Oleh Sofiari Ananda
Judul Buku: Blur
Penulis: Bill Kovach dan Tom Resenstiel
Penerjemah: Imam Shofwan dan Arif Gunawan dari Yayasan Pantau
Penerbit: Dewan Pers
Tahun Terbit: 2012
Jumlah Halaman: 225 halaman
Masyarakat kini menjadi editor, penjaga pintu dan pengumpul berita untuk diri sendiri.
Blur merupakan hasil karya terbaru dari Bill Kovach dan Tom Resenstiel yang kemudian diterjemahkan oleh Yayasan Pantaun yang bekerjasama dengan Dewan Pers. Blur berisi panduan menghadapi rimba media di abad ke-21. Buku ini memfasilitasi warga untuk mengungkapkan cara yang di pakai wartawan dalam memisahkan rumor dari fakta dan memperoleh kebenaran. Buku ini juga muncul mengingat garis antara warga dan wartawan yang semakin samar.
Pengujung Maret tahun 1979 masyarakat Amerika Serikat digemparkan oleh kabar insiden di pembangkit listrik tenaga nuklir. Para pekerja di pembangkit tenaga listrik mulai menghubungi keluarga dan teman mengabarkan soal kecelakaan serius. Mereka mulai merencanakan evakuasi. Kepanikan pekerja ini mulai muncul di televisi (TV) lokal dan kabel. Komentar para ahli yang di anggap paham tentang kemungkinan kebocoran nuklir tampil di siaran langsung.
Masalah di inti reaktor yang bisa memuntahkan partikel radioaktif ke udara, mengubah pembangkit listrik lokal menjadi mimpi buruk nuklir internasional. Mengancam seluruh Atlantik Tengah di Amerika Serikat. Sepertiga penduduk bisa terkontaminasi. Hal ini bentuk penyampaian pesan media yang terkadang di dramatisir dan di lain waktu lebih hati-hati.Penyampaian informasi dirasa membingungkan masyarakat. Pasalnya, satu kanal berita berpendapat bahwa pemerintah menutupi peristiwa ini. Kanal lainnya menyimpulkan peristiwa ini hanya rumor untuk menjatuhkan industri pembangkit listik. Kanal ketiga merangkut kedua simpulan tersebut.
Tak mau kalah, jagad blog bergerak lebih gesit. Sekejap, muncul tiga situs blog yakni blogger umum, blog milik mantan pekerja pembangkit listrik dan blog milik empunya pembangkit listrik. Ketiganya menuliskan tentang nuklir berdasarkan kepentingan masing-masing.
Berita yang cenderung bertentangan muncul dari situs-situs web konvensional. Sulit memilah informasi yang semerawut itu, tergantung apa dan kapan situs dikunjungi. Di radio, peristiwa nuklir kemungkinan hanya bencana dan telah menjadi isu politik.
Inilah kecelakaan nuklir Three Mile Island yang tak lain hanyalah era internet. Yang sebenarnya, 28 Maret, sebuah klep mesin pendingin reaktor merembes ke luar. Tanpa pendingin, inti reaktor menjadi panas dan butir-butir bahan bakar nuklir mulai bocor. Pejabat pembangkit listrik segera memerintahkan evakuasi karyawan yang tak berkepentingan. Hal ini yang kemudian menyiratkan kata ‘sebuah insiden’.
Pada 30 Maret, para operator melepas radiasi tingkat tinggi untuk menjaga aliran pendingin ke inti reaktor. Mengantisipasi kemungkinan buruk, diputuskan mengevakuasi perempuan hamil dan anak pra-sekolah di radius lima mil. Hingga pada akhirnya, 1 April, para ahli menyimpulkan gelembung hidrogen tak terbakar atau meledak dan krisis telah diatasi.
Berdasarkan banjir informasi yang terjadi pada peristiwa di atas dan sedang terjadi saat ini, beberapa pengamat media berspekulasi realitas hanyalah masalah keyakinan. Perubahan tedasar adalah porsi tanggung jawab untuk tahu apa yang benar dan yang tidak berada di tangan tiap individu. Realitas perubahan itu bukan akhir dari media dan munculnya budaya ‘media’ kita yang baru, melainkan keharusan skeptis untuk tahu (skeptical way of knowing). Warga kini menyaring informasi untuk dirinya sendiri dari derasnya arus informasi yang membanjir.
Ada enam langkah tentang skeptical knowing, yang di perlukan warga untuk memilah informasi. Pertama, kenali jenis konten yang di hadapi. Kedua, kenali kelengkapan berita. Ketiga dan keempat, nilai sumber dan evaluasi berita untuk menemukan fakta. Kelima, mengidentifikasi model berita atau jurnalisme yang dibaca terkait fakta yang dipakai. Dan terakhir, mengevaluasi berita untuk meneliti apakah kita mendapatkan informasi yang kita butuhkan.
Blur menjabarkan enam poin di atas secara rinci. Tiap bab di buka dengan realitas yang terjadi dan kemudian dihubungkan dengan teori yang disampaikan. Hal ini membuat pembaca tak hanya paham teori tapi juga mengetahui realitas yang pernah terjadi terkait teori tersebut.
Untuk dapat memilah informasi, yang diperlukan adalah cara berpengetahuan skeptis. Cara ini merupakan disiplin verifikasi berita yakni mempertanyakan dan tahu menjawab sejumlah pertanyaan sistematis. Buku ini akan menerangkan detail cara menjawab pertanyaan-pertanyaan itu untuk jenis berita dan informasi berbeda, dan memaparkan contoh karya yang bagus dan yang buruk.
Sebenarnya revolusi informasi seperti ini bukan kali pertama terjadi. Sepanjang peradaban manusia, tercatat sudah terjadi delapan transformasi dalam komunikasi yakni dimulai dari lukisan gua ke bahasa lisan, dari kata tertulis ke mesin cetak, telegraf ke radio, siaran TV ke TV kabel, dan sekarang internet. Dimana tiap revolusi terdapat pola berulang dan ketegangan tersendiri yang turut mengubah metode baru pertukaran informasi.
Saat membaca buku ini terdapat analisis dan bukti di dalamnya, yang membuat seakan-akan pembaca telah berhasil membongkar balik layar pemberitaan. Sayang, karena merupakan buku terjemahan, masih terdapat kata atau kalimat yang terkesan berat dan membuatnya harus dibaca berulang. Sangat disayangkan, buku ini belum dijual secara luas di pasaran. Masyarakat umum bisa mendapatkannya dengan menghubungi Dewan Pers via email ataupun telepon secara langsung.