarya pada wadah yang sama.

Putusan PTUN Medan terhadap kasus Pers Mahasiswa SUARA USU harusnya menjadi cambukan bagi pers mahasiswa di tanah air.  Jika pengadilan yang menjadi perwakilan negara pun membenarkan tindakan yang mengukung kebebasan media dan mimbar akademik, tak ayal jika pers mahasiswa di Indonesia tidak akan mampu berumur panjang jika mulai ‘mengusik’ rektorat-nya. Tidak adanya payung hukum yang melindung pers mmahasiswa menjadi salah satu alasan rentannya pers mahasiswa untuk diintimidasi.

 

Ujung Tanduk Umur Pers Mahasiswa

Mengapa pers mahasiswa Indonesia tidak bisa seperti pers mahasiswa The Harvad Crimson dari universitas Harvad di Amerika yang mampu bertahan hampir 150 tahun? Berbagai macam pembredelan dan intimidasi terhadap Pers Mahasiswa di Indonesia terus saja terjadi. BPPM Balairung UGM yang diintimidasi hingga disensor, Catatan Kaki Unhas yang ditahan surat terbitnya, Poros UAD yang terancam dibekukan , Lentera Satya Wacana yang ditarik majalahnya yang beredar, LPM Arena UIN Sunan Kalijaga ditarik buletinnya dan sederet nama lainya memperpanjang catatan sejarah kelam pers mahasiswa.

Ada beberapa penyebab pers mahasiswa rentan dibredel. Misalnya, stigma birokrat kampus adalah orang tua dari pers mahasiswa. Anggapan ini timbul karena pers mahasiswa berada di bawah kampus. Sehingga tidak pantas bagi pers mahasiswa mengumbar-umbar keburukan orang tua dan keluarga kepada publik. Alasan orang tua ini juga yang dipakai birokrat kampus ketika berargumen dengan mahasiswa. “Kami ini orang tua kamu, jangan melawan.” Ucapan yang kerap dilontarkan.

Pers mahasiswa dipaksa menjadi anak baik yang memberitakan kebaikan keluarganya. Kampus lupa bahwa kampus bukanlah sebuah keluarga kecil. Kampus merupakan milik masyarakat, milik publik. Ada keluarga besar yang harus tau di tempat seperti apa anaknya belajar atau akan belajar. Pendanaan yang datang dari kampus juga menjadi alasan birokrat kampus boleh sesuka hati menutup pers mahasiswa. Hingga celetukan “ya kalau mau independen buat saja pers di luar” kerap terdengar. Padahal dana yang datang dari kampus merupakan hak mahasiswa untuk mengembangkan diri sesuai minat dan bakatnya. Dana tersebut bukan dari kantong pribadi para birokrat kampus kepada pers mahasiswa, tapi merupakan dana yang memang harus dialokasikan untuk kegiatan mahasiswa yang berasal dari uang kuliah mahasiswa dan pajak masyarakat.

Selain itu pengetahuan birokrat tentang pers kerap tidak mumpuni. Sehingga banyak pembredelan, sensor, dan intimidasi terjadi. Jika birokrat mengerti mengenai pers tentu ia harusnya dapat menggunakan hak jawab ketika tidak setuju terhadap salah satu artikel pers mahasiswa. Hal ini juga mengajarkan pers mahasiswa untuk bertanggung jawab atas karyanya dan lebih intelek daripada main tarik tulisan dengan sembrono.

Pers mahasiswa juga berada di posisi yang tidak jelas. Tidak ada payung hukum yang melindungi pers mahasiswa. Meskipun UU Pers melindungi setiap orang yang melakukan kegiatan jurnalistik namun posisi pers mahasiswa sebagai unit kegiatan mahasiswa menyebabkan pers mahasiswa dianggap bukan bagian dari pers.  Pers mahasiswa dianggap tempat mahasiswa belajar menulis. Padahal pers mahasiswa bukan sekedar belajar menulis tapi tempat mahasiswa belajar mengenai pers. Belajar menyampaikan kebenaran. Kasus Pers Mahsiswa SUARA USU dapat menjadi bahan pembelajaran akibat dari tidak adanya payung hukum. Pengadilan hanya akan melihat pada peraturan-peraturan universitas tentang pembubaran dan pembentukan UKM.

Melihat banyaknya permasalahan yang menerpa pers mahasiswa di Indonesia sudah saatnya pers mahasiswa memiliki payung hukum. Mari melihat contoh Amerika yang mengesahkan undang-undang “New Voice” sebagai peraturan kebebasan pers mahasiswa dan siswa. Hal ini sebagai salah satu penyebab The Harvad Crimson bisa bertahan ratusan tahun karena dikelilingi oleh masyarakat yang paham pentingnya independensi pers temasuk pers mahasiswa.

Undang-undang “New Voice” tidak lahir begitu saja di Amerika. Pers mahasiswa harus berjuang sejak 1988 melawan keputusan sekolah Hazelwood tentang sensor surat kabar pers siswa yang dibenarkan pula oleh pengadilan. Penolakan terus terjadi melahirkan 29 Januari sebagai hari pers mahasiswa di Amerika. Orang-orang terus mendesak pemerintah mengesahkan undang-undang yang menyokong independensi pers mahasiswa. Maka lahirlah “New Voice”.  Undang-undang ini tidak hanya lahir dari pers mmahasiswa tapi juga pers arus utama dan masyarakat yang peduli terhadap kebebasan pers mahasiswa. Student Press Law Center misalnya merupakan badan advokasi pers pelajar yang dikelola berbagai kalangan. Mulai dari pelajar, mahasiswa, jurnalis, pengacara, dan pendidik profesional.

Sudah saatnya pers mahasiswa peduli pada payung hukum pers mahasiswa jika menginginkan umur panjang pers mahasiswa. Tidak hanya pers mahasiswa, jurnalis arus utama merupakan penyokong terdekat. Bagaimanapun pers mahasiswa merupakan salah satu cikal bakal jurnalis masa depan. Jika menginginkan mutu jurnalisme negeri ini membaik, independen untuk menyuarakan kebenaran tentu harus ditanamkan sejak dini. Jika tidak ada payung hukum, sensor, intimidasi, pembredelan dan masalah pers mahasiswa lainya akan terus terjadi.

Komentar Facebook Anda

BOPM Wacana

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4