BOPM Wacana

Tentang Bagaimana Aku

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Rosinda Simanullang

 

Perlu kuberitahukan satu hal yang kutanamkan dalam diri demi bertahan dengan sikap tahu diri ini, yaitu “Aku tidak pantas.”

Dering ponsel membuyarkan lamunanku, notifikasi sebuah wacana dari grup akhirnya membuatku tergerak dan berpikir keras. Berpikir lebih keras dibanding saat-saat ujian yang memuakkan. Untuk sebuah kegiatan yang mempertemukan beberapa orang dengan tujuan yang tidak kuketahui pasti, tetapi mereka menyimpulkan sebuah tujuan menambah relasi, mencari pengalaman, dan saling berbagi waktu. 

Aku tak suka keramaian, ralat, yang tidak kusukai adalah berinteraksi dengan orang lain, bahkan keluarga sekalipun. Namun, aku mendaftarkan diri. Jangan tanya alasannya, aku pun tidak tahu apa, mengapa, dan bagaimana.

Tiba saat keberangkatan, ada begitu banyak pandangan yang tertuju padaku, berupa pertanyaan, pernyataan, pujian atau sindiran yang tidak bisa kubedakan dengan baik. Balasanku hanya diam atau sesekali senyum untuk bersandiwara seperti yang selalu kulakukan dahulu, katanya cara ini manjur upaya menjalin hubungan, setidaknya sedikit lebih baik dibanding hanya diam saja. Namun, aku tidak tahu apakah itu berguna.



Kami akan kemah di salah satu bukit berjejer membentuk belanga di kampung ini. Lokasinya tidak terlalu sulit untuk dijangkau, jika tidak ada hambatan, butuh sekitar dua jam untuk tiba di lokasi. 

Di bawah terik matahari yang masih begitu menyengat di jam empat sore. Aku tak merasakan lelah, sakit, atau kepanasan. Aku tidak kesakitan dari berbagai tusukan-tusukan ilalang yang kadang menyayat kulitku, tidak kesakitan dari luka yang tercipta melalui sandungan-sandungan kecil, tidak kesakitan ketika lututku berusaha menaklukkan jalanan terjal. Luka-luka kecil demikian tak sebanding dengan efek luka yang pernah tergores. Sudah lama berlalu, tetapi sampai detik ini, aku tidak tahu cara menyembuhkannya, yang bisa kulakukan hanya menutupi serapat mungkin.

Pun tidak masalah dengan teriknya matahari yang kian terasa membakar, aku juga tidak masalah dengan kulit wajah tanpa sunscreen, tidak masalah dengan badan basah penuh keringat. Bahkan tak ada keluh-kesah yang terlontar dari mulut, hati, dan pikiranku seperti yang berulang kali kudengar dari mulut orang-orang ini. Namun, aku tidak masalah dengan kebisingan itu. Aku bebas, aku berteriak girang dalam diam. Benar-benar berteriak, bukan menjerit seperti yang selalu kulakukan.

Aku merasa menyatu dengan momen ini, menyatu dengan kesunyian yang sebenarnya ribut. Maksudku, kesunyian di antara orang-orang yang sibuk dengan dirinya sendiri, tanpa mengurusi orang lain, khususnya diriku. Mereka yang tanpa mempedulikan keberadaanku, dan aku yang tanpa memperdulikan keberadaan mereka. Hal ini jelas lebih baik dibanding saling memperhatikan satu sama lain, kemudian saling menilai baik-buruk sesama.

Aku selalu berada di situasi yang sunyi, bukan karena menyukainya. Namun, bukan berarti aku membencinya. Sebenarnya aku tidak begitu paham dengan apa yang benar-benar aku sukai, tetapi kali ini aku berada di situasi yang sepertinya aku merasa nyaman, aku tidak terusik, aku betah, dan berbagai kata-kata yang sejalan dengan ini.

Kami tiba dengan kelegaan, tiap-tiap orang menghela nafas kuat yang terdengar bersahut-sahutan. Di bawah pohon rindang ini, aku tengadah, menatap langit yang mulai menggelap. Tipis-tipis angin kurasakan menerpa tubuhku. Sungguh, menenangkan. Sepersekian detik, aku memejamkan mata, sebelum pemimpin kemah menggerakkan untuk membangun beberapa tenda dan menyalakan api sebelum matahari benar-benar tenggelam. 

Seluruhnya berjalan lancar sesuai instruksi, kami membersihkan lokasi, membangun tenda, menyalakan api, memasak untuk makan malam, memasak air minum, kemudian makan dan minum untuk jadwal malam. Sedikit menggambarkan suasana sekitar, malam ini tidak terlalu dingin, langit tanpa bintang, dan bulan benar-benar bulat cerah sempurna tepat di atas tempat kemah.



Sebagai seseorang yang belum pernah ikut kemah, aku hanya mengikuti agenda-agenda yang telah disusun oleh orang-orang ini. Terdapat acara yang berupa bernyanyi diiringi gitar, permainan, dan sesi tanya jawab. Yang sebenarnya tak ada satu pun kusukai. Namun, sepertinya orang-orang ini tak menyadarinya. Seakan-akan tiap sesi selalu ditujukan kepadaku. Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaanku saja.

Akan kusebut beberapa pandangan orang-orang ini terhadapku yang secara terang-terangan mereka sebut di salah satu sesi kegiatan. Mungkin akan kuluruskan beberapa hal atau beberapa kekeliruan. Mereka menyebutku tertutup, aku menyadarinya. Sangat jelas, bahkan untuk detik-detik ketika sikap ini menyatu denganku, aku mengingatnya. Aku merasa jiwaku masih terperangkap atau terjerat dalam waktu itu. 

Tentu saja aku masih bersosialisasi, tetapi dengan orang yang tidak terlalu kukenal. Karena mereka tidak mengenalku dan aku tidak mengenal mereka, sama seperti perjalanan tadi, tidak saling menghiraukan. Aku lebih suka hubungan yang seperti itu. Berhubung orang-orang ini kukenal dan mengenalku, patut mereka menyebutku tertutup.

Kemudian, mereka menyebutku pendiam, tentu saja. Sekaligus, lembut. Bagian ini yang membuatku harus menyangkalnya, dalam hati tentunya, aku malas harus berterus terang. Aku tidak lembut atau lebih jelasnya aku kasar. Aku kasar terhadap diriku, baik batin mau pun fisik. Aku tidak berniat untuk membahas ini lebih lanjut.

Mereka bahkan mempertentangkan argumenku, argumen tentang laki-laki dan pernikahan yang aku inginkan. Aku bisa menangkap aura kasihan dari tatapan mereka. Namun, apakah itu penting bagiku? Jelas tidak. Aku berhak menentukan beberapa hal atas diriku.

Aku tak menyangka bahwa orang-orang sebegitu penasarannya dengan kehidupan yang kujalani. Padahal tidak ada yang spesial, andai mereka tahu. Hidupku hanya sebatas rutinitas memuakkan yang berakhirnya tak kuketahui kapan, tetapi aku berharap secepatnya. Aku hidup untuk mengingat orang mati dan berusaha untuk orang yang masih hidup. 

Aku seakan terjerat dalam jiwa seseorang yang terlalu terburu-buru bertemu Tuhannya tanpa menjelaskan kepadaku tentang apa sebenarnya tujuanku dilahirkan, skala besarnya tentang tujuanku hidup. Kurasa hanya jawaban darinya yang benar-benar kebutuhan, walau keabsahannya tidak bisa dipastikan. Namun, setidaknya ada jawaban basa-basi sehingga aku menjalani hidup dengan sedikit lebih baik. 

Apakah hanya sebatas dilahirkan kemudian mati, tentunya dengan sedikit ingatan dan kegiatan yang tidak penting. Kalau benar demikian, aku berhak menertawakan nasibku. Aku tak akan menangisinya karena faktanya aku lupa cara menangis. Jika suatu saat aku mengingat dan kembali mengetahui caranya, aku tetap tidak berniat.

Aku sudah terlalu banyak melupakan tentang diriku, tentang pembawaan kepribadian seorang gadis bungsu yang manja. Sebagai bayarannya, kini aku lebih paham dengan diriku, lebih paham bagaimana orang sepertiku harus bersikap. Perlu kuberitahukan satu hal yang kutanamkan dalam diriku demi bertahan dengan sikap tahu diri ini, yaitu “Aku tidak pantas.” 

Komentar Facebook Anda

Rosinda Simanullang

Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia FIB USU Stambuk 2021. Saat ini Rosinda menjabat sebagai Sekretaris Umum BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4