BOPM Wacana

‘Vaksin’ dari Hutan: Ketika Komunitas Adat Karo di Lembah Daulu Melawan Penyakit

Dark Mode | Moda Gelap
Aslan Perangin-angin di kebun kopinya, Daulu, Kab. Karo, Senin (28/08) | Reza Anggi Riziqo
Aslan Perangin-angin di kebun kopinya, Daulu, Kab. Karo, Senin (28/08) | Reza Anggi Riziqo

Oleh: Reza Anggi Riziqo

Hutan layaknya apotek bagi komunitas adat Karo di Daulu. Melalui tangan mereka, segala jenis tumbuhan hutan dapat disulap jadi obat mujarab.

Rasa lemas dan letih dirasakan Aslan Perangin-angin, selang beberapa waktu setelah jarum suntik menusuk kulitnya. Kala itu dia terpaksa ikut vaksinasi agar namanya tidak tercoret dari daftar penerima dana bantuan tunai Covid-19 pemerintah.

Memang, pemerintah tengah gencar-gencarnya melakukan vaksinasi massal guna menekan laju penyebaran Covid-19, ketika penyakit itu menggila di antara tahun 2020-2022. Seluruh masyarakat Indonesia, baik di kota mau pun di desa seperti Aslan harus mematuhi kebijakan tersebut.

Tubuh lemas yang sempat dirasakan Aslan membaik ketika dia makan daun pegagan dari hutan. “Pegagan itulah vaksinnya. Cukup makan itu saja, sudah sehat,” ujar Aslan, pada Sabtu (29/7/2023).

Metafora ‘vaksin’ yang dilontarkan Aslan bukanlah tanpa sebab.

Aslan ialah seorang petani dari Desa Daulu, sebuah wilayah administrasi yang termasuk dalam Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sumut). Jaraknya sekitar 57 Km ke arah selatan dari pusat Kota Medan.

Daulu bertapak pada suatu lembah, dikelilingi perbukitan hutan dan dihuni oleh komunitas adat Karo, salah satu kelompok etnis besar di Sumut. Diyakini orang Karo sudah membangun peradaban lebih dari seabad silam di sana.

Lembah Daulu merupakan wilayah enklave dari Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan. Artinya, desa ini berada di tengah-tengah kawasan hutan konservasi milik negara.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Karo (2022), Daulu hanya dihuni oleh 2.229 jiwa penduduk. Menjadikan desa dengan ketinggian ± 1300 Mdpl ini layaknya pemukiman tersembunyi di dataran tinggi Tanah Karo.

Hidup berdampingan dengan hutan membuat masyarakat Daulu peka terhadap pemanfaatan tumbuhan, utamanya untuk obat. Perilaku itu mereka kemas dalam pengetahuan lokal yang kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Pemukiman yang langsung berdampingan dengan hutan di Desa Daulu, Kab. Karo, Senin(28/08) | Reza Anggi Riziqo
Pemukiman yang langsung berdampingan dengan hutan di Desa Daulu, Kab. Karo, Senin
(28/08) | Reza Anggi Riziqo

Tidak hanya Aslan, mayoritas penduduk Daulu sedikit banyak memiliki pengetahuan akan manfaat tumbuhan hutan. Beberapa diantara mereka menganggap ramuan herbal dari hutan lebih ampuh mengusir penyakit ketimbang obat-obatan konvensional.

Para Peramu

Pagi itu, Senin (28/8/2023), di atas rumah panggung berbahan kayu miliknya, tangan Anita Br. Ginting sibuk mengiris daun aren. Dia sedang buat obat untuk suaminya yang mengalami sakit lilit (cacar ular). “Tahu kam apa lilit? Gatal, panas. Kadang bisa di pinggang, di ketiak, di mana pun bisa.”

Anita ambil daun aren dari pinggiran hutan. “(Terus ada) pinang. (Lalu) kan ada batok kelapa itu, kan ada tinggal kelapanya (yang) gak habis di parut. Itu diambil, dibakar,” ujar Anita, menjelaskan bahan lain yang digunakan dalam meracik obat lilit. Selanjutnya, racikan obat disemburkan ke area tubuh yang sakit.

Kotak P3K ala Anita yang berisikan tumbuhan-tumbuhan hutan, Daulu, Kab. Karo, Senin(28/08) | Reza Anggi Riziqo
Kotak P3K ala Anita yang berisikan tumbuhan-tumbuhan hutan, Daulu, Kab. Karo, Senin
(28/08) | Reza Anggi Riziqo

Kemampuan Anita meramu tumbuhan hutan didapat dari orang tuanya.

“Kita tengok (ramuan) apa yang dibuat (oleh orang tua). Apa bahan-bahannya. Kita coba-coba. Kalau gak ingat kita, tanya. Sudah dibilangnya, kita buat.”

Seperti Aslan, Anita juga punya kisah menarik tentang daun pegagan.

Kala itu, di antara tahun 2019 hingga 2021, Anita harus bolak-balik dari Daulu ke Rumah Sakit di Kota Medan untuk medical check up akibat kolesterol tinggi yang dideritanya.

Namun, setelah rutin minum rebusan daun pegagan, perlahan kolesterol tinggi Anita mulai menurun. Dia sudah tidak lagi pergi ke Kota Medan untuk berobat.

“Pegagan itu banyak di kerangen (hutan), di sawah-sawah juga,” kata Anita. “Asal sudah ku rasa sakit kali kepala ku sama bahu, sama punggung. Sudah tinggi kolesterol ku. Langsung ku minum (rebusan pegagan). Ku ambil segini (segenggam), masukkan air 3 gelas… (Terus) ku minum. Jadi enteng itu,” tambahnya.

Jika Anita meramu untuk kebutuhan domestik keluarga, lain cerita dengan Sopan Purba yang meracik obat untuk kesembuhan orang lain—pasien.

Sudah 25 tahun Sopan berkutat di dunia pengobatan alternatif. Pasiennya tidak hanya dari Daulu dan wilayah sekitar, banyak juga yang berasal dari luar kota.

Sopan bisa dibilang tabib (dalam bahasa lokal disebut guru), dia mampu mengobati ragam jenis penyakit dan memiliki pengetahuan yang lebih kompleks tentang pemanfaatan tumbuhan hutan. Salah satu racikan dia yang terkenal yaitu Minyak Karo.

Sopan Purba sedang memilah daun-daunan hutan di sebuah kedai kopi, Daulu, Kab. Karo,Senin (28/08) | Reza Anggi Riziqo
Sopan Purba sedang memilah daun-daunan hutan di sebuah kedai kopi, Daulu, Kab. Karo,
Senin (28/08) | Reza Anggi Riziqo

Minyak Karo dibuat Sopan dari ratusan jenis bahan berbeda. Daun-daunan, akar-akaran rotan, dan akar-akaran bambu, jadi bahan utama yang dipasok dari hutan. Sisa bahan seperti minyak kelapa, bawang, kunyit, dan lainnya Sopan beli dari pasar.

Menariknya, kemampuan Sopan membuat minyak dan ramuan lainnya hanya sebagian kecil yang didapatkan dari orang tuanya. Pengetahuan lebih banyak Sopan dapatkan dari sosok makhluk halus yang hinggap pada dirinya. Dalam kebudayaan Karo, sosok ini dikenal sebagai Jenujung.

“Saya bisa berbicara dengan daun,” ujar Sopan. Jenujung telah membimbing Sopan untuk memilih tumbuhan hutan yang berkhasiat dijadikan obat.

Antropolog Universitas Sumatera Utara, Dr. Drs. Sri Alem Br. Sembiring M.Si., dalam artikel berjudul Guru (Tabib) Dalam Masyarakat Karo (2002) menyebutkan jika Jenujung dapat membantu tabib dalam praktik “penyembuhan atau pengobatan”.

Sesajen (cibalen) di Mata Lau Debuk-debuk, yang disajikan oleh para tabib (guru) kepada rohhalus sebagai salah satu syarat ritual pengobatan, Daulu, Kab. Karo, Senin (28/08) | Reza Anggi Riziqo
Sesajen (cibalen) di Mata Lau Debuk-debuk, yang disajikan oleh para tabib (guru) kepada roh
halus sebagai salah satu syarat ritual pengobatan, Daulu, Kab. Karo, Senin (28/08) | Reza
Anggi Riziqo

Jenujung tak terlepas dari kosmologi orang Karo. Mereka berupaya menciptakan keseimbangan (equilibrium) di alam semesta. Ada alam manusia ada alam gaib, ada baik ada jahat, ada sehat serta ada juga sakit.

Terlepas dari logika sains modern, pada kenyataannya Sopan sebagai tabib lokal telah menyembuhkan banyak pasien.

Solusi Ampuh?

Daun pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) yang digunakan Aslan dan Anita ternyata punya khasiat manjur. “Pegagan banyak digunakan sebagai obat alami mengandung berbagai bahan aktif, kandungan bahan aktif itu adalah triterpenoid saponin,” tulis Sutardi dalam artikel berjudul Kandungan Bahan Aktif Tanaman Pegagan dan Khasiatnya untuk Meningkatkan Sistem Imun Tubuh (2016).

Pegagan yang tumbuh di liar di ladang masyarakat, Daulu, Kab, Karo, Senin (28/08) | RezaAnggi Riziqo
Pegagan yang tumbuh di liar di ladang masyarakat, Daulu, Kab, Karo, Senin (28/08) | Reza
Anggi Riziqo

Kandungan triterpenoid saponin dalam pegagan bermanfaat untuk kesehatan dan meningkatkan sistem imun tubuh. Itu alasan mengapa tubuh Aslan kembali bugar setelah memakan daun tersebut. Maka tidak heran jika dia memetaforakan pegagan sebagai “vaksin” untuk melawan penyakit Covid-19.

Kandungan dalam satu jenis tumbuhan saja, pegagan, ternyata cukup bermanfaat. Belum lagi kandungan tumbuhan hutan lain, yang kemudian diracik dalam satu ramuan, seperti Minyak Karo yang dibuat oleh Sopan.

Masyarakat di desa-desa sejatinya punya ketangguhan lebih dalam melawan wabah penyakit. Apa lagi pedesaan yang dihuni oleh komunitas adat, yang masih menjaga kelestarian alam sekitar, utamanya hutan, sebagai sumber segalanya bagi mereka.

“Kalau menurut pengalaman saya, hanya di kota yang orang takut (pandemi Covid-19) ini. Kalau di Desa, mana ada. Gak ada yang takut Covid ini kok,” kata Sopan, menanggapi pandemi Covid-19.

Perkataan Sopan ada benarnya. Di bulan Agustus 2020, saat kasus positif Covid-19 tengah memuncak, anggota Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Dr. Dewi Nur Aisyah mengatakan jika angka penularan di kota lebih tinggi dibanding dengan di kabupaten yang didominasi oleh pedesaan. Kasus Covid-19 di kota mencapai 64,83%, sementara di kabupaten hanya 35,17%.

“Kalau kita lihat tren di sini, kabupaten memiliki angka-angka yang lebih baik dari mulai kasus meninggal lebih sedikit, kasus aktif juga sedikit, namun kesembuhan jauh lebih tinggi,” ucap Dewi pada talkshowCovid-19 dalam Angka” yang ditayangkan di kanal YouTube BNPB, Rabu (26/08/2020)

Tabib dan praktik penyembuhan alternatif tidak hanya dimiliki oleh komunitas adat Karo di Daulu, tapi juga hampir di tiap kebudayaan di Indonesia. Begitu juga kearifan lokal pemanfaatan tumbuhan hutan yang memiliki manfaat bagi dunia medis modern.

Sopan Purba tengah mempersiapkan akar-akaran hutan untuk campuran Minyak Karo, Daulu,Kab. Karo, Senin (28/08) | Reza Anggi Riziqo
Sopan Purba tengah mempersiapkan akar-akaran hutan untuk campuran Minyak Karo, Daulu,
Kab. Karo, Senin (28/08) | Reza Anggi Riziqo

Alonso dkk. (2020) dari Southern Utah University, dalam kajian etnobotani—ilmu yang fokus mendalami relasi antara manusia dengan pemanfaatan tumbuhan—miliknya, mengatakan jika pengetahuan medis tradisional punya banyak manfaat praktis untuk menjawab berbagai persoalan modern.

“Studi seperti ini, yang mendokumentasikan pengetahuan tradisional, merupakan komponen kunci dari strategi untuk membantu konservasi dan mempromosikan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.”

Maka dari itu diperlukan keseriusan lebih dari instansi terkait guna mengembangkan potensi ini.

Sebenarnya pemerintah Indonesia sendiri di bawah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menggalakkan program Riset Tanaman Obat dan Jamu (Ristoja), pada tahun 2012, 2015, dan 2017. Hasil riset tersebut berhasil menginventarisasi 2.848 spesies tumbuhan obat yang digunakan secara tradisional oleh masyarakat Indonesia.

Namun, diharapkan, Ristoja bukan sekadar jadi program pendataan saja. Setidaknya program ini dapat berkelanjutan serta dikembangkan agar manfaat praktis dari pengetahuan lokal terhadap pemanfaatan tumbuhan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah juga harus mulai menaruh perhatian lebih pada eksistensi komunitas adat yang tinggal di sekitar hutan. Mengingat deforestasi atas nama pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri kini tengah merajalela.

“Jika hutan dieksploitasi terus-menerus maka kita sebenarnya sedang menuai bencana seperti wabah penyakit zoonosis dan krisis iklim,” ujar Arie Rompas, Ketua Kampanye Hutan Greenpeace, dalam artikel Laju Deforestasi Tinggi di Hutan Alam, Presiden Jokowi Harus Evaluasi Kinerja KLHK (2020).

Dalam konteks etnobotani, relasi antara komunitas adat dengan kelestarian hutan harus tetap berkesinambungan. Sehingga kelak pengetahuan akan obat tradisional dari hutan, seperti di Daulu, dapat efektif menabur kemaslahatan bagi hajat hidup masyarakat luas.

Aslan menilai hutan adalah segalanya, terlebih sebagai apotek hidup bagi masyarakat Daulu. “Masyarakat di sini sayang sama hutan,” pungkasnya.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4