BOPM Wacana

Thrifting: Budaya Konsumerisme pada Pakaian Bekas

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Ade Indah Hutasoit
Ilustrasi: Ade Indah Hutasoit

Oleh: Rosinda Simanullang

“Kalau beli baru harganya segini, mending uangnya beli thrift aja, bisa dapat banyak,”

Belakangan ini pemerintah sangat gencar menegaskan perihal larangan thrifting, khususnya thrift impor. Larangan ini telah ada sejak dua tahun lalu yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 18 Tahun 2021. Namun, perlu diketahui bahwa thrifthing bukanlah sesuatu hal yang baru di industri fashion Indonesia. Lantas, mengapa pemerintah baru gencar melayangkan perintah larangan?

Selama beberapa tahun terakhir ini, kegiatan trifthing sangat populer karena sudah merambah di toko online juga, bahkan tak sedikit yang membuka jasa titip (jastip) barang bekas dari luar negeri. Banyaknya konten kreator yang melakukan mix and match pakaian thrift juga menjadi pemicu besar dalam kepopuleran barang bekas impor ini.

Dahulu, thrifting dikenal sebagai kegiatan belanja barang bekas yang dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah. Namun, berkat perkembangan teknologi dan trend zero waste yang berkembang saat ini, thrifting menjadi salah satu kegiatan yang populer dan digemari oleh anak muda. Orientasi thrifting mulai bergeser untuk memenuhi trend fashion yang kian makin berkembang.

Selain itu, keinginan memiliki barang branded dengan harga miring juga mendukung melonjaknya penikmat barang bekas. Peminat barang thrift dengan peminat barang lokal sangat jauh berbeda. Benefit yang didapat saat membeli barang thrift jauh lebih menguntungkan karena dengan harga ramah kantong, konsumen bisa memperoleh barang dengan kualitas yang bagus. Hal inilah yang menjadi sebab kepopuleran thrift dinilai meresahkan UMKM tekstil di Indonesia.

Kegiatan yang populer dan digemari ini berujung pada budaya konsumerisme. Menurut Sosiolog Jean Baudrillard, konsumerisme adalah budaya konsumsi modern yang menciptakan hasrat untuk mengkonsumsi sesuatu secara terus menerus. Inilah mengapa, konsumerisme kerap dikaitkan dengan istilah boros, hedon, serta glamour. Dari pandangan Baudrillard, seseorang yang memiliki gaya hidup konsumerisme biasanya ingin menunjukkan status sosialnya. Dengan kata lain, mereka berperilaku konsumtif bukan dengan orientasi kebutuhan, tetapi untuk lifestyle belaka.

Hasrat pemenuhan lifestyle ini kadang kala terhambat di bagian kemampuan yang dimiliki. Thrifting menjadi salah satu alternatif terbaik karena mampu memback-up hasrat untuk selalu belanja, tetapi dengan low budget. Dengan harga yang miring, kita bisa memiliki barang-barang branded. Itulah mengapa thrift sangat menggiurkan di berbagai kalangan. Tak hanya kaum muda.

Menurut Park ada enam orientasi konsumen dalam membeli pakaian bekas, yaitu: frugality (berhemat), style consciousness (kesadaran gaya), ecological consciousness (kesadaran ekologi), dematerialism (dematerialisme), nostalgia proneness (kecenderungan nostalgia) dan fashion consciousness (kesadaran mode). Diantara keenam orientasi tersebut, berhemat adalah faktor/orientasi tertinggi. Hal tersebut sesuai dengan keadaan ekonomi yang sedang dialami masyarakat Indonesia.

Walau banyak digemari, seperti yang telah disebut di awal bahwa kegiatan thrifting ini sebenarnya dilarang oleh pemerintah. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, menyebutkan bahwa barang bekas asal impor berpotensi membahayakan kesehatan manusia sehingga tidak aman untuk dimanfaatkan dan digunakan oleh masyarakat.

Hal tersebut terbukti dalam uji laboratorium oleh kementrian perdagangan pada tahun 2015, yang mengambil uji sampel beberapa pakaian bekas. Pengujian dilakukan menggunakan parameter Angka Lempeng Total (ALT) dan kapang, ternyata terdapat beberapa mikroorganisme yang dapat bertahan hidup pada pakaian bekas dalam waktu lama, yaitu bakteri Staphylococcus aures, bakteri Escherichiacoli (E. coli), dan jamur (kapang atau khamir).

Kemudian peraturan pemerintah tersebut diperbaharui dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 18 Tahun 2021 dalam lampiran II, dimana pemerintah melarang impor barang bekas untuk kepentingan nasional, untuk dapat melindungi kesehatan dan keselamatan manusia. Begitu pula ditegaskan dalam Undang-undang Perdagangan tersebut, bahwa importer wajib mengimpor barang hanya dalam keadaan baru.

Berdasarkan fenomena di atas, pakaian bekas impor sebenarnya merupakan barang yang dianggap ilegal di Indonesia, yang tidak sesuai dengan peraturan hukum atau perundang- undangan yang berlaku. Perlu dipertegas bahwa yang dilarang pemerintah adalah barang barang bekas impor (thrift) yang artinya barang bekas lokal (preloved) masih bisa dimanfaatkan sebagaimana orientasi barang bekas sejak awal. Bahwa barang bekas adalah sebagai alternatif bagi masyarakat menengah ke bawah, bukan bagi mereka yang tergila-gila pada lifestyle.

Komentar Facebook Anda

Rosinda Simanullang

Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia FIB USU Stambuk 2021. Saat ini Rosinda menjabat sebagai Sekretaris Umum BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4