“Setiap hidup selalu mengalami pasang surut. Tapi entah kenapa, dititik ini aku ingin menyusul ibu saja.”
Hamparan birunya laut menghiasi bibir pantai. Ombak mendayu-dayu membawa ikan-ikan kecil ke tepian. Tak lupa angin, untuk hari ini suhunya sedikit panas dari yang kemarin. Mungkin naik sekitar dua derajat celsius.
Di tengah-tengah laut, bintang yang paling bersinar itu hampir tertelan dimakan laut. Cahaya orangenya menyeruak hingga ke permukaan daratan seperti meminta pertolongan. Tapi siapa yang mau menolongnya? Dia terlalu panas untuk disentuh. Ah apa kehidupan seorang gadis bersurai panjang itu demikian?
Sudah sekian jam ia tergeletak dipinggiran pantai. Menatap nyalang bintang itu. Sesekali ia mendesah dan menggerakkan bibir mungilnya secara perlahan. Seperti mengucapkan mantra. Perlahan diamati, bibir itu selalu bergerak membentuk pola yang sama.
Aku mencoba untuk meraih pundaknya. Inginku membuka percakapan padanya. Namun, dia langsung menyela sebelum aku memulainya. “Kenapa kau menyerah pada dirimu?”
Aku mencoba memahami pertanyaannya. Apa itu untukku apa dirinya? Karena jujur saja, aku juga sedang berada pada fase yang tak menyenangkan. “Apa kau juga mau menyerah pada dirimu?” balasku.
“Sejujurnya aku bisa bertahan sedikit lagi. Tapi kejadian-kejadian itu terus muncul dalam kepalaku. Jiwaku tersiksa bersama dengan kembalinya kenangan itu. Aku sungguh sudah tidak bisa bersandar pada apapun lagi. Aku ingin bebas seutuhnya.”
“Seringnya aku juga begitu,” bisikku sepelan hembusan angin.
Sepertinya aku merasakan apa yang gadis ini rasakan. Rasa sesak yang tak tertahankan lagi. Jejak-jejak kehidupan lalu yang selalu muncul tiap detiknya di kehidupan. Mengganggu tatanan masa depan yang ingin dibangun. Seakan kita tidak bisa bebas darinya. Menjerat kita untuk lebih masuk ke dalam jurang terdalam kehidupan.
Entah kenapa aku tiba-tiba ingin bercerita pada perempuan malang ini, mirip denganku. “Kau tahu apa yang paling membuatmu jijik daripada berenang dikubangan lumpur babi.”
Seakan antusias, ia menggerakkan lehernya ke samping. Membesarkan matanya hingga pupilnya yang cokelat gelap membesar. Namun sebelum aku menjawab, dia lagi-lagi menyelaku. “Menjalani hidup tanpa tahu kau hidup untuk apa?”
Aku tertegun sekaligus tersenyum. Ah mungkin aku bisa sedikit mengeluarkan unek-unekku dengan gadis satu ini. Bisa saja bola pegal yang memuat sesak paru-paruku ini sedikit melunak.
“Iya. Hal itulah yang lagi aku rasakan.” Seakan terbawa suasana, aku mulai menceritakan sosok aku yang kukenal.
Lima tahun lalu, ibuku membawaku ke pantai ini. Dia berjanji sebelumnya untuk liburan bersamaku. Dia pun menepatinya, tapi tidak dengan tujuannya. Awalnya iya, kami bersenang-senang. Tertawa bersama sambil menyipratkan air ke sana ke mari. Membuat istana pasir dan menghancurkannya. Mengubur diri dengan puing-puing istana itu.
Namun, tepat pada waktu aku bertemu denganmu, wanita yang tanpa kuketahui namamu, ibu membawaku tepat ke bintang merah itu. Ia mencekeram tanganku sangat kuat kala itu. Tiba betisku sudah merasakan dinginnya air laut. Ibu melepasku. Namun ia tetap berjalan ke depan. Setelah pingganya dikelilingi air, ia baru berbalik. “Jangan menyerah seperti ibu.” Perempuan yang kupanggil ibu itu tersenyum meringis lalu menenggelamkan dirinya. Terbawa hingga laut paling dalam.
Dimulai sejak itu, aku mempertanyakan semua yang semestinya tak perlu. Kenapa ibu mengambil keputusan itu? Apa karenaku atau hal lainnya? Apa hidup ibu seberat itu? Kenapa dia tidak mau membaginya padaku? Hingga disuatu kondisi aku mengetahui semua alasan-alasan itu.
Aku. Aku menjadi alasannya untuk menjemput kematiannya. Aku anak yang tak diinginkannya. Aku anak yang tak bisa membagikan berkah pada kehidupannya. Saat alasan itu terungkap, rasa bersalah pada diriku semakin besar. Bola pegal itu terus membesar dan membesar hingga menyesakkan. Bukan pada ibu saja, bahkan aku menyalahkan diriku. Kenapa aku harus lahir pada masa sulitnya ibu?
Laki-laki yang ibu cintai meninggalkan dirinya karena aku tumbuh dirahimnya. Nenek mengusir ibu. Karena aib yang ada dirahimnya. Tetangga yang dulu ia bantu bahkan menutup rapat pintu rumahnya saat ibu meminta segenggam beras.
Dari awal aku ada, aku sudah dianggap aib terbesar ibuku. Aib selalu menjadi kata yang terngiang-ngiang di gendang telingaku. Hingga akhirnya mendengar kata aib saja membuat emosiku meledak. Bisikan-bisikan kecil nan cepat terdengar oleh inderaku. Masalahnya tak mau berhenti. Semakin mengganggu dan membuat kepalaku panas.
Ibu menyuruhku jangan menyerah. Sementara dirinya malah meninggalkanku dengan luka yang terlalu besar untuk kutangani seorang diri. Aku bahkan sama sepertimu, gadis tanpa nama. Aku tak punya apa-apa untuk aku pegang dalam hidup ini. Bukankah jalan terakhir lebih baik menyusul ibu?
Gadis itu sedari tadi mendengarkan saksama. Air matanya menumpuk di pelupuk matanya. “Kenapa kau juga tidak mau berbagi denganku? Dirimu sendiri. Kau melupakan aku yang selalu bersama denganmu.”
Aku tergugu. Namun aku tetap yakin pada keputusanku sama seperti ibu dahulu. “Kau, diriku. Enggak akan bisa menanggungnya. Ayo lebih baik kita menyusul ibu.”